Bekal wawasan saya tentang jurnalisme adalah dari kuliah di University of Amsterdam, meski cuma ngambil Introduction to Communication Science, mata kuliah dasarnya komunikasi massa, dan ini hanya kuliah online di Coursera – saya juga ikut ambil filsafat dasar di University of Edinburgh, tapi enggak sampai tuntas.
Yang saya dapat dari kuliah tadi adalah tentang sejarah komunikasi massa, bahwa komunikasi yang asalnya hanya milik penguasa, menjadi milik publik lewat yang namanya jurnalisme ini. Jika ditarik kebelakang, awal ketertarikan saya pada jurnalisme itu berkat pertama kalinya punya kamera DSLR, mula-mula belajar fotografi, tertarik dengan human interest, tentang memotret interaksi manusia yang merupakan satu topik dalam bidang jurnalistik, kemudian timbul juga keinginan sinting jadi jurnalis perang setelah nonton The Bang Bang Club.
Dari fotografi, minat saya bergeser ke sastra, karena sadar bahwa bagaimanapun menggeluti fotografi butuh dana enggak sedikit, berbeda dengan menulis. Dari sini saya berkenalan dengan yang namanya jurnalisme naratif atau jurnalisme sastrawi.
“Jurnalisme Sastrawi adalah pintu masuk bagi mereka yang enggak berlatar belakang jurnalistik,” ungkap Idhar Resmadi saat membedah bukunya di Kelas Literasi.
Jurnalisme naratif sendiri tulisan bernilai jurnalistik namun dituturkan luwes dengan gaya bercerita, yang sering memasukkan unsur personal. Jika pada Kelas Literasi pada pekan ke-48, kami berada di lantai dasar Kedai Preanger, maka di pekan 67 dan 68, berpindah ke lantai kedua, tempat para hama dan kehampaan berkelindan, untuk belajar dasar-dasar jurnalistik dan penerapannya dalam jurnalisme warga.
Dari Kelas Literasi bertajuk Jurnalisme Warga yang dipandu Ridwan Hutagalung ini saya kembali diarahkan untuk mengenal 9 elemen dasar dari Bill Kovach, yakni:
- Jurnalisme itu mengejar kebenaran;
- Komitmen wartawan kepada masyarakat dan kepentingan publik;
- Jurnalisme itu disiplin menjalankan verifikasi;
- Independen terhadap sumber berita;
- Harus menjadi pemantau kekuasaan;
- Menyediakan Forum bagi masyarakat;
- Berusaha keras membuat hal penting menjadi menarik dan relevan;
- Menjaga agar berita proporsional dan komprehensif;
- Mengutamakan hati nurani.
Dengan perkembangan sistem informasi, hadirnya internet, utamanya media sosial, menjadikan jurnalisme jadi makin cair dan memungkinkan setiap orang bisa jadi jurnalis.
Lahir Jurnalisme warga, kegiatan partisipasi aktif yang dilakukan oleh masyarakat dalam kegiatan pengumpulan, pelaporan, analisis serta penyampaian informasi dan berita.
Sebagai latihan, ngaleut Blok Tempe yang akan diadakan esoknya harus dituliskan dalam bentuk jurnalisme warga, kemudian di pekan selanjutnya akan dibahas.
“Cerita terbaik bukanlah yang pertama kali dimuat, tapi yang paling bagus dituturkan,” ungkap Gabriel Garcia Marquez, dan mengeluhkan soal jurnalis-jurnalis zaman sekarang lebih tertarik memburu breaking news dan keuntungan serta privelese dari kartu pers mereka ketimbang kreativitas dan etika, seperti yang dicatut dari tulisan Silvana Paternostro, yang diterjemahkan Ronny Agustinus, Tiga Hari Bersama Gabo, yang menceritakan pengalaman lokakaryanya bersama peraih Nobel Sastra 1982 tadi.
“Kupandangi sekeliling meja,” tulis Silvana, “Dari 12 peserta, cuma Andrea Varela dan aku yang perempuan.” Situasinya hampir sama, hanya saja tanpa perempuan, Kelas Literasi pekan ke-68 ini disesaki para pejantan, berbeda dengan minggu kemarin yang masih disegarkan dengan kehadiran kaum hawa.
Kami membahas tulisan yang dipacak peserta di Instagram atau di blog pribadinya. Saya sendiri belum menyelesaikan tulisan, dan di tengah-tengah diskusi keluar tanpa izin untuk mengambil angin, dan karena terjebak hujan deras, ketiduran di masjid, kembali lagi ke Kedai sebelum bubaran.
Setahun sebelumnya, berkat Komunitas Aleut! saya bisa merasakan jadi seorang jurnalis dan karenanya bisa melahirkan Pernik KAA 2015: Serba-Serbi Peringatan 50 Tahun Konferensi Asia-Afrika. Jika menilik lagi, tentu tulisan saya enggak secanggih sekarang, pun soal wawasan, dan waktu itu belum terlalu akrab dengan Gabo.
Menjelang berakhirnya Kelas Literasi pekan ke-68 tadi, ada bahasan soal penggunaan Instagram sebagai media jurnalisme, saya merekomendasikan untuk melihat-lihat akun AJ+ yang ber-tagline: “news for the connected generation, sharing human struggles and challenging the status quo.“
Yang memotret beragam keseharian, dan mengisahkannya. “Kita bikin media baru, Solontongan Plus,” kelakar saya. Solontongan sendiri adalah nama jalan di Buahbatu yang melewati Kedai, dan seorang kawan beberapa waktu kebelakang iseng bikin media bernama Solontongan Pos.
Masih dibuat penasaran, setelah bubaran Kelas Literasi, setelah menonton kemenangan Persib atas Persipura, setelah melewati malam Minggu yang begitu-begitu saja, sambil mendengar berulang-ulang Kim Taeyeon dan Blackpink, saya mencari apakah ada sebutan untuk model jurnalisme itu. Saya menemukan istilah ‘Slow Journalism’.
Di tengah gelombang media yang enggak sabaran mau menyajikan berita, sebutlah itu ‘tsunami informasi’ atau ‘polusi notifikasi’, harus lahir jurnalisme berperspektif baru. Tentu, enggak bisa enggak, saya harus mengutip kembali gagasan Gabo, “Cerita terbaik bukanlah yang pertama kali dimuat, tapi yang paling bagus dituturkan.”
sukses ariip ^^
Hai Arip, apkbrnya. Sukses ys