Adakah Cara Agar Berhenti Bercita-cita Jadi Penulis?

Selain menonton sekumpulan Tuhan yang pandai menari (baca: idol) di Youtube, kesenangan saya lainnya untuk menjalani kehidupan yang memuakkan ini adalah dengan membaca. Sejauh ini saya sangat menikmati menjadi seorang pribadi yang plegmatis-pesimistik, namun saya optimis bahwa keskeptisan dan kearipan hidup ini akan terus berlanjut. Sialnya, semakin banyak membaca justru semakin timbul hasrat celaka untuk jadi seorang penulis, dan bodohnya, saya malah yakin kalau bakal jadi penulis hebat. Sebab inilah, dari asalnya membaca cuma sebatas bentuk eskapisme, sekarang punya sebuah tuntutan membaca-untuk-menulis. Membaca masih terasa menyenangkan, tapi ada tapinya tadi.

Adakah cara agar berhenti bercita-cita jadi penulis? Entah kenapa, saya jadi ingin berkonsultasi dengan Sylvia Plath. Beruntungnya, dia sudah meninggal, dan sialnya, sangat susah tentunya untuk melakukan ritual pemanggilan arwahnya, ada ongkos jalan antar-kontinentalnya. Atau saya ingin curhat dengan Charles Bukowski, sudah mati juga sih, tapi dia berujar kalau bakal reinkarnasi jadi kucing. Dan saya sangat menantikan bertemu dengan kucing bernama Bukowski itu, semoga. Meski seorang yang skeptis, alhamdulillah saya dikasih kecerdasan berlebih, maka saya enggak hilang asa, saya tahu ada seorang yang suka Plath, Bukowski serta kucing, dan berkat teknologi, saya bisa memuntahkan keresahan hati ini agar diberi pencerahan. Saya bertanya padanya, Aan Mansyur, penulis yang belakangan ini masyhur: Bagaimana menikmati kembali membaca?Atau adakah cara agar berhenti bercita-cita jadi penulis? Dan ini jawabannya:

Bagi saya, membaca adalah salah satu pekerjaan paling susah di dunia. Saya jarang bisa menikmati aktivitas membaca. Tapi, selama ini, menjadi penulis dan pustakawan adalah cara paling mujarab untuk memaksa saya membaca. Dan itu alasan saya belum berhenti jadi penulis, meskipun sudah berkali-kali mau melakukannya.

Ah ingin rasanya jadi kucing saja. Saya lebih suka jadi seorang pemalas, ketimbang penulis. Betapa indahnya kehidupan kucing, leyeh-leyeh, senggama, ngemil kepala ikan, dan mereka enggak merasa bersalah akan hal itu, paling nasib terburuknya ya terlindas mobil. Seperti Gregor Samsa dalam The Metamorphosis, tapi bukan jadi kecoa, saya ingin suatu hari bisa terbangun dan menemukan diri jadi setampan Song Joongki, atau minimal jadi seekor kucing.  Meong meong meong. Karena yang terbaik jadi seekor kucing adalah mereka enggak perlu tahu konsep ‘passion’ yang sering diceramahkan para motivator itu. Kalau pun punya passion ya bermalas-malasan. Meong meong meong.

Jadi, adakah cara agar berhenti bercita-cita jadi penulis? Tentu! Cara paling gampangnya adalah bunuh diri, selesai urusan. Tapi saya malas kalau harus masuk neraka mah. Ada cara lainnya, cukup dengan berhenti membaca, dan sialnya bukan sesuatu yang gampang bagi saya untuk menghentikan salah satu kegembiraan hidup ini. Baiklah, karena belum punya cara lain, enggak apa-apa lah, saya ingin menyaingi Utuy T. Sontani saja, yang dipuji Pram sebagai ‘pengarang pesimis terbesar di Indonesia’. Saya harus pesimis akan hal ini. Jangan sia-siakan masa mudamu untuk menyiapkan masa tuamu. Tetaplah skeptis dalam menghadapi masa depan.

Saya ingin jadi kucing saja, meski enggak punya uang, tetap bisa hidup dan berak sesuka hati. Ah tapi kalau jadi kucing enggak bisa menikmati nonton drama Korea sih. Sial, kenapa pula saya tetap menulis sampah serapah dan beragam sampah-sampah lainnya di blog ini? Dan saya enggak tahu harus berapa kali lagi harus mengumpat dengan kata-kata sial. Alangkah aduhai jika bisa mengeong dan menguap saja.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1783

19 Comments

    • Selama masih hidup, dan selama itu pula masih depresi, dan ga berubah jadi kucing, kayaknya saya enggak bisa berhenti menulis.

          • Mungkin bisa coba nginget2 alasannya punya cita2 gitu, alasan yang lebih daripada sekadar “suka”, karena perasaan gitu mah kan bisa timbul tenggelam? Kalo ga ketemu juga alasan pentingnya ikutan aja sama si aki macul di sawah, lumayan kalo panen ada buat ngeganjel perut, hahaha ….

  1. dikau lg kena writter block ya? Apapun itu ayolaaah nulis. Jarang2an kaliiiiii cowok muda bisa merangkai kata dengan baik kayak kamu. Bangkit,giiiiih

  2. pertanyaan saya, bagaimana caranya skeptis dalam menghadapai masa depan?
    apa dengan terus berharap bisa menjadi kucing?

  3. Aih, kau sudah berhasil mengeong dan membuat semua orang risau kalau berhenti menulis,, padahal, intinya kau ingin jd penulis hebat. Percaya, bakal kesmapaian sama Arip mah..

  4. Daripada nulis mending ngetik aja Kang Arip, gak terlalu cangkeul, gak harus beli pulpen sama kertas, gak harus lama buat ngetik seribu kata. Atau daripada nulis mending ngeblog, aja, beuh, sekarang, blognya lebih keren aja, Kang, dan pengetahuan sastranya dan tentang para pengarangnya duh, makin lega, saya mah paling tahunya Raditya Dika sama Ernest Prakasa. Kintun.

  5. tulisan nya penuh makna, secara sekilas terkesan ingin berhenti menulis, namun kalo dilihat makna nya sih sebenernya can’t live without “menulis”

    Keep posting dan semoga bisa menelurkan karya yaaaa, bukan telor ayam :3

  6. sappun sappun rip, sappun sappun. jadi ucing mah moal ngarti AOA 🙁

    kata si Bukowski juga kan writers are desperate people, and when they stop being desperate, they stop being writers. Jadi cocok lah nulis da skeptis wae arip mah.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *