Bandung dan Warisan Art Deco

Memandang bangunan tua di Bandung, saya selalu merasa terlempar ke masa lalu, ke era di mana arsitektur tidak hanya soal fungsi tetapi juga ekspresi jiwa dan simbol modernitas. Di sinilah Art Deco, dengan garis-garis tegasnya yang mewah dan penuh gaya, hadir sebagai saksi bisu dari zaman yang penuh ambisi dan optimisme.

Arsitektur ini bukan sekadar bangunan; ia adalah wujud dari mimpi kota ini untuk menjadi “Parijs van Java.” Tapi bagaimana warisan Art Deco ini bertahan di Bandung? Apa yang bisa kita maknai dari gedung-gedung tua yang berdiri kokoh di tengah hiruk-pikuk modernitas?

Art Deco sebagai Wajah Modernitas

ngaleut bangunan cagar budaya bandung

Pada tahun 1920-an hingga 1930-an, Art Deco hadir sebagai gaya arsitektur yang menggambarkan semangat modernitas dan kemajuan teknologi. Saat itu, Bandung menjadi kanvas yang sempurna bagi ide-ide arsitektur baru yang mewah dan progresif.

Arsitek Belanda yang didatangkan ke Hindia Belanda merancang gedung-gedung dengan motif geometris, garis-garis tegas, dan simetri yang anggun—ciri khas dari Art Deco. Hotel Preanger, Gedung Merdeka, dan bangunan-bangunan di Jalan Braga adalah bukti konkret dari upaya kolonial untuk membentuk Bandung sebagai kota modern dan cosmopolitan.

Art Deco tidak hanya tentang keindahan fisik, tetapi juga menyiratkan ambisi sebuah kota untuk menjadi setara dengan kota-kota besar di Eropa.

Namun, apakah Art Deco ini hanya sekadar simbol gaya Barat yang dipaksakan ke budaya lokal? Bagi saya, keberadaan bangunan-bangunan Art Deco di Bandung bukanlah penyerahan budaya, melainkan tanda bahwa kota ini selalu siap merespon perkembangan zaman, menyerap pengaruh luar, dan mengolahnya menjadi identitas sendiri.

Art Deco di Bandung seolah menyuarakan keterbukaan dan kesiapan kota ini untuk menjadi bagian dari dunia yang terus berkembang.

Braga dan Jejak-jejak Kenangan

Jalan Braga adalah pusat dari gaya hidup dan kemewahan di masa lalu, tetapi ia juga mencerminkan bagaimana Art Deco di Bandung berkembang menjadi lebih dari sekadar gaya arsitektur.

Pada masa kolonial, Braga adalah tempat di mana orang Belanda berkumpul, berbelanja, dan menghabiskan waktu di kafe-kafe mewah. Bangunan-bangunan di sepanjang jalan ini, dengan sentuhan Art Deco, adalah simbol status sosial dan eksklusivitas.

Saya sering berjalan-jalan di Jalan Braga, berusaha merasakan kembali bagaimana suasana masa lampau yang kini hanya tertinggal dalam jejak-jejak bangunan tua. Di antara hiruk-pikuk turis dan kafe modern, bangunan-bangunan itu seperti sisa-sisa ingatan yang keras kepala, mempertahankan memori sebuah era yang telah berlalu. Namun, apakah bangunan-bangunan ini masih relevan di tengah perubahan zaman?

Bagi saya, keberadaan mereka adalah pengingat bahwa Bandung tidak bisa dipisahkan dari sejarah kolonial yang membentuk identitasnya. Mereka adalah monumen kenangan yang mengajarkan kita untuk menghargai sejarah, bahkan saat kita bergerak maju menuju masa depan.

Merawat Warisan di Tengah Gempuran Modernisasi

Namun, yang mengusik hati saya adalah bagaimana nasib warisan Art Deco di Bandung ini di tengah modernisasi yang terus melaju. Di satu sisi, perkembangan ekonomi kota dan meningkatnya kebutuhan ruang membuat banyak bangunan bersejarah terancam oleh pembangunan gedung-gedung baru.

Pada sisi lain, mempertahankan warisan Art Deco memerlukan biaya pemeliharaan yang tidak sedikit. Beberapa bangunan tua akhirnya dibiarkan terbengkalai atau bahkan dihancurkan, menyisakan kekosongan dalam lanskap kota yang dulu penuh cerita.

Tetapi ada secercah harapan. Dalam beberapa tahun terakhir, gerakan pelestarian bangunan tua semakin marak di kalangan masyarakat Bandung. Pemerintah dan komunitas pecinta arsitektur mulai berkolaborasi untuk menyelamatkan warisan Art Deco dari kepunahan. Bagi saya, ini adalah langkah penting untuk memastikan bahwa Bandung tidak kehilangan jiwanya. Di tengah kota yang terus berubah, mempertahankan Art Deco adalah cara untuk mengingat siapa kita dan dari mana kita berasal.

Warisan Art Deco di Bandung bukan hanya tentang arsitektur fisik; ia adalah narasi tentang ambisi, sejarah, dan identitas. Menerima modernitas tanpa melupakan sejarah adalah tantangan yang terus dihadapi Bandung. Di tengah kilauan bangunan-bangunan baru yang menjulang, warisan Art Deco tetap berdiri sebagai simbol abadi dari mimpi kota ini.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1890

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *