Atsushi Nakajima, Sang Penyair yang Berubah Jadi Harimau

Dalam banyak hal, hidup seorang penulis adalah panggung tersembunyi dari teks-teksnya. Seperti halnya seorang penari bayangan, ia menyampaikan kegelisahan, perasaan, dan pemikiran lewat serangkaian kata, namun kerap menyembunyikan keheningan pribadinya. Atsushi Nakajima, penulis Jepang yang cemerlang namun terlupakan, adalah contoh nyata dari seniman yang melangkah di atas dua dunia: dunia yang nyata, penuh dengan perihnya eksistensi, dan dunia khayalan yang ia ciptakan sebagai perwujudan dari pencarian jiwanya.

Nakajima lahir pada 5 Mei 1909, di Tokyo, dalam masa yang penuh gejolak. Ia tumbuh besar dalam suasana yang dipenuhi semangat zaman, namun juga diliputi bayangan kolonialisme dan konflik internasional.

Sejak muda, Nakajima telah terpesona oleh sastra klasik Cina. Sebagai sarjana, ia memiliki kecenderungan mendalami sejarah dan sastra Tiongkok, dan pengaruh ini terbukti menjadi elemen kuat dalam karya-karyanya. Namun, pesona ini bukan sekadar ketertarikan intelektual; di dalamnya, terselip usaha pelarian dari kegelapan eksistensial yang ia rasakan.

Penerimaan Kematian dan Keabadian

Karya Atsushi Nakajima yang terkenal, Sangetsuki, yang jika diterjemahkan berarti Sang Penyair di Pulau, bercerita tentang seorang pria yang berubah menjadi harimau setelah dihantui ambisi dan keputusasaannya.

Kisah ini bisa dipahami sebagai metafora bagi perjalanan batin Nakajima sendiri: manusia yang mencari makna dalam kehidupan di tengah rasa putus asa yang merambat seperti racun. Perubahan menjadi harimau, sebuah simbol kebuasan dan kebebasan primitif, mungkin merupakan cara Nakajima untuk mengekspresikan hasrat mendalam untuk membebaskan diri dari kungkungan kehidupan sehari-hari yang penuh penderitaan.

Dalam interpretasi ini, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Nakajima menulis untuk mengabadikan gejolak batinnya. Karyanya bukanlah upaya mendiktekan moral atau mengajarkan makna hidup, melainkan cermin bagi pencarian makna yang tak kunjung selesai.

Nakajima tampak menantang pembacanya untuk merenungkan nasib manusia yang fana. Ia mengajak mereka merayakan, sekaligus menerima, kerapuhan dan ketidakpastian eksistensi. Di balik kisah-kisahnya yang terkesan fantastis dan kadang gelap, ada perasaan getir akan ketidakmampuan manusia untuk menaklukkan waktu dan ruang.

Keadaan fisik Nakajima juga menjadi elemen yang tidak terpisahkan dari karyanya. Pada masa itu, Tuberkulosis merupakan penyakit yang tidak dapat dihindari, dan ketika ia mulai menyerang Nakajima, tubuhnya yang rapuh semakin terasa takluk di bawah tekanan waktu.

Di usia 33 tahun, Nakajima meninggal dunia, meninggalkan rangkaian cerita yang tak terselesaikan. Seperti Sangetsuki, karya-karyanya menyimpan jejak-jejak kegelisahan eksistensial. Namun, penyakit bukan hanya sekadar kondisi medis yang menyerangnya; ia adalah perwujudan simbolis dari kehidupan yang perlahan terkikis, yang pada akhirnya takluk di hadapan kematian.

Dalam esai-esainya yang lain, Nakajima tampak menggali tema-tema keterasingan, ketidakberdayaan, dan absurditas hidup. Seperti seorang pelukis impresionis, ia menggambarkan kehidupan dengan sapuan-sapuan warna yang kabur, seolah ingin memperlihatkan bahwa kehidupan manusia hanyalah sebentuk kebetulan yang dikepung kegelapan.

Keterbatasan hidup, bagi Nakajima, bukanlah sekadar akhir biologis, melainkan ketidakmampuan manusia untuk memahami arti keberadaan mereka di dunia.

Warisan Atsushi Nakajima

Atsushi Nakajima sering menyisipkan dirinya dalam karakter-karakternya.

Dalam Sangetsuki, karakter utama adalah seorang penyair yang ambisius namun tersesat dalam pencarian jati diri, mencerminkan kecenderungan Nakajima sendiri yang bergulat dengan identitas dan keinginan untuk mengatasi batasan eksistensial.

Dalam karyanya yang lain, Deserted Island, tokoh protagonisnya terjebak dalam kondisi yang mustahil dan mencoba bertahan hidup dengan tetap mempertahankan integritas dan ketenangan batin.

Membaca Nakajima adalah seperti mendengar seseorang yang berbicara kepada dirinya sendiri dalam kegelapan. Penulis ini tidak menawarkan resolusi atau kebijaksanaan mutlak. Sebaliknya, ia menghadirkan renungan yang mengambang di antara kenyataan dan ilusi, kehidupan dan kematian, mimpi dan kenyataan.

Bayangan Nakajima sebagai seorang seniman dan manusia yang dipenuhi kontradiksi mungkin tetap tersembunyi di balik teks-teksnya, namun bagi mereka yang bersedia menggali, terdapat jejak kejujuran dan keberanian untuk menghadapi kerapuhan hidup.

Jika melihat Nakajima melalui perspektif kontemporer, mungkin tidak berlebihan menyebutnya sebagai tokoh yang “tersingkir” dari arus utama sastra Jepang. Penulis yang pernah bersinar itu lambat laun meredup, tertimbun oleh nama-nama besar semacam Osamu Dazai atau yang datang kemudian.

Namun di sinilah letak keindahan sesungguhnya: Nakajima, dengan segala keterbatasan hidup dan penderitaannya, meninggalkan jejak yang nyaris tak kasat mata—seperti aroma samar dupa yang hanya tercium oleh mereka yang benar-benar mencarinya. Karya-karyanya adalah warisan bagi mereka yang berani menatap ketidakpastian hidup, dan melihat ke dalam jurang eksistensi manusia dengan kejujuran yang telanjang.

Atsushi Nakajima mengajarkan kepada kita bahwa keberanian bukanlah tentang melawan kematian atau menyembunyikan kesedihan, melainkan menghadapi kerapuhan dan ketidakberdayaan dengan jujur, meski tanpa kepastian akan jawaban.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1881

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *