Dalam sorot-sorot kamera yang membawa kita kembali ke tahun 1991, Bandung terhampar bukan hanya sebagai latar tempat, tetapi sebagai saksi bisu yang mendengar segala kata, tawa, dan tangis dalam kisah Dilan dan Milea.
Bandung hadir tidak hanya dalam bentuk visual semata—gedung-gedung tua, jalan-jalan sepi, hingga taman-taman yang sunyi seolah mengendap dalam ingatan—namun juga dalam atmosfer, menghidupkan kembali era di mana percintaan dan pemberontakan anak muda bersemai.
Bandung dalam Film Dilan 1991
Bandung di tahun 90-an adalah Bandung yang sibuk, namun belum gaduh. Jalan Asia Afrika belum menjadi arteri kemacetan, Gasibu belum menjadi sekadar arena rekreasi massal, dan angkot melaju santai, seolah tidak mengenal kata tergesa.
Film Dilan 1991 mengemas potret kota ini dengan begitu sederhana, namun padat makna. Seperti lukisan yang samar, kota ini muncul dalam suasana sendu dan melankolis, sekaligus penuh rasa nostalgia yang menggigit.
Adegan demi adegan di jalanan Dago, dalam angkot yang bergoyang, atau di warung-warung kecil tempat Dilan dan Milea bertukar canda, memperlihatkan Bandung yang tak lagi sepenuhnya ada. Dalam setiap jengkal kota yang tampil di layar, kita seolah mengarungi masa lalu—dan dalam kenangan itulah, Bandung berubah menjadi ruang di mana keromantisan masa muda terjalin. Kota ini menjadi lebih dari sekadar setting; ia menjadi bagian integral dari emosi, suara, dan identitas para tokoh.
Dengan gaya berceritanya, film ini memberi peran sentral pada Bandung, menjadikan kota ini sebagai karakter tersendiri dalam narasi. Di sanalah, Milea menyaksikan segala kebaikan dan kebandelan Dilan, dan di sanalah kita ikut merasakan betapa romantisnya Bandung bagi mereka yang tumbuh besar dalam keindahan kota ini.
Film ini mengingatkan kita bahwa kadang-kadang, kisah cinta tidak bisa terlepas dari tempat di mana ia pertama kali tumbuh, tempat yang merekam semua detail kecil yang menjadi bagian dari kenangan.
Bandung dalam Dilan 1991 adalah kota yang jauh dari kesempurnaan modernitas; ia adalah kota yang sepi namun hidup, kota yang sunyi namun hangat. Mengapa nostalgia terasa begitu kuat dalam setiap adegannya? Mungkin karena Bandung itu sendiri adalah kota kenangan, kota yang menampung berbagai cerita tanpa pernah memaksakan makna. Setiap sudut jalan dan lorongnya adalah tempat bagi orang-orang untuk mencintai, merasakan kehilangan, dan tumbuh.
Dilan 1991 tidak semata-mata tentang Dilan atau Milea; film ini adalah monumen kecil bagi Bandung yang kita kenal. Di dalamnya, ada sekilas Bandung yang mulai menghilang di bawah arus waktu, namun selamanya hidup di dalam hati mereka yang pernah menjadi bagian dari kota ini.
Di akhir cerita, kita menyadari bahwa bukan hanya Dilan dan Milea yang telah berubah, tetapi Bandung itu sendiri—selalu berubah, selalu bergerak, namun tetap tinggal dalam kenangan.
Dalam potret Bandung yang sederhana dan tak berlebihan itu, kita kembali diingatkan akan hakikat kota yang sesungguhnya: ia adalah ruang bagi manusia untuk merasa, untuk menjadi, dan untuk menelusuri jejak-jejak masa lalu yang tak lekang oleh waktu.