Arok Dedes: Potret Orde Baru Lewat Roman Sejarah ala Pram

Orde Baru udah lama tumbang, tapi masih sulit aja mendapatkan karya-karya dari sang maestro Pramoedya Ananta Toer. Untuk bisa mencicipi Arok Dedes aja, saya terpaksa beli versi bajakannya di Palasari.

Arok Dedes merupakan hasil buah karya Albert Camus-nya Indonesia ini ketika dibui di Pulau Buru. Ya, sebenarnya Tetralogi Buru sendiri terdiri atas Tetralogi Bumi Manusia yang sudah sangat terkenal, dan satu tetralogi rancangan Pram lainnya. Sebuah tetrologi yang dimulai dari Arok Dedes ini.

Arok Dedes: Coup d’Γ©tat ala Jawa

Pasti sangat familiar kan dengan legenda awal terbentuknya kerajaan Singgosari? Yang paling diingat mungkin tentang kesaktian kerisnya Empu Gandring kan ya?

Nah, novel ini ga bakal bahas soal si keris beserta kutukannya yang jatuh tujuh turujan. Roman yang jauh dari kesan dongeng dan mistika. Arok Dedes merupakan rasionalisasi sejarah abad 13 menjadi sebuah roman politik seutuhnya yang mengisahkan kudeta pertama di Nusantara.

Adalah Temu, seorang sudra yang ga jelas asal-usulnya, seorang jenius dan multitalenta yang menjadi dalang dari runtuhnya rezim Tunggul Ametung yang lalim. Ya, Temu ini yang kemudian meniti kasta menjadi brahmana dan akhirnya dinamai Arok, yang berarti Sang Pembangun.

Di lain pihak, Tunggul Ametung seorang sudra, perusuh, dan pemimpin pemberontakan diangkat menjadi Akuwu di Tumapel oleh Kerajaan Kediri. Dan bersama Raja Kediri Sri Kertajaya, praktek perbudakan yang telah lama dihapus sejak zaman Erlangga diberlakukan lagi. Selain itu, tirani yang korup ini juga diskriminatif terhadapa aliran kepercayaan selain Wisnu.

Selain merasa gerah terhadap kesewenangan penguasa tadi, Arok pun kesal dengan tindakan para brahmana Syiwa yang hanya sebatas omong doang mengutuk para penguasa penganut Wisnu tadi. Oleh sebab itulah Arok secara berani mengajukan diri dan meminta legitimasi untuk melakukan kudeta terhadap Orde Ametung tadi.

Legitimasi agama untuk kudeta pun diberikan, apalagi setelah mengetahui kalau Dedes, anaknya Mpu Parwa telah diculik dan dijadikan paramesywari oleh Tunggul Ametung. Selain karena memang, Arok sendiri seorang yang jenius. Arok dianggap sebagai pembawa perubahan, menguasai Sansakerta dan lulus dari asuhan Mpu Dang Hyang Lohgawe dalam usia muda, magna cumlaude pula kalau boleh dibilang. 😎

β€œMungkin kau lupa. Jatuhkan Tunggul Ametung seakan tidak karena tanganmu. Tangan orang lain harus melakukannya. Dan orang itu harus dihukum di depan umum berdasarkan bukti tak terbantahkan. Kau mengambil jarak secukupnya dari peristiwa itu.”

Arok Dedes

Di atas merupakan bimbingan dari profesor Lohgawe. Ya, dalam novel ini saya jadi tahu ada perbedaan antara Mpu dan Empu. Mpu ditujukan untuk para brahmana sekelas dosen dan guru besar, kalau Empu mah buat tukang, contohnya Empu Gandring.

Kembali ke cerita, Arok menyadari ada pihak lain yang sama-sama ingin melakukan kudeta juga, ada dari dua politisi ulung Belangkaka dan Empu Gandring. Meski mempunyai cara yang berbeda, tapi mereka punya satu kesamaan. Penunjukan seorang boneka untuk melancarkan kudeta, sementara mereka sebagai dalang yang mengatur strategi dibalik layar. Sama halnya seperti Lohgawe yang menyisipkan Arok di pemerintahan Tumapel.

Meski Arok memang di sini sebagai pahlawannya yang melawan Tunggul Ametung yang notabene jahat. Tetap saja, kekuasaan yang didapat dengan berlumuran darah akan tetap tercium amis dalam goresan sejarah.

Oleh sebab itulah, yang diperlukan bukan perang terbuka. Karena politik adalah permainan catur di atas papan bidak. Butuh kejelian, pancingan, dan ketegaan untuk melempar umpan-umpan untuk mendapatkan peruntungan besar.

Orde Ametung dan Orde Baru

Seperti saya sebutkan di atas, Arok Dedes ini merupakan bagian dari tetralogi. Buku lanjutannya adalah Mata Pusaran, Arus Balik, dan Mangir. Namun sayang, Mata Pusaran hilang karena naskahnya disita oleh penguasa Orba tanpa kejelasan otoritas. πŸ™

arok dedes pramoedya anata toer

Membaca Arok Dedes ini serasa mengikuti kisah gonjang-ganjing politik di Indonesia era kekinian. Ingatan saya pertama-tama langsung tertuju pada peristiwa 30 September 1965, Reformasi 1998, dan perseteruan-perseteruan para pendiri bangsa pada masa-masa awal kemerdekaan.

Arok Dedes sendiri merupakan roman sejarah yang sempat dilarang keras di zaman Orde Baru. Roman yang sukses mengantarkan Pram keluar masuk hotel prodeo selama hidupnya.

Tentunya ini menimbulkan pertanyaan, mengapa buku ini baru terbit pertama kali setelah Orde Baru tumbang, yaitu pada 1999. Padahal naskah buku ini selesai jauh sebelum itu, yaitu tahun 1976. Apakah Arok Dedes adalah metafora kudeta tahun 1965?

Lewat buku ini, Pram seolah menyampaikan bahwa kesewenang-wenangan penguasa patut ditumpas, dan salah satu jalannya adalah lewat kudeta.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1783

36 Comments

  1. Kadang gue nggak mengerti pola pikir pemerintah Orba…. Kalau nggak suka, kenapa nggak bikin karya tandingannya. Biarkan juga rakyat yang menilai. Tapi yah orang kalau sudah salah, memang ada saja caranya untuk berdalih atau menutupi keslahannya

  2. belum beres baca ini, bukunya udah lupa nyimpen. coba cari buku Calon Arang, karangan Pramoedya Anantatoer juga. Itu salah satu novel yang menjerumuskan dia ke pengasingan waktu jaman orba. ceritanya… cerminan indonesia bangeudh!

  3. Ada di perpustakaan kantor, pernah mencoba di sela2 kerjaan. Hasilnya, ternyata nggak konsen mencerna bahasa2 tingginya. Haha…

    • Emang pake bahasa Indonesia jadul, jadi emang kalau awal-awal baca rada kagok. Tapi kalau udah diterusin mah jadi biasa.

    • Soal keakuratan sejarah dalam buku ini emang patut disangsikan. Mengingat Pram menulis buku ini dalam tahanan, tanpa riset, dengan modal ingatan akan isi Pararaton, sumber utama sejarah Singhasari.
      Pararaton pun sebenarnya ga bisa dijadiin referensi resmi karena merupakan campuran dengan mitos dan mistik.

  4. epik banget yah ceritanya … dulu sampe sekarang ceritanya sama saja yah kalau masalah kekuasaan. memang benar power tend to corrupt tuh …. mengenai masalah kudeta, lebih elok kalau kita masukan dulu sang pangeran ke penjara dan nanti pastinya sang raja dan ratu nyusul :mrgreen: *Lebih setuju dipenjara dan dimiskinkan daripada kudeta, nanti takut kudeta kemakmuran alias krisis lagi nih bangsa …*

  5. ada ya bukunya ? tapi emang sih sejarah dari singasari, emang penuh darah dan mistik (ngomongin keris gitu loh)

    btw salam kenal ya πŸ™‚

  6. orang pinter kan dulu dianggap berbahaya rip, jadi wajar kalau karyanya yg dimungkinkan membuat heboh sebisa mungkin tidak dipublikasikan..

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *