1
Bisa saja saya menikamnya dengan pisau dapur, dan yang ia perbuat justru membalas senyum. Mungkin sedikit meringis, dengan tetap penuh jatmika. Sikap kalem yang hanya dimiliki para bestari, ketenangan yang serupa permukaan kopi yang sering ia bikin. Selepas maghrib, bersama saya sebagai seorang teman ngobrol yang payah, entah kenapa perbincangan kami mengarah soal perbedaan Americano dengan long black. Saya sendiri lupa penjelasannya, keduanya sama-sama kopi berair, hanya berbeda soal mana yang pertama dimasukan, air dulu, atau kopi dulu. Dia lalu bertanya tentang siapa saja penulis yang suka ngopi. Hmm, banyak sih, jawab saya, Camus, Albert Camus, dia doyan bengong di kedai kopi. Terus Flaubert, lanjut saya, dia sehari minum kopinya bisa sampai 50 gelas, dan mati karena ginjalnya rusak. Perlu dikoreksi: Bukan Gustave Flaubert, tapi Honore de Balzac, saya salah sebut. Kalau Murakami suka ngopi? tanyanya. Minum wine dan ngebir dia mah, sebut saya, langsung terpikir kalau kami berdua sudah seperti protagonis dalam novel Dengarlah Nyanyian Angin dengan dialog sok intelek ini. Dia sendiri sering memanggil saya dengan nama belakang penulis Jepang itu, entah olok-olok yang benar, karena Murakami sendiri berarti desa atas. Apakah dia mengejek kalau saya orang udik, saya yakin dia enggak tahu akan hal ini. Penulis dari rahim Kabupaten mah kebanyakan pemurung, puji seorang kawan lain, ditujukan bagi saya. Si barista mungil bernama Hamdan ini pun orang Kabupaten. Harusnya saya bersyukur dipanggil Murakami. Perbincangan kami ini berada di depan Alfamart persimpangan Jalan Asia Afrika dan Jalan Alkateri, sebelah barat Mesjid Agung. Kopi di Alfamart lebih bagus ketimbang Circle K, nasihatnya suatu kali, hasil analisanya sendiri. Di malam lain, dia menanyakan sesuatu yang konyol, kalau diberi kesempatan kencan buta semalam mau sama idola K-pop siapa? Dasom member Sistar, saya asal sebut. Dia menggeleng enggak tahu siapa, tentu. Bukan kenapa-kenapa, karena idol cantik itu punya cita-cita bikin buku kumpulan esai sebelum menginjak 30. Dengan Americano racikan Hamdan, dan mungkin dia berbaik hati bakal menyetelkan musik jazz, tentu soal tulis menulis ini bakal jadi bahasan yang setidaknya bisa membuat saya bisa bicara. Klise a la drama Korea, memang; skenario yang halusinatif, iya.
2
Seperti orang yang duduk di hadapan saya, selalu dibuat iri oleh manusia yang bisa merangkai dua ratus tiga puluh kata per menit. Saya setia menjadi pendengar bualan Iwang, namun mencuri pandang ke arah Jalan Solontongan beserta lalu lalangnya. Hanya dengan menonton laju gerak manusia, sering muncul pemikiran mengada-ada. Kehidupan, bagi saya, seperti ketika kau hendak menyeberang jalan, melirik kanan-kiri, memastikan bahwa kau akan selamat sampai seberang jalan, namun saat melangkah tanpa disangka-sangka sebuah Boeing 747 mendarat darurat dan menggilasmu. Hidup sialan ini hanya sekumpulan kesialan, ketidaksialan dan kesia-siaan. Ah, tahu apa saya soal hidup? Hanya bocah manja yang hobi mengeluh. Pria yang sedang mendongeng di hadapan saya, yang usianya dua kali lipat dari saya, tentu lebih mengerti, setidaknya punya lebih banyak pengalaman. Saya membayangkan apakah saya bisa menginjak usianya. Suatu kali saya mengetes soal kepribadian di internet, dan mendapati kalau Jim Morrison dan Kurt Cobain berbagi watak dengan saya, mati di usia 27 mungkin suatu kehormatan. Semakin menua, saya justru jadi seorang bajingan pembenci diri. Haruskah aku bunuh diri atau minum secangkir kopi? ujar seorang pemikir dari Prancis. Ah, nampaknya saya perlu ngopi.
Rip, ga ngopi? Iwang selalu inisiatif menawari. Saya beri selembar lima ribu pada Iwang. Indocafe atau ABC Susu, pinta saya. Dia enggak masuk ke dalam Kedai Preanger, tentu, melainkan membelinya di kios kecil di seberang jalan. Dia menyeberang, sialnya enggak ada pesawat jatuh. Selain tangan saya sendiri, Iwang adalah lelaki bejat yang sering meremas penis saya, entah apa motifnya, yang pasti ini sudah bisa dipidanakan sebagai kasus pelecehan seksual. Hobinya emang omong cabul, dia bahkan pernah membeberkan pengalaman pribadinya, saat masa muda penuh berahinya, dan meminta saya untuk menuliskan ceritanya. Memang sebiru Almost Transparent Blue-nya Murakami. Ryu bukan Haruki. Anjing, saya makin iri dengan pengalaman percintaannya. Iwang balik sambil membawa dua gelas plastik berisi cairan coklat panas, juga dua linting rokok yang disembunyikan di sakunya. Mana kembaliannya? tanya saya bercanda. Dia terkekeh, selalu begitu. Kami sama-sama menyesap cairan berasa kopi ini. Jika bokep mulai dianggap lebih sensual dibandingkan seks, maka kopi jagung pun enggak ubahnya kopi betulan. Iwang sendiri ketika mencicipi Americano, atau kopi tubruk Lanang saya, justru mengeluarkan ekspresi muka serupa kukus.
3
Bagus. Kopi bagus untukmu. Ada kafein di dalamnya. Kafein, kami di sini. Kafein menempatkan si pria di atas kuda si wanita dan si wanita dalam kubur si pria. – The Sun Also Rise, Ernest Hemingway
Di Kedai Preanger. Sinar matahari pagi memaksa masuk lantai dua Kedai Preanger. Berhasil bikin saya makin enggak nyaman untuk melanjutkan tidur. Saya terbangun seperti kecoa besar tertelungkup, yang membutuhkan sebuah ledakan bom hidrogen untuk bisa menjauhkan saya dari ranjang usang itu. Akay sudah duduk di depan laptopnya, terpampang Microsoft Word di layar. Ada segelas kopi panas di atas meja sampingnya. Saya bangkit, dan tanpa minta izin langsung menyeruputnya. Bukannya menghardik, dia malah bertanya: Rip, ajarin bikin dialog lah. Saya enggak menjawab, pura-pura masih mengantuk. Rupanya dia sedang menulis cerpen.
Beberapa minggu sebelumnya, Kelas Literasi mengkhususkan untuk saling meresensi blog masing-masing, saya sengaja enggak ikut mendaftarkan diri. Aneh memang, lewat blog ini saya tentu saja menulis agar dibaca orang, tapi di sisi lain ada perasaan enggak nyaman ketika tulisan saya dibaca orang, tentu soal resiko disalahpahami dan dihakimi. Saya juga semakin bingung soal kenapa saya menulis, kenapa saya ngeblog, lebih jauh kenapa saya hidup, mereka yang menyebut dirinya penulis harusnya dikasihani, termasuk diri saya ini. Dan jika membandingkan dengan blog kawan lain, justru saya merasa malu akan blog ini. Mereka bisa menulis dengan jujur, dengan bahasa asyik. Lebih-lebih blog kepunyaan Akay, yang berkat salah satu postingannya bisa mendatangkan tambatan hatinya.
Setelah tulisan si pria tentang si gadis, mereka melepas rindu dengan bertemu. Di suatu malam Minggu di bagian luar Kedai Preanger. Saya dan Iwang memperhatikan dari dalam. Iwang mungkin sembari memikirkan pacar jauhnya di Ciamis. Akay mengantar pulang si gadis yang menyisakan segelas latte yang masih penuh. Saya, tentu tanpa minta izin, menyesap latte itu, menonton jalan Solontongan yang kali ini lenggang, dan berharap ada kucing lewat yang bisa diajak bicara. Hanya ada malam.
Anjay, pesimis banget, Ip.
Geus maca Utuy Sontani, kan?
tusuk pisau mati dong ya hehehe
[…] Tautan asli: https://yeaharip.com/2016/08/25/americano-indocafe-dan-secangkir-sepi/ […]
Sampe kucing pun tak lewat juga.. Heheeee