Temanku Mel McGinnis sedang bicara. Mel McGinnis adalah seorang kardiolog, dan seringnya itu yang membuat dia punya hak bicara.
Kami berempat sedang duduk melingkar di meja dapurnya minum gin. Sinar matahari menaungi dapur dari jendela lebar di belakang bak cuci. Di sana ada Mel dan aku dan istri keduanya, Teresa—Terri, kami memanggilnya—dan istriku, Laura. Kami tinggal di Albuquerque. Tapi kami semua berasal dari tempat berbeda.
Ada seember es di atas meja. Gin dan air tonik terus digilir, dan entah bagaimana kita sampai pada bahasan tentang cinta. Mel berpikir bahwa cinta sejati tak lain tak bukan adalah cinta spiritual. Dia bilang dia sudah menghabiskan lima tahun di sebuah seminari sebelum berhenti untuk pindah ke sekolah kedokteran. Dia bilang dia masih teringat pada tahun-tahun di seminari sebagai tahun terpenting dalam hidupnya.
Terri menceritakan kalau pria yang pernah tinggal bersama sebelum dia tinggal dengan Mel mencintainya sampai-sampai dia mencoba membunuh Terri. Lalu Terri berkata, “Dia memukulku suatu malam. Dia menyeretku ke ruang tengah di pergelangan kakiku. Dia terus bilang, ‘aku cinta kamu, aku cinta kamu, dasar jalang.’ Dia terus menyeretku mengelilingi ruang tengah. Kepalaku terus membentur barang-barang.” Terri melihat sekeliling meja. “Apa yang dapat kau lakukan dengan cinta semacam itu?”
Terri adalah seorang wanita tirus dengan wajah cantik, mata gelap, dan rambut coklat yang tergerai ke bawah punggungnya. Dia suka kalung terbuat dari pirus, dan anting-anting berliontin panjang.
“Oh Tuhan, jangan tolol. Itu bukan cinta, dan kau tahu itu,” ucap Mel. “Aku tak tahu kau sebut apa itu, tapi aku yakin kau tak bakal sebut itu cinta.”
“Katakan apa yang kau ingin, tapi aku tahu itu cinta,” kata Terri. “Itu terdengar gila bagimu, tapi itu sangat nyata. Tiap orang berbeda, Mel. Memang, kadang-kadang ia berlaku sinting. Oke. Tapi dia mencintaiku. Dengan caranya sendiri, tapi ia mencintaiku. Ada cinta di sana, Mel. Jangan bilang itu bukan cinta.”
Mel mengeluarkan napasnya. Dia memegang kacamatanya dan berpaling ke Laura dan diriku. “Pria itu mengancam akan membunuhku,” ucap Mel. Dia menyelesaikan minumannya dan meraih botol gin. “Terri seorang yang romantis. Terri adalah orang yang percaya tendanglah-aku-sehingga-aku-tahu-bahwa-kau-mencintaiku. Terri, sayang, jangan menatap seperti itu.” Mel menjangkau seberang meja dan menyentuh pipi Terri dengan jari-jarinya. Dia menyeringai padanya.
“Sekarang dia ingin mereka-reka,” ucap Terri.
“Mereka-reka apa?” tanya Mel. “Apa yang harus direka-reka? Aku tahu apa yang kutahu. Hanya itu.”
“Ngomong-ngomong, kenapa kita mulai membahas yang begini?” ucap Terri. Dia mengangkat gelasnya dan menyesapnya. “Mel selalu punya cinta di pikirannya,” ucapnya. “Benar kan, sayang?” Dia tersenyum, dan aku pikir itu untuk penghabisan.
“Aku hanya tak mau menyebut perilaku Ed itu cinta. Hanya itu yang kumaksud, sayang,” kata Mel. “Bagaimana menurut kalian?” Mel berkata pada Laura dan aku. “Apakah itu terdengar sebagai cinta bagi kalian?”
“Aku orang yang salah untuk ditanya,” kataku. “Aku bahkan tak tahu siapa pria itu. Aku hanya pernah mendengar namanya disebut suatu kali.. Aku tak kenal. Kau harus tahu dulu rinciannya. Tapi kupikir apa yang kau sebut adalah bahwa cinta itu sesuatu yang absolut.”
Mel berkata, “Itu jenis cinta yang kubicarakan. Jenis cinta yang kubicarakan adalah, bahwa kau tak mencoba untuk membunuh orang.”
Laura berkata, “Aku tak tahu apapun tentang Ed, atau apapun tentang situasinya. Tapi siapa yang bisa menghakimi situasi seseorang?”
Aku menyentuh punggung tangan Laura. Dia memberiku senyum cepat. Aku memegang tangan Laura. Begitu hangat, kuku jarinya dipelitur, benar-benar terawat. Aku mengedari pergelangannya dengan jari-jariku, dan aku merangkulnya.
*
“Ketika aku pergi, dia meminum racun tikus,” ucap Terri. Dia mendekap lengannya dengan tangannya. “Mereka membawanya ke sebuah rumah sakit di Santa Fe. Di sana tempat kami tinggal saat itu, sekitar sepuluh mil jauhnya. Mereka menyelamatkan nyawanya. Tapi gusinya jadi rusak karenanya. Maksudku mereka mencabut giginya. Setelahnya, giginya jadi seperti taring. Oh Tuhan,” kata Terri. Dia menunggu semenit, lalu melepaskan tangannya dan meraih gelasnya.
“Sampai segitunya!” ucap Laura.
“Dia lumpuh sekarang,” kata Mel. “Dia sudah mati.”
Mel menyodorkan piring berisi limun. Aku mengambil sepotong, meremasnya ke dalam minumanku, dan mengaduk es batu dengan jariku.
“Itu makin buruk,” ucap Terri. “Dia menembak dirinya sendiri tepat di mulut. Tapi dia melakukannya dengan serampangan juga. Ed yang malang,” katanya. Terri menggeleng kepalanya.
“Ed malang apanya,” kata Mel. “Dia seorang yang berbahaya.”
Mel berusia empat lima. Dia tinggi dan rambut lembut mengembang berkeriting. Wajah dan lengannya coklat karena main tennis. Ketika dia tak mabuk, gerak-geriknya, semua gerakannya, begitu saksama, sangat hati-hati.
“Dia mencintaiku, Mel. Hargai itu,” bela Terri. “Itulah yang kuminta. Dia memang tak mencintaiku seperti caramu mencintaiku. Aku tak bilang begitu. Tapi dia memang mencintaiku. Harga diriku, bisakah?”
“Apa yang kau maksud, bahwa dia bertindak serampangan?” kataku.
Laura mencondongkan diri bersama gelasnya. Dia meletakkan sikunya di atas meja dan memegang gelasnya dengan kedua tangan. Dia menatap dari Mel ke Terri dan menunggu dengan tatapan bingung di wajah polosnya, seperti terkejut bahwa hal itu terjadi pada orang yang dekat denganmu.
“Bagaimana dia bertindak ceroboh ketika dia bunuh diri?” tanyaku.
“Aku akan menceritakan pada kalian apa yang terjadi,” kata Mel. “Dia mengambil pistol dua puluh dua yang dia beli untuk mengancam Terri dan diriku. Oh, aku serius, pria itu selalu mengancam. Kalian harus melihat cara kami hidup saat masa-masa itu. Seperti buronan. Aku bahkan beli sebuah pistol untuk jaga-jaga. Bisakah kalian percaya? Seorang pria sepertiku? Tapi aku memang punya. Aku beli satu untuk jaga diri dan membawanya dalam sarung kompartemen. Kadang aku harus meninggalkan apartemen di tengah malam. Untuk pergi ke rumah sakit, kan? Terri dan aku belum menikah waktu itu, dan istri pertamaku punya rumah dan anak-anak, seekor anjing, segalanya, dan Terri dan aku tinggal di apartemen itu. Kadang, seperti yang kubilang, aku mendapat telepon saat malam dan harus pergi ke rumah sakit jam dua atau tiga saat dini hari. Sangat gelap di lapang parkir, dan aku selalu bersimbah keringat sebelum aku bisa sampai di mobilku. Aku tak pernah tahu kalau dia bakal muncul dari semak-semak atau dari belakang mobil dan mulai menembaki. Maksudku, pria itu sinting. Dia bisa merakit bom, segalanya. Dia pernah menelepon di sembarang jam dan bilang kalau dia butuh bicara dengan dokter, dan ketika aku telepon balik, dia bakal bilang, ‘Bajingan gila, hari-harimu akan habis.’ Hal kecil macam itu. Aku bilang pada kalian, begitu menakutkan.”
“Aku masih merasa bersalah padanya,” ucap Terri.
“Itu terdengar seperti sebuah mimpi buruk,” ucap Laura. “Tapi apa yang sebenarnya terjadi setelah dia menembak dirinya sendiri?”
Laura adalah seorang sekretaris hukum. Kami bertemu dalam urusan profesional. Sebelum kami saling mengenal, itu hanya sebatas urusan pernikahan. Dia berusia tiga puluh lima, tiga tahun lebih muda dariku. Tak ada alasan untuk tak jatuh cinta, kami berdua suka satu sama lain dan menikmati kebersamaan tadi. Dia mudah bergaul.
*
“Apa yang terjadi?” tanya Laura.
Mel berkata, “Dia menembak dirinya tepat di mulur di dalam kamarnya. Seseorang mendengar suara tembakan dan melapor ke induk semang. Mereka masuk dengan sebuah kunci duplikat, melihat apa yang terjadi, dan memanggil ambulans. Aku ada di situ saat mereka membawanya masuk, masih hidup tapi kritis. Pria itu hidup selama tiga hari. Kepalanya membengkak menjadi dua kali lebih besar dari ukuran normal. Aku tak pernah melihat yang seperti itu, dan aku harap tak pernah melihat lagi. Terri ingin masuk dan duduk dengannya saat mengetahui soal itu. Kami bertengkar karenanya. Aku pikir dia tidak perlu melihatnya dengan keadaan seperti itu. Aku pikir dia tidak perlu melihatnya, dan aku masih berpikir begitu.”
“Siapa yang menang?” tanya Laura.
“Aku ada di ruangannya ketika dia meninggal,” ucap Terri. “Dia tidak pernah siuman. Tapi aku duduk di sampingnya. Dia tidak punya siapa-siapa lagi.”
“Dia berbahaya,” kata Mel. “Jika kau berkata itu cinta, silahkan saja.”
“Itu memang cinta,” bela Terri. “Memang, itu tidak normal bagi kebanyakan orang. Tapi dia rela mati karenanya. Dia mati karena cinta.”
“Aku sangat yakin yang begitu tak dinamakan cinta,” ucap Mel. “Maksudku, tak ada satupun yang tahu alasan apa yang dia lakukan. Aku telah melihat banyak bunuh diri, dan aku tak pernah bisa tahu apa yang mereka pikirkan.”
Mel meletakkan kedua tangannya di belakang lehernya dan menggeser kursinya ke belakang. “Aku tak tertarik dengan cinta semacam itu,” ucapnya. “Jika itu cinta, silahkan saja.”
Terri berkata, “Kami ketakutan. Mel bahkan melayangkan gugatan dan menyurati kakaknya di California yang mantan Baret Hijau. Mel bilang padanya untuk mengawasi jika ada apa-apa terjadi padanya.”
Terri menyesap minuman dari gelasnya. Dia berkata, “Tapi Mel memang benar—kami tinggal seperti buronan. Kami ketakutan. Mel bahkan, tak apa kan, sayang? Aku bahkan menelepon polisi suatu kali, tapi mereka tak memberi bantuan. Mereka bilang mereka tak bisa apa-apa sampai Ed benar-benar melakukan sesuatu. Sungguh konyol kan?” ucap Terri.
Dia menuangkan tetes gin terakhir ke dalam gelasnya dan menggoyang botolnya. Mel berdiri dari kursinya dan pergi ke lemari. Dia mengambil botol lainnya.
*
“Baik, Nick dan aku tahu apa itu cinta,” ucap Laura. “Bagi kami, maksudku,” kata Laura. Dia mengantukkan lututku dengan lututnya. “Kau harusnya bilang sesuatu sekarang,” kata Laura, dan melayangkan senyumnya padaku.
Sebagai sebuah jawaban, aku memegang tangan Laura dan mengangkatnya dekat ke bibirku. Aku mencium tangannya dengan begitu menggebu. Semuanya dibuat geli.
“Kami beruntung,” kataku.
“Kalian ini,” ucap Terri. “Hentikan itu sekarang. Kalian membuatku pusing saja. Kalian baru bulan madu, demi Tuhan. Kalian masih bau kencur, astaga. Tunggu sebentar lagi. Sudah berapa lama kalian bersama sampai sekarang? Sudah berapa lama? Setahun? Sudah lebih dari setahun?”
“Akan sampai setahun setengah,” ucap Laura, memerah dan tersenyum.
“Oh, sekarang,” kata Terri. “Tunggu sebentar lagi.”
Dia memegang minumannya dan menatap Laura.
“Aku hanya bercanda,” ucap Terri.
Mel membuka gin dan berjalan memutari meja dengan botolnya itu.
“Silahkan,” ucapnya. “Mari bersulang. Aku ingin bersulang. Bersulang untuk cinta. Untuk cinta sejati,” kata Mel.
Kami mendentingkan gelas.
“Untuk cinta,” kami berucap.
*
Dari luar di halaman belakang, seekor anjing mulai menggonggong. Daun-daun dari pohon aspen yang menempel di jendela mendetik kacanya. Matahari petang itu seperti sebuah ketampilan dalam ruangan ini, cahaya yang murah hati. Kami bisa berada di mana saja, dimanapun mempesona. Kami mengangkat gelas-gelas kami sekali lagi dan menyeringai satu sama lain seperti anak-anak yang bersepakat pada sesuatu yang terlarang.
“Aku akan ceritakan soal cinta sejati itu,” ucap Mel. “Maksudku, aku akan kasih satu contoh. Dan kalian bisa mengambil kesimpulan.” Dia menuangkan gin ke dalam gelasnya. Dia menambahkan sebuah es dan sepotong limun. Kami menunggu dan menyesap minuman kami. Laura dan aku menyentuhkan lutut lagi. Aku meletakkan tanganku di atas paha hangatnya dan tetap di situ.
“Sebenarnya apa yang kita tahu soal cinta?” tanya Mel. “Sepertinya bagiku kita-kita ini masih pemula soal cinta. Kita bilang kita cinta satu sama lain dan begitulah kita, aku tak meragukan itu. Aku mencintai Terri dan Terri pun mencintaiku, dan kalian cinta satu sama lain juga. Kau tahu jenis cinta yang kubicarakan sekarang. Cinta fisik, impuls yang mendorong dirimu pada seseorang yang spesial, sama seperti cinta orang tersebut, intisarinya, seolah-olah. Cinta badaniah dan, baik, sebut itu cinta sentimental, memikirkan dari hari ke hari pada seseorang. Tapi kadang aku punya kesulitan menjelaskan pada fakta bahwa aku harus mencintai istri pertamaku juga. Tapi aku memang cinta, aku tahu aku cinta. Jadi aku pikir aku suka Terri dalam hal tadi. Terri dan Ed.” Dia memikirkan soal itu dan memulai lagi. “Ada suatu waktu ketika aku pikir aku cinta istri pertamaku ketimbang cinta pada kehidupan. Tapi sekarang aku benci ketekunannya. Memang begitu. Bagaimana kau menjelaskannya? Apa yang terjadi pada cinta tadi? Apa yang terjadi pada cinta tadi, adalah apa yang ingin kutahu. Aku harap seseorang bisa memberitahuku. Lalu ada Ed. Oke, kita kembali pada Ed. Dia mencintai Terri sampai-sampai ia ingin membunuhnya dan dia beralih membunuh dirinya sendiri.” Mel berhenti bicara dan menelan habis minuman dalam gelasnya. “Kalian telah bersama selama delapan belas bulan dan kalian saling mencintai satu sama lain. Itu tampak dari diri kalian. Kalian bergelora karenanya. Tapi kalian cinta orang lain sebelum kalian bertemu. Kalian berdua telah menikah sebelumnya, sama seperti kita. Dan kalian tentu saja saling mencintai orang sebelumnya juga. Terri dan aku telah hidup bersama selama lima tahun, telah menikah untuk empat tahun. Dan hal-hal tak menyenangkan, hal-hal buruk, tapi ada juga hal-hal membahagiakan juga, sebuah anugerah, kau boleh bilang itu, adalah jika sesuatu terjadi pada salah satu dari kami—maaf jika aku berkata begini—tapi jika sesuatu terjadi pada salah satu dari kami esok, aku pikir seseorang yang lain, orang lain, bakal bersedih untuk sementara waktu, kau tahu, tapi pihak yang masih hidup akan pergi dan mencintai lagi, bakal punya seseorang yang lain segera. Semua ini, semua cinta yang kita bicarakan ini, hanya akan jadi kenangan. Mungkin bukan sebuah kenangan. Apakah aku salah? Apakah aku sesat? Karena aku ingin kalian meluruskanku jika kalian pikir aku salah. Aku ingin tahu. Maksudku, aku tak tahu apapun, dan aku orang pertama yang mengakuinya.”
“Mel, demi Tuhan,” ucap Terri. Dia mengulurkan tangan dan menggenggam pergelangan tangannya. “Apa kau sudah mabuk? Sayang? Apa kau mabuk?”
“Sayang, aku hanya bicara,” kata Mel. “Tak masalah, kan? Aku tak harus mabuk dulu untuk mengatakan apa yang kupikirkan. Maksudku, kita semua sedang ngobrol, kan?” tanya Mel. Dia mempertetapkan matanya pada Terri.
“Sayangku, aku tidak sedang mengkritik,” ucap Terri.
Dia mengangkat gelasnya.
“Aku sedang tidak ada panggilan hari ini,” kata Mel “Aku ingatkan kalian. Aku sedang tidak ada panggilan,” tegasnya.
“Mel, kami mencintaimu,” ucap Laura.
Mel menatap pada Laura. Dia menatapnya seperti jika dia tidak bisa melepasnya, seakan-akan Laura bukan wanita sebagaimana semestinya dia.
“Aku cinta kau juga, Laura,” ucap Mel. “Dan juga kau, Nick, aku cinta kau. Kau tahu sesuatu?” tanya Mel. “Kalian berdua adalah sahabat kami,” ucap Mel.
Dia mengambil gelasnya.
*
Mel berkata, “Aku ingin menceritakan sesuatu pada kalian. Maksudku, aku ingin membuktikan sebuah ihwal. Dengar, ini terjadi beberapa bulan ke belakang, tapi masih berlangsung hingga saat ini, dan ini kemungkinan besar bakal membuat kita merasa malu ketika kita berbicara seolah kita tahu apa yang kita bicarakan ketika kita membicarakan tentang cinta.”
“Ayolah,” ucap Terri. “Jangan ngomong seperti kau sedang mabuk kalau kau tak mabuk.”
“Tolong tutup mulut sekali saja dalam hidupmu,” Mel berkata sangat pelan. “Bisakah kau melakukannya untuk semenit saja? Jadi seperti yang kubilang, ada pasangan tua yang mengalami kecelakaan mobil di perbatasan negara bagian. Seorang bocah menabrak mereka dan mereka terburai bagai tai dan tak ada yang memberi mereka kesempatan untuk ditolong.”
Terri menatap kepada kami lalu kembali pada Mel. Dia terlihat khawatir, atau mungkin itu sebuah kata yang terlalu kuat.
Mel menyodorkan botol mengelilingi meja.
“Aku mendapat panggilan malam itu,” ucap Mel. “Saat itu Mei atau mungkin Juni. Terri dan aku baru duduk untuk makan malam ketika rumah sakit menelepon. Ada insiden ini di perbatasan negara bagian. Bocah mabuk, remaja, mengendari pickup ayahnya ke tempat kemping yang ada pasangan tua tadi. Mereka sudah masuk pertengahan tujuh puluhan, pasangan tadi. Si bocah—delapan belas, sembilan belasan—meninggal di tempat. Roda kemudinya menghantam sternumnya. Pasangan tua tadi, mereka selamat, kalian mengerti. Maksudku, nyaris saja. Tapi mereka kena beragam masalah. Beragam fraktur, luka dalam, pendarahan, memar, laserasi, dan mereka masing-masing mengalami gegar otak. Mereka sungguh sial, percaya padaku. Dan, tentu saja, usia mereka makin menyiksa mereka. Aku bilang yang wanita lebih buruk ketimbang yang lelaki. Limpa yang bocor dengan segala yang lain. Kedua tempurung lututnya pecah. Tapi mereka memakai sabuk pengaman dan, demi Tuhan, itulah yang menyelamatkan mereka waktu itu.”
“Warga sekalian, ini adalah iklan layanan masyarakat dari Dewan Keamanan Nasional,” Terri menimpali. “Yang berbicara adalah, Dr. Melvin R. McGinnis.” Terri tertawa. “Mel,” ucapnya, “kadang kau kelewatan. Tapi aku mencintaimu, sayang,” katanya.
“Sayang, aku mencintaimu,” ucap Mel.
Dia menyodorkan diri ke seberang meja. Terri segera meraihnya. Mereka berciuman.
“Terri benar,” ucap Mel saat ia kembali mempertetap dirinya. “Pakai sabuk pengaman. Tapi sungguh, mereka masih utuh, orangtua tadi. Saat aku sudah tiba di sana, si bocah mati, seperti yang kubilang. Dia mati lalu dikepinggirkan, diletakkan di brankar. Aku melihat pasangan tua tadi dan memerintahkan perawat ER untuk lapor ke neurologis dan ortopedik dan beberapa ahli bedah untuk menangani segera.”
Dia minum dari gelasnya. “Aku akan mencoba agar tak terlalu panjang,” ucapnya. “Jadi kami membawa keduanya ke OR dan bekerja gila-gilaan untuk mereka malam itu. Mereka punya gairah hidup luar biasa, keduanya. Kau mungkin bakal lihat sesekali. Jadi kami melakukan segala yang kami mampu, dan sampai pagi menjelang kami memberi mereka harapan hidup fifty-fifty, mungkin kurang dari segitu bagi yang wanita. Jadi di sanalah mereka, masih hidup sampai pagi berikutnya. Jadi, oke, kami memindahkan mereka ke UGD, dimana mereka berdua masih bertahan hidup selama dua minggu, makin membaik dalam segala hal. Jadi kami mentransfer mereka ke ruang masing-masing.”
Mel berhenti bicara. “Dari sini,” ucapnya, “mari minum dulu gin murahan ini sampai habis. Lalu kita lanjut makan malam, kan? Terri dan aku tahu satu tempat baru. Itu tempat yang akan kita datangi, ke tempat baru yang kami tahu itu. Tapi kita tak akan pergi sebelum menghabiskan gin murahan setengah harga ini.”
Terri berkata, “Kita bahkan belum benar-benar makan di sana. Tapi kelihatan lumayan. Terlihat begitu dari luar, kau tahu.”
“Aku suka masakan,” ucap Mel. “Jika aku bisa mengulang semuanya, aku bakal jadi koki, kau tahu? Benar kan, Terri?” kata Mel.
Mel tertawa. Dia meraba es pada gelasnya.
“Terri tahu,” ucapnya. “Terri bisa bilang pada kalian. Tapi biarkan aku mengatakan ini. Jika aku bisa kembali lagi ke kehidupan yang berbeda, sebuah masa yang berbeda, kau tahu kan? Aku ingin kembali menjadi seorang ksatria. Kau bakal aman memakai semua baju baja itu. Sangat aman menjadi seorang ksatria sampai ditemukannya bubuk mesiu dan senapan dan pistol.”
“Mel bakal menunggang seekor kuda dan mengangkat tombak,” ucap Terri.
“Membawa rok wanita denganmu kemana pun,” timpal Laura.
“Atau hanya seorang wanita,” ucap Terri.
“Tak tahu malu,” kata Laura.
Terri berkata, “Mestinya kau kembali sebagai seorang budak belian. Seorang budak tidak punya nasib baik pada masa itu,” ucap Terri.
“Seorang budak tak pernah punya nasib baik,” kata Mel. “Tapi aku kira bahkan seorang ksatria bakal jadi biduk kepada seseorang. Bukankah itu cara sesuatu bekerja? Tapi kemudian semuanya akan selalu jadi biduk pada yang lain. Benar begitu kan? Terri? Tapi apa yang kusuka dari ksatria, di samping perempuan-perempuannya, adalah bahwa mereka punya setelan baju zirah, kau tahu, dan mereka tak bakal gampang dilukai. Tak ada mobil waktu itu, kau tahu? Tak ada remaja mabuk yang bakal merobek pantatmu.”
*
“Budak,” ucap Terri.
“Apa?” tanya Mel.
“Budak,” ulang Terri. “Itu tadi disebut budak, bukan biduk.”
“Budak, biduk,” kata Mel, “apa bedanya coba? Kau tahu apa yang kumaksud. Bener kan,” Mel berkata. “Jadi aku tak berpendidikan. Aku mempelajari sesuatu. Aku seorang ahli bedah jantung, tapi aku hanya seorang mekanik. Aku masuk dan aku bekerja gila-gilaan dan aku memperbaiki sesuatu. Tai,” ucap Mel.
“Kau tak tahu sopan santun,” ucap Terri.
“Dia hanya seorang ahli bedah yang rendah hati,” kataku. “Tapi kadang mereka tersiksa dalam baju baja itu. Mereka bahkan kena serangan jantung jika terlalu panas dan mereka bahkan kelelahan dan kehausan. Aku pernah membaca kalau mereka jatuh dari kudanya dan tak bisa bangkit lagi karena mereka terlalu lelah untuk berdiri dengan segala baju zirah yang menempel. Mereka kadang terinjak-injak oleh kuda-kuda mereka sendiri.”
“Itu sungguh buruk,” ucap Mel. “Itu sesuatu yang sungguh buruk, Nicky. Aku kira mereka hanya leyeh-leyeh dan menunggu sampai ada seseorang yang datang dan membuatkan shish kebab untuk mereka.”
“Perbudakan lainnya,” kata Terri.
“Itu benar,” ucap Mel. “Beberapa budak akan datang dan menombak seorang bajingan atas nama cinta. Atau apapun itu mereka berperang pada waktu itu.”
“Sama seperti kita yang terus berperang hari ini,” kata Terri.
Laura berkata, “Tak ada yang berubah.”
