Hal terpenting yang kita pelajari di sekolah ialah fakta bahwa hal paling penting enggak dapat dipelajari di sekolah, tulis Haruki Murakami. Dalam What I Talk About When I Talk About Running-nya, ada beragam kalimat aduhai yang bisa dipinjam kalau-kalau ingin ditulis di caption Instagram, dan yang tadi adalah kalimat favorit saya.
Karena memang, sesuai pengalaman hidup saya sejauh ini, Google justru lebih banyak mengajarkan saya ketimbang sekolah selama bertahun-tahun yang menguras kantong orangtua. Tentu saja, kita enggak bisa menampik, sekolah sangat penting, minimal untuk mendapat segenggam ijazah pun gelar.
Meniru Lao Tze, juga Kabayan, saya sebenarnya pemalas akut, juga skeptis dalam menjalani hidup, namun beruntungnya orang-orang selalu berpikir saya adalah seorang bijak bestari—memang dari nama mencerminkan itu. Tapi jika kau bertanya bagaimana cara belajar kebijaksanaan hidup, Google yang serba tahu pastinya bisa menjawab. Atau, menurut bacotan filsuf edan bernama Friedrich Nietzsche: Segala pikiran besar terkandung dengan berjalan kaki.
Sialnya, selain membaca, budaya paling enggak diminati orang Indonesia adalah berjalan kaki. Padahal tanpa perlu susah-susah menekuri, atau bahkan mengenali nama-nama seperti Socrates, Confucius, Ibnu Sina, Descartes, Kierkegaard, Schopenhauer, Tagore, Camus, Sartre, Foucalt, St. Sunardi, Yasraf atau Alain de Botton, cukup dengan hanya berjalan kaki mengamati sekitarmu, kau tetap bisa mengambil pelajaran yang enggak ternilai harganya. Agar lebih pandai membaca ayat kauniyah, beragam pertanda di sekitar kita, berjalanlah bersama para pecinta kearifan lainnya, lebih baik lagi kalau kau bisa berjalan berdampingan dengan orang bernama Arif, hehe—untuk catatan, saya jutek sama yang belum akrab, tapi aslinya baik hati, lho.
Di suatu Minggu pagi saat bulan sedang September 2014, Taman Balaikota Bandung sudah dikunjungi beragam manusia, meski para muda-mudi penari yang mereplikasi para grup idola Korea belum hinggap. Sebagai orang baru, tentu saya datang pagi-pagi betul, enggak mau telat. Ingatlah ini baik-baik, salah satu momen paling berhargamu di Komunitas Aleut! adalah apabila ketika ngaleut perdanamu disambut oleh Ajay, apalagi jika kamu perempuan cantik. Begitulah, ngaleut pertama saya bertajuk Bandung Kota Pendidikan. Saat itu saya tengah gandrung mempelajari fotografi dan videografi, berkat baru kesampaian memegang sebuah kamera DSLR, Nikon D3100 tercinta, hasil dari hadiah lomba esai tingkat nasional (meski sampai sekarang pun, saya masih menganggap diri saya ini esais yang payah). Utamanya street photography atawa fotografi jalanan, saya saat itu sedang getol-getolnya mengagumi Henri Cartier-Bresson, Robert Frank, Vivian Maier, Daido Moriyama, Kai Man Wong dan streettog lainnya. Bahkan, ada pikiran kalau saya bisa masuk agensi fotografi bergengsi macam Magnum Photos atau National Geographic. Boleh dibilang sindrom-pertama-punya-DSLR lah, tapi saya masih menyuntuki fotografi hingga sekarang, lebih ke arah filosofis ketimbang praktisnya, lebih-lebih setelah belakangan mengenal fotografer cum penulis semisal Susan Sontag dan Teju Cole. Untuk sekarang, saya lebih sering mempercayakan kamera saya pada Ajay—saya baru menyadari kalau saya lebih suka jadi model ketimbang fotografer.
Saya pikir bagi yang ingin mengasah kemampuan fotografinya bisa disalurkan lewat ngaleut ini. Kesalahan terbesar para fotografer pemula di era kekinian adalah menghabiskan waktunya mempelajari tektek-bengek perkameraan lewat forum internet, dan ini hanya akan membuatmu terinfeksi Gear Acquisition Syndrome (GAS). Begitu juga ketika gabung dengan komunitas fotografi, bukan sesuatu yang salah sih, tapi biasanya penyakit GAS tadi pun ikut muncul; harus beli lensa fix, harus punya filter ini, harus pasang aksesoris itu lah, ganti kamera jadi mirrorless, harus upgrade ke full frame. Fotografi memang hobi mahal, ya, saya setuju akan ini, tapi jangan salahkan kameramu untuk mengambinghitamkan kemampuan fotografimu yang payah. Lihat Moriyama, hanya dengan kamera saku, dan selama 50 tahun enggak pernah bosan obyek fotografinya cuma jalanan Tokyo, namun bisa bikin pameran di berbagai negeri. Seperti halnya master fotografi jalanan asal Jepang itu, jadikan diri kita layaknya seorang turis di kota sendiri. Dengan bergabung di Komunitas Aleut! pun, kau pun bisa bertemu dengan orang-orang yang punya kegemaran fotografi juga, belajar dengan mereka, dan hunting foto di setiap ngaleut.
Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, saya ini pemalas. Saya lebih seorang pemalas ketimbang penulis. Dan daripada penulis, lebih seorang penggaya. Saya menulis di blog sudah sejak 2009, dari saat masih berseragam putih abu bau kencur, dan menghasilkan beragam tulisan sampah, yang beruntungnya beberapa kali dipercaya jadi pekerja teks komersial. Nah, setidaknya, dengan ngaleut, bagi yang suka menulis bisa mendapat inspirasi untuk menuliskan catatan perjalanannya. Komunitas Aleut! juga beberapa kali melakukan proyek penulisan.
Kau tak bisa jadi pengarang fiksi serius yang hebat, sebut Kurt Vonnegut, jika kau enggak depresi. Celakanya, saya mempercayai omongan tersebut, gagal mempertahankan sikap skeptis saya. Anehnya saya enggak merasa minder meski kuliah di Keperawatan, bahkan bisa berkelit, bukankah Walt Whitman sang bapak penyair Amerika yang menjadi pionir puisi gaya bebas dan Agatha Christie, novelis yang bukunya paling laris di dunia (hanya dikalahkan Shakespeare dan Injil-juga Al-Quran), bukankah pernah jadi perawat juga? Oh, adakah cara untuk menghentikan saya yang bebal pengen jadi penulis ini? Karena belum ada cara untuk membuat saya berhenti punya impian celaka menjadi pengarang, saya ingin menyaingi Utuy T. Sontani saja, yang dipuji Pram sebagai ‘pengarang pesimis terbesar di Indonesia’.
Salah satu pejalan kaki favorit saya adalah James Joyce, yang menjadikan jalan kaki sebagai tema dalam novel babon paling berpengaruh untuk sastra modern yang sekaligus sukses bikin kepala pening, Ulysses. Ada keinginan saya dalam upaya merekam kota sendiri seperti Joyce dengan Dubliners-nya. Mungkin judulnya Orang-Orang Bandung (eh, tapi kesannya kayak judul kumcer Budi Darma sih). Tentu saja, dengan gaya yang baru, ala-ala fiksimini Etgar Keret yang surealisme sosialis misalnya, belum ada di Indonesia, dan semoga enggak diberangus aja sih. Yang pasti, lewat ngaleut kau bisa mendapat beragam inspirasi menulis, bisa dibilang ini sebuah proses kreatif sastrawi. Sudah ada beberapa yang saya tulis dan bagikan, salahsatunya, yang terbaik sejauh ini: Wendy’s. Bacalah selagi masih ada, soalnya ada yang tertarik menerbitkan, kalau-kalau perlu dihapus.
