oleh Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir 2 Januari 1982
Apakah artinya gelar, dan puji-pujian?
Pada suatu siang yang kuno di Korintha, Yunani, seorang raja muncul di jalan menghampiri seorang fakir yang sedang terbaring. Raja itu bukan raja sembarangan, tapi juga fakir itu bukan fakir sembarangan.
Sang raja memperkenalkan diri, “Aku Aleksander yang Agung.”
Fakir itu membalas, adem, tanpa berdiri, “Aku Diogenes, sang anjing.”
Adegan itu terkenal dalam sejarah – mungkin karena ia melambangkan banyak hal. Diogenes semula seorang bankir yang bangkrut dari Sinope. Ia pun jadi peminta-minta. Tapi kemudian ia mendapatkan sebuah ajaran: ia berguru kepada filosof Antisthenes.
Antisthenes, seorang yang asal-usulnya separuh budak belian, mengajarkan kemiskinan – atau lebih tepat ketidakpunyaan – sebagai pembebasan.
Ia tak ingin mempunyai, karena ia tak ingin dipunyai. Ia hanya secara aktif hidup, ada, dan memberi arti yang dalam kepada kehidupan. Ia berbangga bahwa ia tak punya rumah ataupun harta. Ia juga berbangga akan jubahnya yang rombeng. Seorang teman filosofnya sampai mengejek: “Aku bisa melihat kebanggaanmu akan diri sendiri, Antisthenes, lewat lubang-lubang pada jubahmu.”
Antisthenes mungkin diam-diam seorang yang pongah, tapi setidaknya dia konsisten. Ia tak memungut bayaran bagi kuliah-kuliahnya. Kelasnya hanya sebidang tanah di pusat gimnasium Cynosarges: tempat orang-orang keturunan rendah, dan anak haram. Ia memang lebih menyukai murid yang miskin. Dan mereka yang tak suka mempraktekkan sikap fakir itu, ia usir. Kadang-kadang dengan pentungan.
Diogenes yang mula-mula ditolaknya jadi murid kemudian jadi tokoh yang memasyhurkan ajarang guru yang streng itu. Dan tentu saja Diogenes sendiri jadi beken, meskipun ia juga berpakaian rombeng, menghabiskan waktunya di tepi jalan, berdiskusi, mengajar dan berjemur.
Tak heran bila Aleksander Agung takjub mendengar tentang orang ini. Mungkin itulah sebabnya ia mendatangi sang filosof itu di Korintha. “Seandainya aku bukan Aleksander,” katanya, “aku akan jadi Diogenes.”
Tapi Aleksander memang bukan Diogenes.
Ia jadi raja pada umur 20 – dan dalam waktu singkat jadi penakluk bumi yang luas. Namun seperti ditulis para sejarawan tentang masa itu, kemenangan dan keberhasilan juga bisa menjebaknya.
Di Persia ia taklukkan, raja Macedonia yang masih muda itu terpesona akan adat dan kebudayaan negeri Timur yang megah tersebut. Maka ia bukan saja menikahi sekaligus dua putri bangsawan utama di sana. Ia juga mulai mengganti baju keprajuritannya yang keras dan bersahaja, dengan pakaian kemaharajaan yang anggun tapi pongah.
Dan di tahun 324 Sebelum Masehi, Aleksander melangkah lebih jauh. Ia berkirim surat ke seluruh negeri Yunani (kecuali ke negeri asalnya, Macedonia), memaklumkan sesuatu yang tak terpikirkan sebelumnya: ia ingin diakui sebagai putra dewa Zeus-Ammon.
Seluruh Yunani terpaksa setuju. Ada yang mengatakan, bahwa langkah itu cuma siasatnya belaka. Bukankah ia harus memerintah suatu wilayah yang begitu beragam, begitu asing, tempat hidup bangsa-bangsa yang masih bertakhyul, yang oleh orang Yunani disebut “barbar”? Konon, ketika ia terluka oleh panah, ia berkata kepada anak buahnya (yang juga teman-teman seperjuangannya): “Lihatlah, ini darah – bukan cairan dari luka para dewa.”
Tapi agaknya adat istiadat Persia – yang tak punya tradisi demokratik seperti Yunani – ikut mempengaruhi sikapnya. Di sini puji-pujian begitu gampang diberikan kepada yang duduk di mahligai. Dan Aleksander pun, kata para penulis sejarah, mulai cepat curiga dan pemberang. Ia membunuh Cleitus, sahabatnya sendiri, karena merasa dicemooh. Ia memenjarakan Callisthenes, sejarawan, karena mengecamnya. Dan ketika ia wafat pada umur 33 tahun, Aleksander tak sempat menyiapkan orang No. 2.
Maka kita pun teringat kembali kepada pertemuannya dengan Diogenes. Aleksander bertanya apa yang Diogenes minta dari padanya. “Jangan menghalangi matahari,” hanya itu jawab Diogenes. Singkat, adem, penuh makna.
Mungkin apa yang dikatakan Diogenes adalah semacam ramalan untuk sang raja yang congkak ini ya :hehe. Seorang pemimpin besar kalau menurut saya hendaknya tahu bagaimana rasanya menjadi pengemis. Bukan apa-apa, hanya saja yang ia pimpin adalah masyarakat dengan beragam latar belakang, dan menyatu dengan masyarakat adalah sebuah kewajiban bagi si pemimpin itu :hehe.
Ajaran si Diogenes ini namanya sinisme, intinya menolak kebahagiaan dari kekayaan, kekuatan, kesehatan, dan kepamoran. Sebenarnya jangan dilahap mentah-mentah ajaran ini, tapi satu yg bisa dipetik: materi adalah sesuatu yg sementara, membahagiakan namun menyesatkan, maka ketika diamanahi kekuasaan hendaknya berhati-hati.
Ooh, semacam ekstremis lawan dari hedonisme, begitulah kira-kira ya Mas. Iya, saya setuju, jalan tengahnya memang seperti itu: meletakkan semua pada porsinya dan berhati-hati :)).
Wah makasih banyaknya Rip ilmunya. Dalem banget tuh. Jangan terlena sama puja-puji karena itubjustru senjata paling bahaya. Banyak di film-film bersetting kerajaan, keangkuhan selalu runtuh akibat terlalu buta akan puja.
Hmm menarik nih. Materi cuman sementara, hidup cuman sekali. Jadi, hajar aja. \:p/
Tapi jangan asal hajar yes.
Sejak dulu keangkuhan dan kecongkakan itu tak berumur panjang.
Karena keangkuhan hanya milik-Nya Yang Maha Abadi.
Ini gak ada dalam buku pelajaran Sejarah SMA. Dan ini membuktikan bahwa belajar bisa dimana saja dan kapan saja. Tidak harus terpaku pada sebuah buku pelajaran. Lumayan menambah wawasan tentang sejarah. Apalagi gue jurusan IPS, jadi ini termasuk penting. Ya walaupun gak begitu penting juga karena gak di bahas dalam pelajaran tapi setidaknya ini cukup untuk menambah wawasan 🙂
Sejarah bukan cuma buat anak IPS, sejarah adalah buat mereka yg mau berpikir dan mau mengambil hikmah darinya.