Warnanya di pipi Laura masih awas. Matanya masih cerah. Dia mendekatkan gelasnya ke bibirnya.
Mel menuangkan minumannya. Dia meneliti label secara teliti seperti sedang mempelajari deretan angka-angka yang panjang. Lalu dia secara perlahan menyimpan botolnya di bawah meja dan secara lambat meraih air tonik.
*
“Apa yang terjadi dengan pasangan tua tadi?” tanya Laura. “Kau tak menyelesaikan cerita yang kau mulai.”
Laura kesulitan menyalakan rokoknya. Koreknya selalu mati.
Sinar matahari dalam ruangan berbeda sekarang, berubah, menjadi lebih thin. Tapi daun-daun di luar jendela masih berkelip-kelip, dan aku menatap pola yang tercipta pada kaca jendela dan di atas konter Formica. Itu bukan pola yang sama, tentu saja.
“Bagaimana pasangan tua tadi?” tanyaku.
“Menua tapi jadi lebih bijak,” timpal Terri.
Mel menatap padanya.
Terri berkata, “Lanjutkan ceritamu, sayang. Aku hanya bercanda. Lalu apa yang terjadi?”
“Terri, terkadang,” ucap Mel.
“Tolong, Mel,” kata Terri. “Jangan terlalu dibawa serius, sayang. Bisakah kau bercanda?”
“Apanya yang lucu?” tanya Mel.
Dia memegang gelasnya dan menatap istrinya terus-menerus.
“Apa yang terjadi?” tanya Laura.
Mel memasang matanya pada Laura. Dia berkata, “Laura, jika aku tidak punya Terri dan jika aku tidak mencintainya dengan sangat, dan jika Nick bukan sahabatku, aku akan jatuh cinta padamu. Aku bakal membawamu kabur, sayang,” ucapnya.
“Katakan ceritamu,” kata Terri. “Lalu kita akan pergi ke tempat baru itu, oke?”
“Baik,” ucap Mel. “Sampai mana tadi aku?” tanyanya. Dia menatap ke meja kemudian dia memulai lagi.
“Aku diharuskan mengawasi keduanya tiap hari, kadang dua kali sehari jika aku tidak ada panggilan lain. Pembalut gips dan perban, dari kepala sampai kaki, mereka berdua. Kau tahu, kalian pernah lihat yang seperti ini dalam film-film. Seperti itulah yang terlihat, seperti dalam film-film. Lubang mata dan lubang hidung kecil juga lubang mulut. Dan yang wanita kakinya digantung ke atas. Tentu, suaminya sangat tertekan berkepanjangan. Bahkan setelah dia tahu bahwa istinya selamat, dia masih sangat depresi. Bukan karena kecelakaannya. Maksudku, insiden tadi adalah satu hal, tapi itu bukan semuanya. Aku mendekati lubang mulutnya, kau tahu, dan dia bilang tidak, itu sesungguhnya bukan kecelakaan tapi itu karena ia tidak bisa melihat istrinya melalui lubang matanya. Dia bilang itu yang membuatnya merasa sangat bersalah. Bisakah kau bayangkan? Aku bilang pada kalian, hati seorang pria hancur karena ia tidak bisa menggerakan kepala celakanya dan melihat istri celakanya.”
Mel menatap ke arah meja dan menggelengkan kepalanya pada apa yang akan ia katakan.
“Maksudku, itu membunuh si tua bangka hanya karena ia tidak bisa melihat si wanita celaka.”
Kami semua menatap Mel.
“Kau mengerti apa yang aku katakan?” ucapnya.
*
Mungkin kita sedikit mabuk pada saat itu. Aku tahu sangat sulit untuk menjaga sesuatu dalam fokus. Cahaya mengalir keluar dari ruangan, kembali pada jendela dimana tadi berasal. Meski tak ada yang bergerak untuk bangkit dari meja dan menyalakan lampu gantung.
“Dengar,” kata Mel. “Mari selesaikan gin sialan ini. Ada cukup tersisa buat sekali tegukan lagi. Lalu mari kita makan. Mari pergi ke tempat baru itu.”
“Dia depresi,” ucap Terri. “Mel, kenapa kau tak minum obat?”
Mel menggeleng kepalanya. “Aku sudah minum semuanya.”
“Kita semua butuh sebutir obat sekarang,” kataku.
“Beberapa orang dilahirkan untuk membutuhkan itu,” ucap Terri.
Dia menggunakan jarinya untuk meraba-raba pada sesuatu di atas meja. Lalu dia menghentikan rabaannya.
“Aku pikir aku harus menelepon anak-anakku,” kata Mel. “Apakah tak masalah? Aku akan menelepon anak-anakku,” ucapnya.
Terri berkata, “Bagaimana jika Marjorie yang mengangkat telepon? Kalian berdua, kalian sudah dengar kami soal Marjorie? Sayang, kau tahu kau tak ingin bicara dengan Marjorie. Itu bakal bikin kau tambah senewen.”
“Aku tak ingin bicara dengan Marjorie,” ucap Mel. “Tapi aku ingin bicara dengan anak-anakku.”
“Tidak ada satu hari pun Mel tidak berkata kalau dia ingin agar Marjorie menikah lagi. Atau mati saja,” Terri berkata. “Untuk satu hal,” ucap Terri, “dia membuat bangkrut kami. Mel bilang kalau itu cuma membuat dongkol dirinya bahwa Marjorie tak akan menikah lagi. Dia punya seorang pacar yang tinggal dengannya dan anak-anak, jadi Mel ikut menunjang pacarnya itu.”
“Dia alergi sama lebah,” kata Mel. “Jika aku tidak berdoa dia agar menikah lagi, aku berdoa semoga dia disengat sampai mati oleh kawanan lebah-lebah sialan.”
“Tak tahu malu kau,” timpal Laura.
“Bzzzzzzz,” kata Mel, memutar-mutar jarinya seperti lebah dan mendengung di tenggorakan Terri. Lalu dia menurukan tangannya ke sebelah sisinya.
“Dia kejam,” ungkap Mel. “Kadang aku pikir aku akan menemuinya dengan berpakaian seperti pawang lebah. Kau tahu, topinya itu seperti sebuah helm dengan plat yang menutupi wajahmu, sarung tangan besar, dan mantel lapis? Aku akan mengetuk pintunya dan melepaskan sarang lebah ke dalam rumahnya. Tapi pertama aku akan meyakinkan dulu agar anak-anak sudah di luar, tentu saja.”
Mel menyilangkan satu kakinya di atas yang lain. Kelihatan dia melakukan itu dengan sangat sulit. Lalu ia menaruh kedua kakinya di lantai dan mencondongkan diri ke depan, siku di atas meja, dagunya ditangkupkan di tangannya.
“Mungkin aku tak akan menelepon anak-anak. Mungkin itu bukan sebuah ide yang baik. Mungkin kita langsung saja makan. Bagaimana?”
“Terdengar menyenangkan buatku,” kataku. “Makan atau tidak makan. Atau tetap minum-minum. Aku bisa saja langsung ke luar menuju matahari terbenam.”
“Apa artinya itu, sayang?” tanya Laura.
“Itu hanya maksud dari apa yang kukatakan,” ucapku. “Itu artinya aku bisa saja terus lanjut. Semua itu.”
“Aku bisa makan sesuatu sendiri,” kata Laura. “Aku tak berpikir aku selapar ini dalam hidupku. Apakah ada sesuatu untuk digigit?”
“Aku akan ambil keju dan kue kering,” ucap Terri.
Tapi Terri hanya duduk di sana. Dia tidak bangkit untuk mengambil sesuatu.
Mel memutar gelasnya. Dia menumpahkan ke atas meja.
“Gin habis,” kata Mel.
Terri bertanya, “Sekarang apa?”
Aku bisa mendengar jantungku berdetak. Aku bisa mendengar jantung semuanya. Aku bisa mendengar bising manusia saat kami duduk, tak ada satu pun dari kami yang bergerak, tidak bahkan meski ruangan itu sudah gelap.
***
Diterjemahkan dari What We Talk About When We Talk About Love. Dalam Birdman (2014), film peraih 4 piala Oscar ini, beberapa cerpen Raymond Carver, salah satunya cerpen ini diangkat dalam adaptasi teater Broadway.
Dalam ‘Advice on the Art of Writing Short Stories’, pada poin terakhirnya, Roberto Bolano menasehati kita, bahwa jika ingin membuat cerpen yang hebat, akrabi Anton Chekov dan Raymond Carver. Dua cerpenis terhebat dari abad ke-20.
baca cerpen ini satu kali kayak cuma sekedar percakapan random yang menbingungkan. kayak gak ada masalahnya. setelah baca lagi baru nemu sesuatu
Ya gitu kalau ngobrol ditemani ciu, bakal ngalor-ngidul tapi filosofis.
saya selalu suka cerpen percakapan kayak gini…. selalu ada “sesuatu” di balik dialog…