Aneka Reka Kabayan: Tokoh Lucu Sunda dalam Lintasan Sejarah

Kabayan berhutang pada Snouck Hurgronje, sebab sang Orientalis itu “menemukan” tokoh rekaan dari Sunda ini.

“Sebagian cerita-cerita Kabayan itu paling tidak sama baiknya dengan cerita-cerita terbaik dalam Uilespiegel (karakter kocak dari folklore Jerman),” puji Hurgronje.

Tokoh cerita lucu di Nusantara ini untuk pertama kalinya disinyalir oleh Hurgronje dalam bab dua De Atjehers (1893), yang menyebutkan:

“Yang tidak kurang populer dari orang cebol yang cerdik, dalam cerita rakyat Indonesia adalah orang yang dilihat sepintas lalu saja memiliki ciri-ciri persamaan yang tak diragukan dengan cerita lucu Eropa, juga dengan Joha Arab-Turki dari Chodja Nasreddin; mengherankan bahwa sejauh saya ketahui belum ada seorang pun yang mencurahkan perhatian pada tipe yang mencolok ini.”

Sebelumnya, pada warsa 1889-1891, bersama Haji Hasan Moestapa sang penghulu besar Bandung, Hurgronje melakukan penelitian mengenai kehidupan Islam dan cerita rakyat di Pulau Jawa.

Di antara cerita rakyat yang mereka kumpulkan tentu saja termasuk dongeng-dongeng lucu Si Kabayan. Beragam kisah Kabayan itu didapatkan dari Banten Selatan, Cirebon Selatan dan Priangan.

Sesudah itu diberikan uraian khusus mengenai cerita lucu Sunda, Si Kabayan, dalam 70 dongeng yang dihimpun sang penulis.

Kabayan dalam Tinjauan Snouck Hurgronje

Berbicara mengenai Kabayan, Hurgronje mengatakan: “Karena menjadi titik pusat beredarnya humor rakyat dan ironi, maka ia pun sekali-sekali memainkan peranan dalam cerita yang semula termasuk dalam siklus lain atau yang datang dari luar; sama juga dengan legenda mengenai perbuatan seorang pahlawan besar yang di satu atau lebih tempat tidak begitu dikenal.”

Snouck Hurgronje
Snouck Hurgronje. Foto: KITLV.
Snouck Hurgronje dan Haji Hasan Moestopa
Snouck Hurgronje dan Haji Hasan Moestopa. Foto: KITLV

Hurgronje juga mengatakan bahwa di kalangan penduduk Sunda cerita-cerita Kabayan tidak hanya terus-menerus diulang oleh tua-muda, tetapi percakapan biasa di dalamnya yang berisi sindiran-sindiran dan kutipan dari dongeng-dongeng itu pun diucapkan.

“Juga di luar tanah Sunda tokoh lucu itu cenderung membentuk satu siklus,” tulis Hurgronje, “Di Kepulauan ini kita temukan cerita lucu dalam berbagai stadium dan perkembangannya. Kadang-kadang berdampingan satu sama lain serangkaian akal-akalan cerdik seseorang dan diceritakan tentang serangkaian kebodohan seorang lain, kadang-kadang cerita-cerita itu disatukan, dan tipe yang muncul kemudian kebanyakan adalah semacam orang yang jelas terbelakang yang walau memiliki keterbatasan, namun peka terhadap humor (ingat adanya banyak tipe orang biasa yang populer).”

Kabayan dan Literatur Lucu Nusantara

Kabayan selalu berubah dari dongeng yang satu ke dongeng yang lain. Sifat dan tabiatnya, begitu juga kecerdasan dan ketinggian budinya, tidak tetap. Namun ada semacam watak yang sering mengisi Kabayan.

Hal ini seperti yang disebut Hurgronje: “Tidak kalah dengan Uilespiegel, Kabayan selalu menangkap kata-kata pembimbing dan penasihatnya secara keliru, dan menyebabkan cara dia melaksanakan perintah mereka selalu bikin ngeri, heran atau merugi.”

Kabayan terdiri atas entah berapa ribu dongeng dan setiap orang pada setiap waktu dapat saja mencipta dongeng Kabayan versinya.

Berbagai cerita Kabayan yang dihimpun Hurgronje itu kemudian dimanfaatkan Lina Maria Coster-Wijsman sebagai bahan disertasinya pada 1929. Coster-Wijsman berpendapat bahwa tidak ada di tempat lain di Kepulauan Nusantara yang memiliki cerita-cerita lucu yang sekaya pada orang Sunda.

Oleh karena itu siklus Kabayan pantas menjadi titik tolak untuk meninjau literatur lucu Indonesia. Aneka ragam lelucon, dan daerah-daerah yang menceritakan kembali cerita-cerita lucu Nusantara, dapat ditemukan kembali dalam cerita-cerita Kabayan, seluruhnya atau sebagian.

Kabayan, Seks dan Sensor

105

Si Kabajan éwéna rék ngadjoeroe, keur ditoenggoean baé, diboekakeun sampingna, tembong boeloe heuntjeutna éwéna, gijak senggak: “tah euj, boga anak pipatjalangeun, geus godégan ti leuleutik.” Barang ditegeskeun témbong itilna, “ih eutik-eutik oendjoek apa,” ngok ditjioem, “euh, eutik-eutik awoe ékon.”

Membaca beragam kisah Kabayan masa silam, kita bisa mengetahui bahwa seks bukanlah sesuatu yang tabu, melainkan dianggap sebagai sesuatu yang wajar dalam keseharian masyarakat Sunda.

Namun, ketika Balai Pustaka menerbitkan kumpulan dongeng Si Kabayan pada tahun 1932, di dalamnya tak terdapat satu pun cerita yang menyangkut seks.

Hal ini melukiskan bahwa sistem nilai yang dianut redaktur Balai Pustaka sudah berbeda dengan sistem nilai yang dianut manusia Sunda yang menciptakan dongeng tersebut.

Bahkan dalam cerita yang dikumpulkan Hugronje, ia menyebutkan kalau sebagian cerita yang ia dapatkan “lebih interesan, karena berisi contoh-contoh tentang kelakar rakyat yang kasar, yang banyak diantaranya terlalu kotor menurut pandangan Eropa untuk diterjemahkan.”

Dalam kebudayaan Sunda, ada istilah “jorang” dan “cawokah” yang berarti cabul atau mesum. Arkeolog dan pemerhati budaya Sunda Ayatrohaédi pernah menyoal dua istilah ini, pembedanya terletak pada teks dan konteks humor yang dimaksud.

Jorang bisa disamakan dengan porno sementara cawokah adalah kecabulan yang spontan dan seolah-olah re­fleks. Mengacu pada cerita Kabayan tadi, Ayatrohaédi berke­simpulan bahwa itu bukanlah humor jorang (porno), tetapi masuk pada golongan cawokah.

Kenapa Kabayan Jadi “Si Pemalas Tapi Cerdas”?

Soal watak si Kabayan, Ajip Rosidi dalam Manusia Sunda berspekulasi bahwa kepandaian berkata-kata dan bersilat lidah dalam diri Kabayan makin populer dan menjadi sifat yang homogen berkat Si Kabayan Jadi Dukun, karangan Moh. Ambri pada tahun 1932.

Cerita itu merupakan saduran dari sebuah lakon sandiwara karya pengarang Prancis Moliere (1622-1673) yang berjudul Le Medecin Malgre Lui.

Drama ini adalah salah satu dari beberapa drama Molière yang berpusat pada karakter Sganarelle, dan merupakan komedi satir tentang pengobatan Prancis abad ke-17. Diceritakan Sganarelle merupakan tukang kayu miskin yang dengan kecerdikannya berpura-pura jadi seorang dokter.