Ah, sebenarnya apa yang saya bicarakan soal saya dan ngaleut ini? Maaf, bagi yang sudah meluangkan waktu untuk membaca tulisan enggak jelas ini. Maaf juga telah menjejal beragam nama-nama, kau bisa menghiraukannya, atau kalau berminat mengenal lebih lanjut mereka silahkan buka Google saja. Tapi nampaknya, saya harus mencatut nama-nama lagi, maafkanlah saya yang mungkin terkesan ingin dipuji intelektualitasnya ini. Berikut dari filsuf favorit saya, Albert Camus, yang hobi bengong berjam-jam di kedai kopi dan doyan berjalan kaki ke sana-kemari
Jangan berjalan di belakangku; aku tidak akan memimpinmu. Jangan berjalan di depanku; aku tidak akan mengikutimu. Berjalanlah di sisiku sebagai sahabatku.
Ada beratus-ratus kata, bahkan beribu halaman lagi yang bisa saya bicarakan soal saya dan ngaleut ini, yang mungkin bakal mengalahkan War and Peace-nya Leo Tolstoy. Tapi dari kalimat Camus tadi sudah sangat mewakili apa ngaleut, dan lebih tepatnya soal apa Komunitas Aleut!
+
Post-scriptum:
Jangan terlalu menseriusi saya, seperti yang sudah saya bilang, seperti Lao Tze, saya pemalas akut. Dan seperti ujaran Nietzsche dalam The Twilight of the Idols-nya: aku hanya mau mengimani Tuhan yang bisa menari. Ya, ya, saya hanyalah seorang yang kebanyakan nonton idol menari di Youtube, hehe.
ceritamu tentang Aleut tidak panjang, tapi banyak dan penuh.
Tapi urang suka yg panjang, banyak dan penuh sih, Cun.
Kamu bukan pemalas karena kamu menghasilkan tulisan berarti rajin menulis. Beruntunglah kamu pemalas akut, karena akut berlangsung dalam jangka pendek sedangkan kronis berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
Meskipun terlalu banyak kutipan, overall tulisan kamu bagus.
Kayak gini aja ngaku pemalas
Trus aku piyeeeee yang update blognya belum tentu sebulan sekali hiks….
Soal jalan kaki, iya nih. Makin kesini kita makin manja dan dimanjakan dengan fasilitas. Jarak 500 meter aja udah naik motor. Duuuuh
Nah klo bagian ini
“saya baru menyadari kalau saya lebih suka jadi model ketimbang fotografer”
Saya setujuuuuu hahahaha
Justru karena bisanya cuma leyeh-leyeh, jadi sering nulis ga jelas. Mari berdayakan malas naik kendaraan berknalpot, dan jalan kakilah.
Masa sih pemalas, orang2 pemalas biasanya nggak punya hobby loh. Aku salut, backgroundnya keperawatan tp hobbynya nulis n jepret.. wo wow… bisa jadi motivasi soalnya saya juga dr kesehatan tp lebih hobby nulis dr pd yg lain 🙂
Tuh kan, kenapa sih pada ga percaya kalau saya pemalas? Dan sebisa mungkin jangan jadikan saya inspirasi. Saya pemalas, kuliah juga malas-malasan, tapi hobi nulis, ga masalah kan?
[…] pelajaran yang enggak ternilai harganya.” Satu kalimat yang saya garis bawahi di blog teman saya https://yeaharip.com/2016/05/20/apa-yang-dapat-saya-bicarakan-soal-saya-dan-ngaleut/ tentang bagaimana berjalan kaki bisa juga menjadi sesuatu yang menyenangkan. Sama halnya dengan […]
[…] pelajaran yang enggak ternilai harganya.” Satu kalimat yang saya garis bawahi di blog teman saya Arif tentang bagaimana berjalan kaki bisa juga menjadi sesuatu yang menyenangkan. Sama halnya dengan […]