Insomnia adalah kondisi tidur yang paling umum di dunia, dengan setengah dari orang dewasa secara global melaporkan episode sesekali. Insomnia kronis, meskipun jauh lebih jarang, mempengaruhi sebanyak 10 hingga 15 persen dari populasi orang dewasa.
Meskipun masalah tidur ini sangat umum, mekanisme neurobiologis di balik insomnia belum sepenuhnya dipahami.
Penelitian menunjukkan bahwa stres emosional memainkan peran besar dalam berbagai masalah tidur, dan tercatat bahwa gangguan suasana hati dan kecemasan adalah komorbiditas umum dengan insomnia. Ini sepertinya sudah jadi kepercayaan umum.
Gairah emosional, apakah karena keadaan cemas atau karena pikiran yang mengganggu, membuatnya sulit untuk rileks, sehingga menghambat kemampuan seseorang untuk memulai tidur atau kembali tidur setelah terbangun.
Garis pemikiran ini menunjukkan bahwa para peneliti dapat lebih memahami insomnia dengan memeriksa mekanisme yang mendasari bagaimana tubuh kita merespons stres.
Memahami Sistem Limbik
Bagian-bagian otak yang bertanggung jawab untuk memproses dan merespons stres secara kolektif dikenal sebagai sistem limbik.
Semua hewan memiliki beberapa iterasi sistem limbik, dan memungkinkan mereka untuk dengan cepat menanggapi ancaman yang dirasakan. Ketika ancaman diidentifikasi, sistem limbik mulai bertindak untuk mempersiapkan tubuh kita untuk melarikan diri dari ancaman atau melawannya. Reaksi ini dikenal sebagai respons fight-or-flight.
Respon fight-or-flight ini sangat penting untuk bertahan hidup karena memberi hewan, termasuk manusia, lonjakan neurotransmiter, yang memberi mereka kesempatan lebih baik untuk melarikan diri atau melawan predator. Siapa pun yang terkejut dan merasakan jantung mereka mulai berpacu tahu betapa kuatnya respons ini.
Namun, sistem yang sama diaktifkan bagi manusia yang hidup dalam latar yang lebih modern bahkan jika alasan lonjakan tiba-tiba neurotransmitter adalah dari sesuatu yang tak terlalu mengerikan.
Konsekuensinya, tenggat waktu yang makin mepet atau janji temu di hari esok yang berpotensi menimbulkan kecanggungan dapat memicu mekanisme biofisiologis yang sama, meskipun situasi seperti ini tidak menimbulkan ancaman signifikan bagi keberadaan kita.
Anatomi Sistem Limbik
Sistem limbik memiliki dua komponen utama, amigdala dan hippocampus.
Amigdala merespons rangsangan dengan menghasilkan respons emosional, terutama perasaan takut atau agresif, serta emosi positif ketika tubuh merasakan rangsangan yang membangkitkan atau rangsangan yang menyenangkan. Hippocampus bertanggung jawab untuk penciptaan dan konsolidasi memori.
Sistem limbik juga berkomunikasi dengan beberapa bagian otak lainnya. Secara khusus, hipotalamus memainkan peran utama dalam sistem limbik, meskipun ia juga melakukan banyak fungsi lainnya.
Hipotalamus dapat dianggap sebagai pusat kendali tubuh karena mengatur banyak autonomic nervous system (ANS), yang bertanggung jawab untuk mengendalikan fungsi tubuh vital yang tidak perlu kita pikirkan. Beberapa fungsi-fungsi ini termasuk pernapasan, tekanan darah, suhu tubuh, dan detak jantung.
Aktivasi Sistem Limbik
Ketika kita merasakan ancaman, amigdala mengirimkan sinyal marabahaya ke hipotalamus, yang pada gilirannya mengirimkan pesan kimiawi ke kelenjar adrenal untuk melepaskan epinefrin (atau adrenalin) ke dalam aliran darah.
Peningkatan adrenalin ini mengaktifkan divisi ANS yang dikenal sebagai sistem saraf simpatis atau sympathetic nervous system (SNS), yang mengaktifkan perubahan fisiologis dalam tubuh yang pada akhirnya akan membantu kita melawan ancaman atau melarikan diri ke tempat yang aman.
Misalnya, ketika adrenalin mengalir ke seluruh tubuh, ia melebarkan saluran udara di paru-paru kita untuk membawa lebih banyak oksigen ke dalam tubuh, itu menyebabkan detak jantung kita meningkat untuk mendorong lebih banyak darah yang kaya oksigen ke otot-otot kita, dan ia melepaskan enzim yang menyebabkan lemak yang telah disimpan dalam tubuh kita untuk diubah menjadi glukosa, yang kemudian memberi kita lebih banyak energi. Bahkan penglihatan dan pendengaran kita menjadi lebih tajam.
Jika ancaman tidak segera teratasi, tubuh dapat mempertahankan keadaan hiperawaritas ini dengan mengaktifkan apa yang dikenal sebagai poros hipotalamus-hipofisis-adrenal (aksis HPA).
Rangkaian respons hormon ini dimulai ketika hipotalamus melepaskan hormon pelepas kortikotropin (CRH) dan arginin vasopresin (AVP), yang memberi tahu kelenjar hipofisis untuk melepaskan hormon adrenokortikotropik (ACTH). ACTH memerintahkan kelenjar adrenalin untuk memproduksi kortisol, yang menjaga tubuh dalam keadaan waspada. Karena alasan ini, kortisol sering disebut sebagai “hormon stres.”
Begitu ancaman telah berlalu, divisi lain dari sistem saraf otonom, sistem saraf parasimpatis atau parasympathetic nervous system (PNS), mengambil alih dan mengembalikan tubuh kita ke keadaan istirahat.
PNS tidak hanya bertanggung jawab untuk melonggarkan tubuh kita dari keadaan kewaspadaan tinggi; itu juga mengatur aktivitas seksual, air liur, pencernaan, buang air kecil, dan buang air besar.
Secara umum, SNS melibatkan fight-or-flight, PNS melibatkan aktivitas makan dan berkembang biak.
Peran Hippocampus dalam Sistem Limbik
Sebagian besar ingatan bukan sekadar kumpulan persepsi. Mereka juga memasukkan cara yang kita rasakan pada saat ingatan diciptakan karena amigdala dan hippocampus bertindak bersama untuk menyandikan ingatan dengan emosi.
Di satu sisi, kondisi ini mengharuskan kita untuk berulang kali berpartisipasi dalam kegiatan yang terkait dengan emosi positif. Di sisi lain, itu mengharuskan kita untuk menghindari kegiatan yang terkait dengan emosi negatif dan memungkinkan kita untuk lebih siap menghadapi skenario fight-or-flight.
Jika kita mendapati diri kita dalam situasi yang berbahaya dan melarikan diri, kita mungkin dikondisikan untuk menghindari tidak hanya situasi itu sendiri, tetapi kegiatan atau rangsangan yang terkait dengan situasi itu.
Ketakutan semacam itu tidak didasarkan pada insting, tetapi lebih pada ingatan. Sebagai contoh ekstrem, jika seseorang hampir tenggelam di lautan pada usia muda, hal ini dapat menimbulkan ketakutan tidak hanya pada lautan, tetapi juga terhadap segala jenis perairan.
Sementara interaksi antara emosi dan memori ini dapat menyebabkan berbagai fobia yang dapat mengganggu kehidupan normal seseorang, hubungan ini merupakan bagian integral dari kelangsungan hidup.
Tanpa itu, kita tidak akan bisa mengingat ancaman potensial atau kegiatan berbahaya. Orang seperti itu akan menjadi tak kenal takut dan kemungkinan besar tidak akan lama berada di dunia ini.
Sistem Limbik, Tidur dan Insomnia
Kabar baiknya adalah bahwa banyak dari kita tidak lagi hidup di dunia di mana kita harus terus-menerus waspada tentang predator atau bahaya potensial lainnya, tetapi kita masih siap untuk bertindak jika ada ancaman.
Selain itu, banyak dari kita mengalami kesulitan mematikan kiasan “on switch” dalam pikiran kita, yang berarti bahwa tingkat stres kita tetap tinggi bahkan ketika kita mencoba menidurkan diri kita.
Ini adalah kejadian yang relatif normal, sayangnya. Dalam kebanyakan kasus, setelah penyebab stres teratasi, individu dapat melanjutkan pola tidur normal. Namun, bagi mereka yang menderita insomnia, pemicu stres adalah kurang tidur, dan keinginan untuk tidur menjadi pemicu stres itu sendiri.
Dengan kata lain, fiksasi pada tidur menyebabkan perasaan stres karena tidak tertidur, yang memulai lingkaran setan.
Menurut model yang pertama kali diusulkan oleh Kales et al. pada tahun 1976, pasien dapat mengembangkan rasa takut terkondisikan untuk tidak bisa tidur, yang membuat mereka dalam keadaan hyperarousal ketika mereka mencoba untuk tertidur. Ini membuat ketidakmampuan mereka untuk tidur menjadi ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya.
Penelitian tambahan telah menguatkan model ini. Sebuah penelitian di Jerman yang diterbitkan dalam jurnal Sleep pada tahun 2014 mengamati bahwa pasien dengan insomnia merespons rangsangan terkait insomnia dengan peningkatan aktivitas amigdala yang berhubungan dengan emosi negatif.
Sekali lagi, ini menunjukkan bahwa ketakutan terhadap insomnia, yang dapat ditimbulkan oleh pasien rangsangan yang berhubungan dengan insomnia, dapat menjadi akar dari insomnia itu sendiri.
Bagi dokter, para penulis penelitian menyarankan bahwa opsi perawatan harus mencakup strategi yang mengatasi emosi negatif yang terkait dengan insomnia dan tidur. Ini akan termasuk menawarkan pelatihan relaksasi (teknik pernapasan, meditasi, panduan penggambaran, dll.), serta Cognitive-Behavioral Treatment (CBT) dalam kasus-kasus yang lebih sulit.
Pada akhirnya, tujuannya mungkin bukan semata-mata untuk mengobati insomnia pasien, tetapi juga untuk mengobati ketakutan pasien terhadap insomnia dan untuk menyelesaikan setiap emosi negatif yang terkait dengan tidur.
*
Diterjemahkan dari The Anatomy of Insomnia yang ditulis Samoon Ahmad di Psychology Today.