Age of Empires II dan Simulasi Mode Produksi

Pada bulan November 2015, Microsoft merilis Age of Empires II: The Forgotten, sebuah ekspansi baru yang hadir setelah lebih dari satu dekade game asli dirilis — mencetak sebuah rekor dalam industri video gim. Meskipun grafis 2D yang kikuk dan musik hingar bingar yang bikin iritasi, banyak orang masih punya banyak waktu untuk memainkannya.

Age of Empires II selain sebagai permainan video, ada sesuatu yang jauh lebih menarik. Pada tahun 1999, di masa awal kecerdasan buatan, ada yang berhasil memprogram sebuah komputer dengan Todestrieb, kehendak segala makhluk hidup menuju kematian yang Freud terpaksa geluti dalam teorinya pasca Perang Dunia I. Tidak hanya itu: cara kerja dorongan kematian artifisial ini hampir bisa menggambarkan akhir dari masyarakat kita sendiri.

Age of Empires II menjadi semacam simulator peperangan abad pertengahan. Bermain sebagai salah satu dari banyak kerajaan yang bisa dipilih, kita memulai permainan dengan sebuah “town center” (sebuah gudang pusat kota yang tampaknya secara ontologis mendahului kota itu sendiri), seorang pandu, dan beberapa penduduk desa golongan tani yang terbengong-bengong.

Orang-orang ini dapat dikirim untuk menebang pohon dan membangun benteng; Sementara itu, di pusat kota, kita bisa mengorbankan sedikit bahan pangan dan memunculkan mereka lebih banyak. (Secara sambil lalu, ini adalah salah satu aspek permainan yang paling menyebalkan — apakah kita membayangkan bahwa manusia muncul secara spontan dari tumpukan gandum? Apakah alien dengan teknologi canggih secara diam-diam menjalankan dunia ini dengan menanam kloning-kloning di sekitar peta? Atau apakah masing-masing bangunan ini menyembunyikan harem pencetak bayi rahasia?)

Hal yang sama berlaku untuk prajurit: kita menghendaki mereka untuk menjadi ada lewat barak mereka, dan dengan dengus patuh, mereka muncul. Seiring berjalannya permainan, kita dapat bergerak maju dalam sejarah, kota kita berkembang dari sekelompok gubuk menyedihkan yang menggigil di reruntuhan Kekaisaran Romawi menjadi kota metropolis yang sesak dan termiliterisasi.

Pada saat bersamaan, kita berbagi tanah dengan sejumlah kelompok masyarakat yang dikendalikan komputer yang juga melakukan hal yang sama. Tugas kita, tentu saja, adalah untuk menghabisi mereka: membantai warga mereka, membakar rumah mereka, menanami ladang mereka, dan menghapus nama mereka dari catatan sejarah. Namun yang aneh adalah kenyataan bahwa sementara mereka menghadapi pertarungan ala kadarnya, mereka tampaknya tak sepenuhnya menentang akan gagasan tadi.

Semua pekerjaan kotor prajurit dan angkatan laut ini hanyalah sebuah tontonan sampingan. Musuh-musuh kita akan dengan sia-sia mengirim beberapa pilar prajuritnya ke kota kita, tapi bahkan dalam serangan yang paling sulit, cukup mudah untuk menghadangnya. Apa yang sebenarnya sedang terjadi tidak ada hubungannya dengan pertempuran, dan sangat berkaitan dengan sumber daya.

Untuk membangun pasukan, kita membutuhkan bahan pangan, kayu, emas dan batu. Makanan bisa berasal dari peternakan, dan emas dari gerobak perdagangan, tapi kayu berasal dari pohon — dan begitu kita menebangnya, mereka tidak tumbuh kembali. Biarkan permainan berjalan cukup lama dan kita akan melihat serombongan besar tukang dari penduduk desa lawan kita melintasi peta untuk mencari hutan yang belum gundul untuk mendanai usaha perang mereka.

Migrasi hebat inilah yang benar-benar mendorong konflik permainan. Pemain yang dikendalikan komputer akan sering hidup berdampingan dengan cukup damai, bahkan jika mereka seharusnya menjadi musuh, sampai seseorang mengirim sekelompok penebang yang putus asa ke wilayah lain: pasti mereka diusir dengan pedang dan anak panah, bala bantuan dibawa masuk, dan tak begitu lama, kebakaran dan pembantaian berkobar di sekitar setiap petak hutan yang masih berdiri.

Begitu seterusnya, sampai pohon terakhir di peta ditebang. Ketika itu terjadi, tidak ada lagi kayu untuk mengusahkan pertanian, yang berarti tidak ada lagi makanan untuk melatih para prajurit. Dengan patuh, para petani kembali ke kampung halamannya dan berdiri dengan melongo, menunggu untuk mati.

Ada kemungkinan untuk membaca ini sebagai semacam alegori ekologis: eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam akan selalu menghasilkan keruntuhan sosial, dunia memiliki batasan yang seharusnya tidak kita paksakan — namun interpretasi ini tidak ada artinya.

Alih-alih pesta pertumpahan darah yang kita harapkan setelah malapetaka ini, perjuangan habis-habisan karena terwarisi pemandangan jahanam sehabis dilanda perang dan kondisi terkekang yang telah kita ciptakan, hanya ada keheningan yang sempurna dan mematikan. Tak ada serangan-serangan mendadak yang lebih agresif; unit militer yang tersisa juga pulang ke kota nekropolis mereka yang sunyi; mereka hampir tidak melawan balik saat pasukan kita tiba.

Ini bukan malapetaka; Sulit untuk melepaskan diri dari perasaan bahwa ini adalah sesuatu yang dikehendakan. Perlu dicatat bahwa sebuah sistem pasar ada di mana pemain dapat saling bertukar sumber daya satu sama lain, namun komputer sepertinya tidak pernah benar-benar melakukan ini. Kecerdasan buatan telah dengan sengaja membunuh dirinya sendiri dengan satu-satunya cara: dengan bertermpur habis-habisan untuk bertahan hidup.

Ini sama sekali tidak kontradiksif: bagi Freud, dorongan kematian tidak terkait dengan melankolia bunuh diri, kasus saat naluri narsisisme ego untuk bertahan hidup dikuasai oleh celaan superego seperti yang terwujud dalam membenci diri. Sebaliknya, dorongan kematian muncul dalam agresi dan kecerobohan. Ini adalah satu hal yang sama dengan pertarungan konstan dan antagonis individu untuk melindungi dirinya sendiri.

Freud menulis bahwa Todestrieb sebagai bagian “sebuah naluri penghancuran yang diarahkan terhadap dunia luar.” Metamorfosisnya yang menjadi keinginan untuk penghancuran diri hanyalah sebuah perubahan arah.

Tetap saja, tidak sepenuhnya jelas mengapa dorongan terhadap kematian harus muncul seperti ini: bukan dalam usaha lanjutan untuk meniru psikologi manusia, namun tampaknya secara tidak sengaja dalam permainan strategi abad pertengahan. Apa sebenarnya yang ingin mematikan dirinya di sini? Saat kita bermain Age of Empires II, sedang menjadi apa diri kita?

Pada awalnya, posisi pemain tampaknya sedikit mirip dengan monarki abad pertengahan: Kita memberikan perintah kepada pasukan dan beragam subjek kita dan kita adalah penguasa dari semua survei kita, tapi hanya survei yang kita lakukan. Ini agak rumit karena pada beberapa mode gameplay, raja-raja itu sendiri tampil sebagai unit di layar, tapi mereka bisa kita arahkan sama seperti pekerja tani lainnya.

Beberapa materi iklan menggambarkan posisi pemain sebagai “jiwa bangsa”, sesuatu seperti Volksgeist-nya Hegelian —  hanya saja peradaban yang berbeda cuma dicirikan oleh perubahan gaya arsitektur, bukan semangat organik yang bangkit dari masyarakat, dan gerakan mereka tidak menuju realisasi diri melainkan kepunahan.

Mungkin lebih produktif untuk mempertimbangkan permainan dalam hal cakrawalanya daripada peluangnya. Tidak ada yang baru yang dimungkinkan di sini. Sejarah berjalan di sepanjang satu jalur. Kita bisa mengatur kota kita dalam formasi apapun yang kita suka, tapi kita harus menggunakan tipe bangunan yang disediakan; kita bisa mengirim detasemen para kesatria berkuda ke segala arah, tapi kita tidak bisa membuat mereka turun atau meminta pemanah kita untuk menggunakan panah mereka sebagai tombak; kita bisa maju dari masa kegelapan sampai fajar imperialisme, tapi kita tidak bisa menghasilkan bentuk sosial yang pada dasarnya tidak feodalistik.

Hal yang sangat perlu dicatat dari Age of Empires II adalah tidak adanya perjuangan kelas. Semua kontradiksi mode produksi feodal tetap diam di tempat: penduduk desa kita membajak ladang dan memotong kayu terus menerus, tidak mendapat buah dari hasil kerja mereka sendiri. Ada istana yang mungkin menampung berbagai bangsawan, mandor, ksatria lapis baja, dan kaum agamawan berkalung emas. Terlepas dari semua ini (dan tidak berbeda dengan banyak permainan strategi lainnya), tidak ada sekecil pun perlawanan dari massa yang bekerja keras; Semua orang bergerak menuju kepunahan mereka sendiri dengan sikap stoik yang tenang.

Hal ini sangat aneh mengingat hiruk-pikuk Abad Pertengahan yang sebenarnya, sebuah periode dalam sejarah yang melihat peperangan dan kemarahan religius yang tak terhitung jumlahnya berkobar lagi dan lagi di seluruh wilayah Eropa. Dalam permainan, sementara itu, kontrak sosial abad pertengahan dari tiga tingkat kehidupan — di mana para petani bekerja untuk kesejahteraan semua orang, pendeta berdoa untuk keselamatan semua orang, dan para bangsawan memperjuangkan perlindungan untuk semua orang  — disajikan bukan sebagai keterikatan yang ideal dari sebuah masyarakat kelas yang bertingkat, namun masyarakat kelas yang karena fungsi masing-masing.

Dengan kata lain, Age of Empires II melakukan hal yang sama untuk feodalisme seperti yang Marx lakukan untuk industrialisme lewat Capital. Jika dalam The Condition of the Working Class In England, Engels mengungkap perbedaan antara bagaimana klaim kapitalisme berfungsi dan bagaimana hal itu benar-benar beroperasi, Marx dalam Capital mencatat para ekonom borjuis sesuai kata-kata mereka, dengan lengkap menunjukkan bagaimana, bahkan jika kapitalisme bekerja persis seperti yang dikatakan oleh para pendukungnya, tetap saja, penggulingannya tetap tak terelakkan.

Dengan sistem tertutup dalam Age of Empires, feodalisme bekerja dengan sempurna —  dan, seperti setiap sistem yang bekerja dengan sempurna dan telah kehabisan kapasitas untuk mengarahkan penghancurannya ke luar, ia tidak memiliki tempat lain selain menuju kematiannya sendiri.

Pemain dalam Age of Empires II tidak mengambil peran sebagai raja atau jiwa nasional; Kita menjadi mode produksi feodal itu sendiri. Inilah sebabnya mengapa permainan ini, secara tidak langsung, tidak bisa disebut permainan — kita tidak bersaing dengan pemain lain, namun merupakan bagian dari sebuah sistem tunggal yang mengarah pada sebuah penghancuran kolaboratif.

Sebenarnya, tidak sepenuhnya benar bahwa akhir permainannya adalah keheningan total. Bahkan saat prajurit dan pekerja tidak bergerak, gerobak perdagangan dan kapal dagang terus mengangkut emas dari satu pasar ke pasar lainnya. (Khususnya, ini berbeda dengan penolakan komputer untuk menggunakan pasar untuk mendapatkan lebih banyak kayu: pertukaran antara pemain baik-baik saja, namun gagasan bahwa semua komoditas secara universal tak tergantikan dan dapat dimasukkan dalam bentuk uang universal sangat ditolak oleh partikularisme abad pertengahan.) Ini bukan revolusi borjuis, tapi ini mendramatisasi bangkitnya kelas pedagang dari sebuah masyarakat yang telah menyempurnakan dirinya sendiri dalam hal yang terlupakan, dan hal itu terjadi pada satu-satunya cara yang dapat dilakukannya.

Marx terkenal menghindari membuat resep konkret tentang apa sebenarnya komunisme: dari dalam lingkungan tertutup dari satu mode produksi, yang hadir untuk berhasil, hanya terlihat sebagai garis besar yang paling samar, sebuah percikan gerakan dalam keadaan dunia yang telah mati.

Tentu saja, runtuhnya feodalisme sekarang telah lama berlalu, dan krisis kontemporer dalam mode produksi saat ini tidak tampak sebagai keheningan tapi juga perpindahan modal yang hiruk pikuk. Meski begitu, situasinya hampir sebanding. Age of Empires II mungkin menggambarkan bentuk sosial yang telah lama mati, tapi produk itu sendiri terdapat pula dalam produk di dunia kontemporer hari ini.

Pada akhirnya, apa yang ditunjukkannya bukan jatuhnya feodalisme — presentasinya secara historis kurang tepat — namun akhir yang tak terelakkan dari segala mode produksi mengalienasi yang menjadi sempurna dan tak tertandingi. Kita hidup dalam masa di mana kapitalisasi akhir yang memfinansialisasi berfungsi sepenuhnya secara simultan sekaligus dalam sebuah keadaan kelumpuhan akut. Sama seperti feodalisme dalam Age of Empires, ini seperti suatu keseluruhan dunia.

Pada saat bersamaan, saat terjadi masalah — dan masalahnya sedang terjadi sekarang — satu-satunya cara untuk melanjutkan adalah dengan intensifikasi. Krisis keuangan yang sedang berlangsung telah digunakan oleh kelas penguasa untuk melakukan perampasan kekayaan besar-besaran dan membahayakan diri sendiri karena inilah satu-satunya cara mereka dapat beroperasi di bawah sebuah sistem yang ditandai dengan perampasan yang tanpa perlawan.

Dengan kata lain, yang menyajikan dirinya sebagai akumulasi kapital dan sumber daya dan komoditas, pada kenyataannya, adalah kehendak menuju kepunahan. Pelajaran dari Age of Empires II adalah ini: di saat kapitalisme dan perkembangannya yang mengembang dan mengalami krisis namun perkembangan konstan tampak tidak terhalang sama sekali adalah saat kerentanan terbesarnya. Hal ini yang akan mengarah ke dalam kehampaan. Yang perlu kita lakukan hanyalah mempertenggangkannya.

*

Diterjemahkan dari artikel Jacobin berjudul Empire Down. Sam Kriss adalah seorang penulis yang tinggal di Inggris, blog pribadinya: Idiot Joy Showland.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1882

6 Comments

    • Ini sih game rts klasik dari Microsoft, pas SMP-SMA main yang ini, pas kuliah lanjut yg versi ke-III. Tapi yg kedua ini yg paling sesuatu. Ga tau berapa jam dihabisin buat main gim ini. Versi terbaru dimundurin mau dirilis tahun 2018 nanti.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *