Jika menyebut horor, masyarakat kita mungkin langsung teringat pada kesunyian malam, pada bisikan angin di antara pepohonan, atau pada jerit samar yang terdengar di kejauhan. Tapi bagi para pembaca sejati, horor di Indonesia adalah nama: Abdullah Harahap.
Di sanalah, di antara halaman-halaman novelnya yang dihuni setan, dukun, dan iblis, Abdullah Harahap bukan sekadar menakut-nakuti; ia membongkar ketakutan kita yang terdalam, tentang diri sendiri, tentang masyarakat, bahkan tentang sejarah.
Lahir di Medan pada 1943, Abdullah tumbuh dalam lingkungan yang dipenuhi cerita rakyat, takhayul, dan konflik sosial yang meresapi karya-karyanya. Ia menghidupkan horor dengan teknik dan narasi yang menyodorkan kritik sosial, menggugat kekuasaan dan kerapuhan moral, menguliti realitas menjadi mistik dan kembali lagi.
Bagi Abdullah, horor bukanlah elemen penghibur semata; horor adalah cermin jiwa masyarakat, yang sering kali justru terlarang untuk dipertanyakan secara terang-terangan. Dan di sinilah Harahap memainkan perannya.
Kekaryaan yang Menyengat Jiwa Pembaca
Abdullah Harahap tidak serta-merta memilih horor sebagai genre favorit. Pada masa itu, genre horor masih dianggap picisan dan terpinggirkan, apalagi bila dibandingkan dengan karya sastra yang dianggap “berbobot”. Tapi Abdullah punya cara pandang berbeda—ia melihat horor sebagai pintu masuk untuk mengurai psikologi bangsa yang terkurung dalam tabu dan ketakutan.
Berbeda dengan banyak penulis horor yang mengandalkan teror visual, Abdullah lebih sering memanfaatkan “teror mental”. Sebagai contoh, dalam novel-novelnya, pembaca tidak hanya dikejutkan oleh sosok arwah gentayangan atau kuntilanak. Justru yang menakutkan adalah refleksi moral dari tokoh-tokohnya: bagaimana manusia bisa menjadi jauh lebih kejam daripada setan itu sendiri.
Namun, tulisan Abdullah Harahap bukanlah horor dalam kesan stereotip. Di tangan Abdullah, horor menjadi jalan untuk memahami kegelapan dalam diri manusia, bahwa manusia itu sendiri bisa jadi setan bagi sesamanya. Melalui karakter-karakter korup, penghianat, atau bahkan dukun jahat, ia menghadirkan potret sosial yang mengerikan, penuh kekerasan, keserakahan, dan ambisi buta.
Kehidupan Abdullah sendiri tampak seperti paradoks dari karyanya. Ia hidup tenang, sederhana, tanpa hingar-bingar selebritas atau ketenaran. Di sinilah ironi kehidupan seorang penulis muncul—di satu sisi, ia begitu produktif dan kreatif dalam menghasilkan karya-karya penuh kengerian, namun di sisi lain, kehidupan pribadinya lebih tertutup dan minim sensasi.
Mungkin inilah yang membuat Abdullah Harahap menonjol. Ia menulis dengan kekuatan imajinasi yang begitu nyata, seolah setiap hantu dan dukun dalam ceritanya adalah bagian dari hidupnya, padahal ia sendiri hanyalah seorang pria sederhana.
Horor Menembus Batas Tabu
Bila kita membaca Abdullah Harahap dengan seksama, kita akan menemukan bahwa horor dalam karyanya bukan sekadar tentang makhluk gaib. Abdullah membawa isu-isu seperti eksploitasi perempuan, kekerasan domestik, dan pengaruh kekuasaan dalam struktur masyarakat. Tanpa ragu, ia menggambarkan bagaimana kekuatan jahat kerap kali tak kasat mata, tersembunyi di balik topeng masyarakat yang sopan dan teratur. Di sinilah Abdullah mengangkat tema yang bagi banyak orang terlarang dan tak pantas—dari ritual gelap hingga seksualitas yang tak beraturan.
Namun, tema-tema ini ia kemas bukan dalam bentuk vulgar atau eksploitasi murahan. Abdullah menyusun horor dengan etika dan presisi, membuat kita mempertanyakan batas antara yang baik dan yang jahat. Ia paham bahwa dalam setiap kisah, manusia dihadapkan pada pilihan moral, dan horor sesungguhnya ada pada keputusan yang diambil oleh tokoh-tokohnya.
Mungkin karena itulah Abdullah tidak hanya merangkul horor sebagai genre, tetapi sebagai cara untuk bertanya tentang “apa yang bisa dilakukan manusia kepada sesamanya?” Sebuah pertanyaan yang tidak selalu nyaman dijawab, apalagi dalam konteks kebudayaan yang penuh aturan seperti Indonesia.
Abdullah Harahap: Narasi yang Berbisik dalam Gelap
Menulis, bagi Abdullah, adalah cara menembus batas-batas budaya, agama, dan etika yang ada. Namun, ia melakukannya tanpa berteriak, tanpa menyerang secara frontal. Karyanya adalah bisikan, perlahan namun menusuk, mengingatkan kita pada sisi gelap manusia dan masyarakat.
Abdullah mungkin tampak seperti pencerita yang berdiri di pinggiran panggung sastra Indonesia, namun bisikannya tak pernah benar-benar hilang. Justru dalam keheningan karyanya, Abdullah membentuk sebuah ruang dialog, sebuah pantulan suara yang memaksa kita berkaca pada diri sendiri.
Dalam banyak hal, Abdullah Harahap membangun dunia horor yang unik dalam kesusastraan Indonesia. Di balik kesederhanaan hidupnya, ia meninggalkan warisan yang mengusik hati pembacanya, menyadarkan kita bahwa kengerian sejati tidak datang dari luar, melainkan dari dalam diri kita sendiri, dari ketakutan dan kelemahan kita yang tak pernah selesai dihadapi.
Abdullah Harahap adalah penulis yang berbicara dalam kegelapan, mengingatkan bahwa dalam setiap keheningan, ada ketakutan yang abadi.