Sganaralle drama
Tokoh Sganaralle dan istrinya. Foto: theater.roumanoff.com

Moh. Ambri menyadur tokoh Sganarelle ini menjadi Si Kabayan, melukiskan seorang tokoh pemalas, tapi cerdas, pandai berbicara, dalam arti tak pernah terdesak kalau berhadapan dengan orang lain, apakah istrinya atau para pejabat pamongpraja.

Arketip karakter Si Kabayan inilah yang paling populer sampai sekarang.

Kabayan, Dialog dan Diskursus

si kabayan saba kota
Si Kabayan Saba Kota (1989)

Seperti Don Quixote dan Sancho Panza, Kabayan membutuhkan pasangan lain untuk menciptakan dialog.

Dalam sebuah cerita Kabayan biasanya bermain dua orang: Kabayan dan seorang lain, apakah mertua laki-lakinya atau kyai, apakah mertua perempuannya atau nyai; kadang-kadang Kabayan dan istrinya. Sekali-kali tampil juga seorang teman, dan kadang-kadang tampil pasangan Kabayan; juga seorang janda yang dipercayainya.

Dengan mertua laki-lakinya, Kabayan selalu bertentangan. Seringnya si mertua jadi korban, tapi Kabayan tak jarang pernah sial. Si Kabayan dalam dongeng-dongeng yang sudah tersebar itu, ialah seorang kampung yang lingkungan pergaulannya terbatas kepada istri, mertua, atau majikannya.

Dalam cerita-cerita si Kabayan ciptaan baru, kadang-kadang dia dilukiskan sebagai orang yang tinggal di kota, meski tetap bersifat kampungan juga. Jumlah cerita Kabayan senantiasa bertambah karena setiap waktu ada saja orang yang ingin membuat lelucon atau sindiran atau nasihat dengan tokoh komikal ini.

*

Referensi:

  • Coster-Wijsman, Lina M. 2008. Si Kabayan: Cerita Lucu di Indonesia Terutama di Tanah Sunda. Bandung: Pustaka Jaya.
  • Kurnia, Atep. (4 April 2009). Seksualitas Si Kabayan. Kompas.
  • Rosidi, Ajip. 2010. Manusia Sunda. Bandung: Kiblat.
  • Faruk H.T. et al. 2004. Seks, Teks, Konteks: Tubuh dan Seksualitas dalam Wacana Lokal dan Global. Bandung: Jurusan Bahasa Inggris Unpad
Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1783

11 Comments

  1. Hmbbbh…siang-siang dapat sajian artikel based on jurnal ilmiah tentang budaya dan humaniora yang keren-keren dari si Arip

    Jujur aku baru tahu bahwa karakter berwatak jenaka asal Nusantara yaitu Kabayan ternyata punya perbedaan ya antara yang di folkrore (yang berkembang di masyarakat pada era baheula khususnya di tanah Sunda…dan ada juga yang dari Bantennya juga ya) dengan yang sudah dibukukan lewat balai pustaka, apalagi yang sudah masuk ranah filmnya. Kayak lumayan ber-gap juga ya pergeseran model guyonannya. Sebenarnya aku lebih penasaran ama yang versi cawokahannya Rip–yang ala-ala kelakaran rakyat jelatanya dan sudah menjadi bahan kajian dari Snouk Hurgronje..

    Kalau Kabayan versi film lebih banyak menyoroti tentang masalah percintaannya memang, juga konflik antara mertua vs menantu yang ga pernah akur. Terlegendnya sih yang diperankan oleh Alm. Didi Petet, meskipun aku lebih hapalnya pas beliau jadi tokoh Emon di Catatan si Boy …Tapi pas di si Kabayan, aktingnya lumayan membekas juga apalagi pas bersandingkan dengan Alm. Nike Ardila sebagai Nyi Iteung-nya….

    #by the way templatenya ganti lagi apa yah?

    • Top 3 Nyi Iteung:
      1. Nike Ardilla
      2. Paramitha Rusady
      3. Desy Ratnasari

      Kalau di cerita Kabayan yg dulu2 itu bahkan yg jadi pasangan Kabayan namanya bukan cuma Iteung. Karena sifatnya oral, dan dibicarian di lingkungan pergaulan tertentu, jadi sifat ceritanya agak cair. Pas digarap Balai Pustaka tentu saja kena sensor, ini semacam politik bahasa juga.

      Kalau soal cawokah mahh sebenernya di lingkungan sehari-hari saya juga masih sering mengamalkan ini. Ga lengkap kalau ga ngomong yg jorok2 haha.

      Si Emon dan Kabayan emang peran paling membekas dari almarhum Didi Pepet, sebelum jadi Preman Pensiun.

      Iya temanya diganti, masih setipe sih, tema yg kemarin banyak yg miss.

  2. Banyak juga versi Kabayan sampe ada film-nya, saya tahunya edisi jadi Dukun aja. Jadi penasaran nih sama filmnya..

    • Pas zama Orba emang ada Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah dari Depdikbud, dan judul “Si Kabayan Jadi Dukun” dari Moh Ambri itu salah satu yg diterjemahkan.

      Dulu film Kabayan sering diputer kalau lebaran. Di youtube ada beberapa yg upload tapi jelek kualitasnya. Belum ada semacam restorasi juga.

  3. mas, jujur, aku ngefans sama tulisanmu ahahaha

    dalam sebuah diskusi budaya di Yogyakarta beberapa tahun lalu, aku mendengar sebuah pendapat bahwa kabayan ini adalah salah satu watak khas sebagian masyarakat Indonesia. Cerdas tapi pemalas.

    Sayangnya, tokoh kabayan mulai dihilangkan pada pelajaran sekolah dasar.
    Padahal, pas saya sekolah dulu, ia begitu sering keluar dalam beberapa materi untuk merepresentasikan watak malas nan cerdas. Cerita paling saya ingat adalah saat ia diminta mertuanya menafsirkan mimpi berenang di muara dan udik.

    ah jadi nostalgia

    saya kurang begitu mengikuti seri filmya. yang saya tahu ya yang didi petet itu.

    • Wah makasih, masih ada banyak penulis yg lebih baik dari saya, kok.

      Iya bisa digeneralisir manusia Indonesia kayak si Kabayan ini, pada pinter ngelesnya, termasuk saya.

      Pas sekolah dulu sering keluar cerita Kabayan ini, apalagi kalau di sini emang ada mata pelajaran Bahasa Sunda. Belum tau perkembangan yg sekarang gimana.

      Didi Petet itu paling legend emang, apalagi pasangannya Nyi Iteung pada cakep2 dan artis top pada masanya.

  4. Buju buneng,,, aku baru tau kalau sejarah kabayan teh luas banget.. Taunya cuma nonton itupun nggak pernah sampe abis. yah bener kata mba kuskus di atas. Kalau denger kabayan selalu inget sama sarung sama pecinya. bahkan smpe digunain buat candaan… kaya "Hahahah, peci kamu kaya kabayan aja…"

    • Iya peci miring sama sarung diselendangin gaya khas Kabayan, mungkin ini populer setelah Kang Ibing meranin film Kabayan sebelum Didi Petet.

      Saya juga ga terlalu ngikutin perkembangan film komedi Indonesia, tapi film tahun 80-90-an yg pernah saya tonton lucu2, termasuk Kabayan ini.

  5. Berarti terbitan Balai Pustaka bisa dikatakan nggak original kah??? Aku sendiri walaupun orang sunda tapi enggak mengikuti kisah-kisah kabayan ini, filmnya pun belum nonton, hanya sekedar tahu saja. Tapi jadi penasaran sama terbitan sebelum Balai Pustaka, haha..

    -traveler paruh waktu

  6. Saya tau Kabayan dari buku di Perpus SD. Dulu ngga begitu paham, semakin besar juga taunya cuman yang film itu, Si Kabayan Saba Kota yang diperankan (alm) Didi Petet. Baru mulai ngerti pas baca ini. Baru tau saya cerita Kabayan banyak disadur dari cerita luar. Terakhir baca saduran luar adalah drama "Pakaian dan Kepalsuan"

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *