Dalam Fate/Grand Order: Camelot, Artoria Lancer diperkenalkan sebagai Raja Singa (Lion King), versi alternatif dari Artoria Pendragon yang memikul peran antagonis. Namun, di balik sosoknya sebagai antagonis, terdapat dimensi psikoseksual dan mitos yang kompleks yang dapat dianalisis.
Artoria Lancer di Camelot sepenuhnya menolak sisi manusiawinya demi mengejar kesempurnaan raja. Hal ini bisa dilihat sebagai manifestasi dari represi, di mana keinginan-keinginan pribadi, termasuk afiliasi emosional dan psikoseksual, ditindas demi ideal moral yang lebih besar.
Dalam konteks Freudian, represi ini menciptakan konflik internal yang mewujud dalam bentuk ekstrem: menjadi Raja Singa, entitas yang sepenuhnya terlepas dari kemanusiaan.
Tahap Latensi yang Membeku: Penolakan terhadap Libido
Freud mengemukakan bahwa tahap perkembangan psikoseksual melibatkan libido, atau energi dorongan seksual, yang bergeser fokusnya dari fase oral hingga genital. Artoria, terutama dalam wujud Lancer, dapat dikatakan terjebak dalam tahap latensi yang stagnan.
Penolakannya terhadap koneksi emosional, cinta, dan hasrat seksual manusiawi mencerminkan mekanisme defensif yang kuat. Alih-alih melanjutkan perkembangan psikoseksual ke tahap dewasa yang sehat, ia memilih pengabdian total pada peran sebagai “Raja” yang sempurna.
Sebagai perempuan yang dibesarkan untuk menjadi raja, Artoria dituntut menanggalkan identitas feminin dan memikul beban maskulinitas yang sesuai dengan peran seorang penguasa.
Pilihan Artoria untuk menggunakan Holy Lance Rhongomyniad sebagai simbol kekuasaan lebih jauh menunjukkan represinya. Dalam mitologi Fate, tombak ini adalah simbol keabadian dan absolutisme. Rhongomyniad memutuskan hubungan Artoria dengan dunia manusia.
Antagonisme dan Lore: Ketika Artoria Menjadi Lion King
Dalam lore Fate, Artoria Lancer muncul sebagai alternatif dari Artoria Pendragon yang tidak menggunakan Excalibur untuk menyegel Avalon, melainkan memilih Rhongomyniad. Pilihan ini menjadi titik balik yang mengubah Artoria menjadi entitas semi-divine yang melihat umat manusia sebagai beban daripada penerus. Tujuannya mendirikan Camelot sebagai utopia abadi mencerminkan superego yang ekstrem, yakni bagian kepribadian yang selalu mencari kesempurnaan dan moralitas absolut.
Sebagai Lion King, Artoria percaya bahwa umat manusia tidak layak menghadapi kehancuran zaman akhir (Incineration of Humanity). Dengan menyelamatkan segelintir orang pilihan melalui Holy Selection, ia menegaskan supremasi moralnya, namun dengan harga penghapusan kebebasan individu.
Antagonisme Artoria dalam Camelot tidak muncul dari kebencian, melainkan dari rasa tanggung jawab yang menyimpang. Ia menilai bahwa keabadian adalah solusi terbaik, meskipun itu berarti melanggar nilai-nilai humanis.
Freud membagi dorongan manusia menjadi dua kategori utama: Eros (dorongan kehidupan, termasuk cinta dan kreativitas) dan Thanatos (dorongan kematian, termasuk destruksi dan keabadian). Artoria Lancer adalah manifestasi Thanatos yang sempurna. Dengan menolak cinta dan hubungan manusia, ia juga menolak Eros. Penolakan ini meluas hingga kebijakan “mengorbankan umat manusia” demi mencapai utopia yang mati, statis, dan tanpa konflik.
Camelot versi Lion King bukanlah tempat bagi cinta, kebebasan, atau pertumbuhan manusia. Sebaliknya, itu adalah monumen kekakuan dan kontrol absolut.
Artoria Lancer dalam Camelot adalah perwujudan konflik antara tugas dan keinginan, moralitas dan kemanusiaan, Eros dan Thanatos. Dengan menolak sisi manusiawinya, ia menjadi antagonis tragis yang mengorbankan dirinya demi cita-cita yang terlalu besar. Dalam perspektif Freudian, Artoria adalah simbol dari apa yang terjadi ketika represi, idealisasi moral, dan keinginan untuk keabadian menggantikan perjalanan manusiawi yang wajar.
Namun, justru melalui peran antagonisnya, Artoria mengundang pertanyaan tentang makna kebebasan, cinta, dan kemanusiaan. Apakah menjadi raja berarti menanggalkan sisi manusiawi? Dan apakah keabadian tanpa cinta adalah utopia atau tragedi? Jawaban ini tidak hanya relevan dalam konteks Fate/Grand Order, tetapi juga bagi manusia yang terus bergulat dengan konflik serupa dalam kehidupan nyata.