A cat’s cradle is nothing but a bunch of X’s between somebody’s hands, and a little kids look and look and look at all those X’s … No damn cat, and no damn cradle.
– Cat’s Cradlle, Kurt Vonnegut
Pada saat bom atom dijatuhkan, Dr. Felix Hoenikker duduk dengan nyaman di kursinya. Ketika jutaan nyawa melayang di Horishama, sang pencipta senjata pemusnah masal tersebut duduk dengan masyuk memainkan karet gelangnya. Permainan bernama cat’s cradle. Cat’s cradle? Ayunan kucing? Saat membaca novel Vonnegut ini saya enggak paham betul gimana permainan ini. Hanya bisa membayangkan kalau itu semacam permainan karet gelang pakai tangan, digulung-gulung. Saya sempat bertanya pada Google, dan membaca jawabannya sekilas. Cat’s cradle, hmm. Sampai kalimat terakhir, saya pun enggak ngerti kenapa novelnya dikasih judul Cat’s Cradle. Harimau harus berburu, burung harus terbang; sementara manusia hanya duduk dan bertanya-tanya ‘kenapa, kenapa, kenapa?’. Harimau pergi tidur, burung kembali mendarat; Manusia harus memberitahu dirinya sendiri bahwa ia mengerti. Seperti puisi dalam Cat’s Cradle itu, saya pun pura-pura mengerti saja. Sampai kemudian, saya menonton sebuah video Youtube.
“Hey, mereka main cat’s cradle, aku dulu suka main begituan juga,” seru seorang perempuan asal AS dalam sebuah video, yang merekam dirinya bereaksi terhadap video musik yang baru rilis. MV reaction disebutnya. Dalam video musiknya sendiri, Russian Roulette-nya Red Velvet, Wendy dan Seulgi mendorong piano untuk menggilas Joy dan Irene yang berada di tangga bawah, yang sedang memainkan benang yang berbelit-belit. Oh yang begini yang namanya cat’s cradle tuh, saya kembali ingat pada novel Vonnegut tadi. Di lain kesempatan, saat fanmeeting beberapa hari yang lalu, Seulgi dan Wendy diperlihatkan foto cuplikan adegan permainan cat’s cradle. Kamu tahu cara mainnya? tanya Seulgi. Iya, jawab Wendy, member yang lama tinggal di utara Amerika sejak kecil, aku pernah main. Ada ssi-teu-ki juga di luar negeri ya?
Di Amerika disebut cat’s cradle, di Korea disebut ssi-teu-ki. Dalam novel Cat’s Cradle pun disebut kalau permainan tali ini sudah ada sejak lama, sering dimainkan orang Eskimo. Hmm, menarik, saya pun buka Wikipedia buat tahu sejarahnya. Juga kembali dibuat bertanya-tanya soal novel sialan si Vonnegut itu.
Yang saya tangkap, permainan enggak berguna, cuma meribetkan diri, pabeulit. Jika saja, saya masih bocah, atau lawan mainnya dengan Joy dan Irene, tentu lain soal. Cat’s cradle hanya membelit-belitkan tali di kedua tangan, lalu yang lain menyambungkan silangan berbentuk X dan memindahkan beragam belitan tadi ke tangannya, dan terus begitu. Apa-apaan coba?
Ya, ya, ini cuma permainan. Dan jeniusnya, seorang Kurt Vonnegut sangat pintar bermain-main. Lewat Cat’s Cradle, kita diajak bermain ketimbang jadi orang beriman. Jika Albert Camus menggambarkan absurditas lewat kisah Sisyphus, maka Vonnegut lewat permainan tali ini. Bahwa seperti cat’s cradle, hidup hanya permainan omong kosong yang cuma meribetkan diri. Bisa juga, cat’s cradle adalah simbol, untuk memberitahu pembaca bahwa banyak dari prinsip-prinsip yang manusia bangun, moralitas, agama, sains, patriotisme, kebebasan, demokrasi, adalah hal-hal yang enggak memiliki arti, seperti tali bersilang berbentuk X. Kita dengan leluasa, kapan saja, sebenarnya bisa langsung melepaskan ikatan-ikatan tadi. Wah, nampaknya saya terlalu pretensius. Kurang main. Hehe.
Dr nya pasti gayanya innonsense
itu ingtanya mian ama karet waktu kecil ya