Terdengar aneh dan mungkin rada psikopat, mendapat keasyikan saat kepo nama-nama di daftar peminjam buku. Membayangkan seperti apa orang asing dari hanya namanya dan buku yang dipinjamnya ini, untuk kemudian mengetik namanya di Google. Sebagian info diri orang-orang asing tadi bisa ditelusuri, sebagian lainnya misteri – justru karena namanya yang pasaran.
Beberapa kali lihat daftar peminjam buku kumpulan cerpen Kineruku pasti nemu nama Anton Kurnia. Buat saya, namanya enggak asing. Dia seorang penerjemah sekaligus penyunting senior. Cerpen terjemahannya sering terbit di koran, yang saya ketahui karena sudah banyak yang diinternetkan. Novel dan kumcer terjemahannya lumayan bejibun. Ada kumcer terjemahannya yang tebalnya kabina-bina berjudul anagram angka setan, Cinta Semanis Racun: 99 Cerita Dari 9 Penjuru Dunia.
Saya membayangkan Anton Kurnia menerjemahkan selayaknya penerjemah. Maksud saya, seperti yang disebut John Berger sebagai penerjemahan sastrawi. Mempelajari kata-kata di satu halaman dalam satu bahasa dan kemudian menerjemahkannya ke bahasa lain di halaman lain. Meliputi yang disebut penerjemahan kata demi kata, dan kemudian adaptasi untuk menghormati dan menggabungkan tradisi linguistik dan aturan-aturan pada bahasa kedua, dan akhirnya kerja lainnya untuk menciptakan kembali “suara” yang setara dengan teks asli. Lebih jauh, menurut Berger, seorang penerjemah harus mampu menyuarakan apa yang ingin disuarakan sang penulis asal. Menerjemahkan adalah kerja keras.
Saya sendiri enggak ada niatan untuk jadi penerjemah, tapi kalau soal menerjemahkan cerpen iseng-iseng sudah biasa sejak 2015. Kalau dipikir-pikir, hasil terjemahan saya sudah cukup untuk dijadikan satu buku antologi. Malah, sempat juga ditawari untuk diterbitkan. Namun saya menolak, alasannya biarlah hasil terjemahan yang telah dipos di blog ini tetap bisa diakses gratis. Kecuali kalau persetujuannya saya disuruh menerjemahkan suatu novel atau cerpen-cerpen lainnya dan dijanjikan untuk diterbitkan. Tapi belum ada tawaran semacam itu. Jika menerjemahkan sebuah cerpen, saya gatal kalau hanya menyimpannya di laptop, inginnya langsung dipos agar bisa dibaca orang.
Soal hasil terjemahan, kalau saja Socrates dihidupkan lagi lewat jurus edo tensei, pasti dia bakal mendamprat saya. Bahasa yang enggak akurat bukan hanya salah, tegas Socrates sambil ngupil, tapi menunjukkan kejahatan jiwa seorang manusia. Ya, bagi saya sendiri, hasil terjemahan saya masih buruk. Pertama, bahasa Inggris masih cupu. Jika diadu dengan siswa kelas satu sekolah dasar Singapura, saya yang babak belur. Kedua, saya pemalas. Tingkat kemalasan yang tercipta atas perkawinan Kabayan dan kukang. Dua alasan tadi jika digabungkan menjelaskan kenapa hasil terjemahan saya jelek: saya memakai Google Translate.
Sebagian besar cerpen yang saya terjemahkan berasal dari acuan bentuk digital. Dari laman situs atau kumcer buku digital bajakan. Proses penerjemahan benar-benar penuh dosa. Biasanya saya akan menyalin satu paragraf penuh ke dalam Google Translate, dan memindahkan lagi hasil terjemahannya untuk kemudian dipoles per kalimatnya. Itu pun tanpa kerja ekstra, seadanya saja. Padahal niat saya menerjemahkan untuk melatih menulis.
Karena dipos di blog sendiri, tentu saja kuasa sepenuhnya milik saya. Enggak ada redaktur. Enggak ada yang mengoreksi dan mengkritisi, kecuali saya sendiri. Kebanyakan komentar malah berterimakasih karena telah menerjemah cerpen dan bilang hasil terjemahan saya bagus. Enggak jarang ada yang memuji dan menyanjung-nyanjung. Tentu saja, saya makin besar kepala.
Menurut Walter Benjamin dalam satu esainya di Illuminations: Essays and Reflections, adalah tugas penerjemah untuk melepaskan lewat bahasanya sendiri sebuah bahasa murni yang berada di bawah mantra orang lain, untuk membebaskan bahasa yang dipenjara dalam sebuah karya dalam penciptaan kembali karya tersebut. Dibutuhkan proses yang makan waktu. Saya hanya bisa memberi apologia bahwa saya penerjemah generasi milineal yang malas dan ingin cepat beres dan mudah terdistraksi polusi notifikasi.
“Tugas penerjemah untuk melepaskan lewat bahasanya sendiri sebuah bahasa murni yang berada di bawah mantra orang lain, untuk membebaskan bahasa yang dipenjara dalam sebuah karya dalam penciptaan kembali karya tersebut.”
Quote nya wow banget!
Terkadang ketika menerjemahkan, aku sering gagal paham dengan imajinasi penulis, seringnya aku sedikit mengubah kata per kata itu, kemudian aku tulis ulang berdasarkan apa yang ku tangkap kemudian dibahasakan ulang dengan gaya sakarepku dewe.
Rispek, Kang, masih aja sering ngeblog!
Hasil terjemahan lalu dipermak oleh editor jika hasilnya lebih baik dari hasil terjemahan kita tentu baik. Tapi kalau hasil terjemahan setelah diobrak-abrik editor malah menurunkan kualitas hasil terjemahan, malah bikin sakit hati sang penerjemah, hehehe…
Untuk sebuah idealisme sebaiknya hasil terjemahan diterbitkan sendiri secara indie.