Aku Akan Mendatangimu Seperti Salju Pertama

cuizk_jxyaak3il

“Merokok membunuhmu,” katanya, lalu menyodorkan kresek putih berlogo Alfamart. “Patah hati, juga.”

“Hah?”

“Dicampakkan perempuan yang kau sayangi, kemudian mengurung diri di apartemenmu. Menulis tanpa henti. Terus merokok dan minum kopi. Tanpa tidur. Terus meratap. Untuk kemudian mati dengan mengenaskan, dan saat itulah aku akan berjumpa lagi denganmu.”

Gaya bahasanya begitu formal, seakan sedang mengutip dialog dari sebuah novel. Juga gaya berpakaiannya, begitu modis, seperti hendak sesi pemotretan untuk majalah gaya, atau potret Instagram: gaun hitam terusan sampai lutut, dibalut mantel musim dingin warna krem, dan sepatu kets hitam. Rambutnya tergerai sepundak, dengan riasan wajah natural, dan matanya, ya matanya, susah untuk dilupakan, aku tak punya kata-kata untuk mendeskripsikannya, atau mungkin tak akan ada kata-kata yang mampu buat menjelaskannya. Tak bohong, kamu harus lihat sendiri. Satu yang pasti, dia cantik bukan main.

“Terima kasih.”

“Ya?”

“Sudah lama tak ada yang memujiku cantik,” katanya dengan mengulas senyum. “Terima kasih.”

Tak tahu harus membalas apa, aku membuka kresek putih tadi, mengintipnya. Di dalamnya ada Sariroti rasa coklat, Nescafe kotak, dan sepak Dunhill. Barang belanjaan pokok ketika aku rehat kalau habis bermotor lama. Ini benar-benar membuatku bingung. Dan senyumnya itu, bukan senyum komersil pegawai Alfamart di dalam sana, senyum yang indah dan meneduhkan.

“Kau romantis, tapi kepalamu sangat berisik, sungguh,” keluhnya. “Ketimbang melamun, sebenarnya apa susahnya langsung mengobrol dengan perempuan cantik?”

Justru karena itu.

“Ah, maaf, salahku juga,” ucapnya, menghela nafas, kemudian mengulurkan tangan kanannya. “Perkenalkan, aku adalah Kematian. Tak usah takut, waktumu bukan hari ini. Aku hanya ingin mengobrol. Satu lagi, aku bisa membaca pikiranmu.”

Siang yang muram untuk mengobrol santai soal kematian, atau bersama Kematian. Begitu dia mengenalkan dirinya. Gila, sudah pasti. Di teras depan sebuah minimarket berjejer tiga meja, di sanalah kami janji bertemu. Seperti akan kencan buta atau janji bertemu untuk transaksi barang lewat jual beli daring. Kematian mengirim pesan singkat, dan menyuruhku menemuinya di Alfamart seberang SMKN 8 Bandung. Aku mengiyakan. Saat itu aku sedang selonjoran di lantai dua kedai kopi yang berada dekat situ. Setelah menstandarkan motor di parkiran minimarket itu, dan celingukan, dia melambaikan tangan dan tersenyum. Hanya ada dia, dengan senyum indah itu. Ada ungkapan bahwa kematian itu begitu dekat, dan saat pertama melihatnya, memang asing, tapi terasa semacam keakraban yang aneh.

Kematian? Tentu saja, jika terus menatapnya lebih lama lagi, bisa-bisa sesak napas, tekanan darah dan derap jantung makin kencang, juga kadar endorfin meninggi. Mungkin aku terlalu melebih-lebihkan, tapi jika ada, kupikir terpapar kecantikan adalah cara mati paling konyol, namun menyenangkan.

“Terlalu gombal, tapi entah kenapa aku suka,” dia tersenyum, terlihat cengengesan.

Sial, sebentar saja diajak mengobrol dan aku mulai sekarat. Senyumnya itu mendekatkanku pada maut.

“Sekarat adalah pekerjaan merepotkan,” katanya, kembali serius. “Ada rasa sakit yang harus diderita, dan menyayat-nyayat hati seseorang; tapi kematian adalah hal yang indah – peperangan usai, semuanya kembali ke awal, sebuah kemenangan. Kamu akan selalu melihat ini di wajah mereka.”

Aku pikir aku pernah membaca kutipan ini. “Kafka? Hemingway?”

“Shaw. George Bernard Shaw,” timpalnya lugas. “Hidup adalah soal menanti maut. Hidup adalah sekarat itu sendiri.”

Hidup adalah sekarat?

“Pertanyaan paling sering ditanyakan manusia, kenapa harus hidup kalau harus menderita?” Dia memulai. “Aku tak mau menggunjing-Nya, tapi kalau boleh jujur, Dia sedikit kekanak-kanakan, dan sedikit sadis. Dia memang ganjil, betul-betul ganjil, suka dengan drama. Tragedi, khususnya. Dan tahulah, kita harus menganggap-Nya baik.”

Hey, apa yang sedang dilakukan perempuan ini? Lebih masuk akal menjebak bisnis MLM, ketimbang berfilsafat mengajak masuk neraka. Dan ini dilakukan di teras depan Alfamart.

“Tenang saja, Dia tak akan tersinggung, kok.”

Dia mengambil sekotak rokok dalam kresek tadi, membukanya, mengambil sebatang dan melemparkan paknya ke arahku dan menempelkan rokok di mulutnya, kemudian mengesapnya. Saat menyelipkan rokok di bibirnya, muncul pikiran tak senonoh, namun mengingat bahwa dia bisa membaca pikiranku, segera kulenyapkan. Tanpa korek, tanpa apapun, ujung rokoknya menyala sendiri. Ajaib.

“Hidup adalah hadiah, dan kematian menjadikanya lebih indah,” ucapnya sambil menghembuskan asap rokok. “Tak ada yang lebih indah untuk menanti maut selain merokok.”

Aku mengikuti nasihatnya. Langit siang itu ditutupi awan tebal, sangat tebal, sampai-sampai aku berpikir ada piring-piring terbang di baliknya hendak melakukan invasi, atau mungkin bakal turun salju dari gumpalan awan-awan hitam di atas sana itu. Siang yang muram, dan ada Kematian yang cantik di hadapanku.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1882

20 Comments

  1. Tanpa korek, tanpa apapun, ujung rokoknya menyala sendiri. Ajaib. Ini sama ajaibnya dengan pesawat yang hendak menabrak mang Iwang saat akan beli Indocafe di warung depan Kedai. Pesawat tiba-tiba hadir di Jalan Solontongan. Sama-sama ajaib bukan?

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *