Jika bukan kemeja, biasanya motif batik, maka pria tambun itu akan tampil di muka umum dengan atasan kaus Pure Saturday.
Jika beruntung–sialnya akan selalu beruntung, saya, juga kamu, saat hari kerja bisa mendapatinya siang hari datang ke Kedai Preanger untuk mengasoh, memesan es teh manis, lalu memutar lagu-lagu dari band bergenre alternative atau britpop keras-keras. Ini kantor kedua saya, kelakarnya.
Mempunyai anak bernama Kafka, namun berbeda seperti ayah dari pengarang fenomenal kelahiran Ceko yang merupakan pemilik nama tersebut, sulit membayangkan kalau pria bulat itu akan jadi seorang bapak yang bengis dan otoritatif bagi anaknya.
Di senja hari Sabtu kemarin (18/06/16), dengan perut yang masih buncit seperti ibu hamil trimester tiga itu masyuk memoderatori Kelas Literasi Komunitas Aleut pekan ke-48.
Menuliskan Pure Saturday
Jadi adakah yang bisa dituliskan dari band bernama Pure Saturday? Pertanyaan bodoh. Sudah jelas bahwa segalanya pasti bisa dituliskan. Untuk menulis profil seorang Pure People–sebutan bagi fans dari band tersebut–saja sangat bisa, itu pun masih banyak yang belum tergali, apalagi untuk menarasikan sebuah band yang lahir tahun 1994 itu.
“Entah mau dimulai darimana soal PURE SATURDAY ini, soalnya dari mulai saya mengenal nama Pure Saturday, sampai dekat dengan para personilnya saat ini terlalu banyak cerita untuk dikisahkan,” tulis pria cengos berakun @anggicau itu di blognya dalam Melihat Pure Saturday dari Depan Panggung; A “Pure People” Journey.
“Pure Saturday itu ‘datar’, dalam dua puluh halaman pun sebetulnya kisah mereka bisa selesai, tapi saya mencoba menggali terus sisi menariknya,” ungkap Idhar Resmadi soal proses kreatif pembuatan buku Based on A True Story Pure Saturday (2013) yang menjadi narasumber. Meski dengan suara bising lalu lalang kendaraan di jalan depan, obrolan soal Pure Saturday dan bahasan tentang proses penulisan buku tadi berlangsung asyik, selama dua setengah jam dilewatkan.
Untuk tips menulis, Kang Idhar mengutip tiga prinsip dari Haruki Murakami; bakat, fokus, dan daya tahan. Sebagai fanboy Murakami, saya akan sedikit memberi elaborasi, ketiga prinsip tadi sebenarnya tips menjadi novelis, namun tentu saja bisa diaplikasikan untuk penulis apapun. Soal bakat sendiri adalah tentang ketersediaan ‘sumur inspirasi’ seseorang, maksudnya bahwa ada orang yang bisa terus menimba inspirasinya tanpa henti, ada juga yang bisa cepat habis. Untuk bakat ini, karena semacam karunia, jadi mari arahkan diri ke fokus dan daya tahan tadi.
“Bukan cuma buku, untuk menyelesaikan artikel dua halaman saja butuh fokus dan daya tahan,” sebut jurnalis di berbagai media tersebut. Misalnya, Kang Idhar harus mewawancara tiap personal PS dan siap jadi penampung curhat mereka, juga soal menyortir beragam kliping media. Nah, cara jitu agar bisa tetap fokus dan daya tahan terjaga adalah dengan menulis apa yang kita minati dulu. Berhubung fans dari PS sejak lama, ditambah sudah dekat secara personal, Kang Idhar menyebut ketika menulis biografi ini dia juga secara enggak langsung sedang menulis dirinya sendiri.
“Sebetulnya cerita Pure Saturday di buku ini klise, tapi bagaimana kita bisa menggali emosinya,” jelasnya, yang mengaku kalau inspirasinya menulis buku tadi mengacu pada biografi sang basis Blur, Alex James, serta kisah perjalanan Radiohead.
Memang, PS sendiri band yang terbilang lempeng, bukan band bertabur skandal, dan tentu saja jika untuk urusan sukses finansial pasti kalah dengan band-band produksi label mayor. Juga, untuk ideologi musiknya sendiri murni sebagai ‘kekinian saat itu’, sebuah tanggapan akan subkultur indies yang sedang mewabah medio 90-an.
Bagaimanapun, merekam ‘sejarah mungil’ ini lewat jalan menuliskannya adalah upaya membangun ingatan kolektif. “Biografi tentu sebuah riwayat, dan kita bisa mempelajari fakta sosiologis dari rangkaian peristiwa itu,” tambahnya.