Apocalypse Please

muse_absolution_albumcoverart_stormthorgerson_full-width

Seorang pria berdiri di tepi sebuah gedung tinggi atau sebuah tebing. Ketika pria itu melihat ke tepi, ia mengalami ketakutan yang terfokus: jatuh. Di saat yang sama, pria itu merasakan sebuah dorongan mengerikan untuk melemparkan dirinya secara sengaja. Pengalaman itu adalah kecemasan dan ketakutan berkat kebebasan penuh kita untuk memilih menjatuhkan diri atau tetap diam. Fakta bahwa seseorang memiliki kemungkinan dan kebebasan untuk melakukan sesuatu, bahkan kemungkinan paling mematikan, memicu perasaan takut yang sangat besar. Seperti kisah dosa pertama umat manusia. Soal pilihan Adam untuk makan buah dari pohon pengetahuan terlarang milik Tuhan atau menjauhinya. Karena konsep baik dan jahat belum muncul sebelum Adam memakan buahnya, Adam tak punya konsep baik dan jahat, dan tak tahu bahwa makan buah dari pohon itu adalah sebuah “kejahatan.” Yang dia tahu pasti adalah bahwa Tuhan menyuruhnya untuk tak makan dari pohon itu. Kecemasan ini berasal dari fakta bahwa pelarangan Tuhan itu sendiri menyiratkan bahwa Adam bebas, dan dia bisa memilih untuk mematuhi Tuhan atau tidak. Setelah Adam makan buah dari pohon, dosa pun lahir. Di sisi lain, seseorang menjadi benar-benar menyadari potensi mereka setelah melalui pengalaman kecemasan. Jadi, kecemasan bisa menjadi kemungkinan untuk timbulnya dosa, tetapi kecemasan juga bisa menjadi pengakuan atau realisasi identitas dan kebebasan sejati seseorang.

Dalam The Concept of Anxiety, filsuf Søren Kierkegaard pakai kata “angst” untuk menggambarkan kondisi cemas dan takut yang mendalam ini. Jika hewan dipandu hanya oleh naluri, sebut Kierkegaard, manusia menikmati sebuah kebebasan memilih yang kemudian kita temukan menarik sekaligus menakutkan. Konsep angst Kierkegaard muncul kembali dalam karya-karya filsuf eksistensialis yang mengikutinya, seperti Nietzsche, Sartre dan Heidegger. Angst yang didedah Kierkegaard terutama mengacu pada perasaan ambigu tentang kebebasan moral dalam sistem keyakinan pribadi, namun kemudian para eksistensialis lanjutannya membahas dan mengembangkannya dengan memasukan konflik prinsip-prinsip pribadi, norma-norma budaya, dan keputusasaan eksistensial.

Tampaknya lebih keren pakai istilah angst ini ketimbang galau. Agar berasa kayak protagonis dalam A Portrait of the Artist as a Young Man-nya James Joyce atau The Bell Jar-nya Sylvia Plath atau novel coming-of-age penuh amuk redam. Mungkin ini hanyalah semacam romantisasi dan glorifikasi, tapi angst jadi perasaan paling dominan saya belakangan ini. Angst adalah privilase bagi mereka yang berusia di pertengahan duapuluhan.

Musik rock dan pop, sebut Taufiq Rahman dalam Pop Kosong Berbunyi Nyaring, adalah sarana untuk mereka yang masih membutuhkan katarsis bagi kemarahan jiwa muda, termasuk di dalamnya protes sosial, mengkomunikasikan cinta atau memuaskan rasa penasaran intelektual.

Belakangan, untuk keperluan melampiaskan amarah atas banalitas kehidupan, saya mendengarkan kembali Muse. Who the Hell Actually Listens to Muse? tanya Vice. Lebih dikarenakan cuma konsumen musik kacangan, saya tak perlu preferensi canggih, mudahnya karena Muse adalah teman masa remaja saya. Sebagian sebab nostalgia, sebagian untuk mengalirkan angst dalam diri tadi, sisanya karena algoritma Youtube. Mendengarkan kembali, dan untuk beberapa kali balikan, lagu-lagu dalam Origin of Symmetry, album kedua band generasi post-britpop favorit saya itu. Falsetto Matthew Bellamy, erangan gitar ala-ala Jimi Hendrix cum Tom Morello, rentetan gebukan drum Dominic Howard, lirik muram Kafkaesque proto-anarkis. Tanpa bermaksud jadi pakar musik, saya pikir Origin of Symmetry adalah magnum opus Muse. Nomor lagu Citizen Erased jadi favorit saya. “Ini adalah ekspresi bagaimana rasanya dipertanyakan,” curhat Matt Bellamy, “Aku menghabiskan lebih banyak waktu daripada kebanyakan orang ditanya tentang tujuan, dan itu adalah perasaan yang aneh. Aku tidak benar-benar memiliki jawaban dan aku harus merespon sesuai sejauh wawasan yang telah kuperoleh, tetapi masalahnya adalah itu dicetak, dan ada hal lain yang membuat Anda benar-benar tidak setuju dengan apa yang Anda katakan”. Lagu ini juga bisa merujuk pada 1984-nya Orwell, ketika warga terhapus dan kebohongan jadi kendali masyarakat. Atau, saya memaknai lebih personal.

Self-expressed, exhausting for all
To see and to be
What you want and what you need
The truth’s unwinding
Scraping away at my mind
Please stop asking me to describe

  • Citizen Erased

Sudah lebih dari seminggu, saya belum bisa beranjak dari Muse. Dari album kedua, cuma bergerak sedikit ke Absolution. Nomor lagu macam Time Is Running Out, Sing for Absolution dan Hysteria tentu yang paling terkenal dari Muse. Saya menemukan kesukaan baru pada Thoughts of a Dying Atheist, judul lagu paling bangsat yang menjadikan kolom komentar Youtube untuk lagu ini menjadi forum debat agama. Yang tak kalah blasphemy adalah Apocalypse Please. Sang drumer Dom menggambarkan lagu tersebut sebagai “sebuah lagu yang sangat teatrikal tentang fanatik-fanatik agama dan harapan mereka bahwa nubuatan mereka bakal menjadi kenyataan. Sehingga mereka dapat mengkonfirmasi agama mereka.”

Meski kadar oktan Muse makin turun, album Black Holes & Revelations dan The Resistance tetap jadi yang paling nostalgik bagi saya. Teringat saat internet belum secepat dan seluas hari ini, cara termudah mendapatkan lagu-lagu adalah dengan membeli kaset bajakan kumpulan mp3 dari Pasar Kota Kembang. Setelah memindahkan ke komputer, dengan pemutar Winamp, saya memutar tiap lagu dalam album itu, dan menandai lagu yang paling disukai. Lagu-lagu dari kaset bajakan itu belum dikasih nama, sehingga tulisannya cuma track 01, track 02, track 03, dan seterusnya, dan saya selalu senang untuk menjuduli tiap track itu. Map of the Problematique dan MK Ultra jadi lagu favorit, sampai sekarang, dalam tiap dua album tadi.

Ketika Anda mengunduh diskografi Muse dengan folder ‘Rare and Various’, tak pernah membukanya, dan berpikir Anda sudah menemukan semua lagu favorit Anda. Eternally Missed adalah lagu dalam folder itu.

Yang paling menarik lainnya dari Muse adalah desain sampul albumnya. Ketika studio desain Hipgnosis bubar pada 1983, setelah menciptakan sampul-sampul album yang mendefinisikan tahun 70-an, Storm Thorgerson mencoba-coba beragam hal dari video musik sampai iklan sebelum kembali ke media yang membuat namanya. Langkah yang bijaksana. Bahkan setelah kematiannya pada tahun 2013, ia tetap menjadi seniman penutup yang paling dihormati di antara mereka, sama-sama terkenal karena pekerjaannya yang berani dan inventif dengan band-band kontemporer sama halnya yang dilakukan pada Pink Floyd dan Led Zeppelin. Thorgerson membikin ilustrasi sampul Muse.

Saya membayangkan diri saya adalah dia yang ada dalam sampul album Absolution. Menatap keanehan di langit. Menunggu mukjizat. Mungkin sambil mendengarkan Apocalypse Please.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1783

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *