RILIS: 1 JUNI 2016
- Mutan [Prolog]
- Bandung Lautan Api 2.0
***
Dengan tatapan sayu dan kantung mata yang makin menghitam, dia fokus menatap monitor superkomputer besar di hadapannya. Layar proyeksi hologram tridimensional itu menayangkan untaian kombinasi huruf angka yang tak kupahami. Jari jemarinya yang keriput lincah menari di atas tuts papan ketik. Serasa hanya dia dan sang komputer hiper cerdas itu yang eksis di dunia ini.
“Apakah tak ada jalan lain prof?”
Menghela nafas. Diam sejenak, namun tak satu kata pun keluar dari mulutnya. Mendengar, namun merasa tak penting untuk sekadar menjawab pertanyaan yang berulang kali kuutarakan.
Entah terlalu jenius atau terlalu bodoh. Asal tahu saja, dia adalah doktor ahli dalam bidang nuklir, kuliah sampai jenjang S3 selalu di luar negeri. Sekarang berusia 55 tahun dan masih membujang. Seorang jenius yang depresi kurasa. Melajang memang sudah jadi hal lumrah, dan mereka yang menjalani ritus ini berkata sembari meyakinkan dirinya kalau mereka bisa tetap bahagia. Ah cuma ucapan manis di mulut memang. Tengok saja saintis tua di depanku. Mengibakan.
Dia menghela nafas lagi. Layar berubah warna menjadi merah menyala, sirene meraung-raung memekakan telinga.
“Bandung sudah terlalu rusak. Mustahil diperbaiki. Hanya bisa dibangun ulang”, bersuara juga dia. Datar.
Berbalik badan, kemudian dia berjalan ke hadapanku. Kebisingan makin menjadi-jadi.
“Kesempatan emas, hanya sekarang waktu yang tepat. Bajingan-bajingan itu akan ikut mati dengan kota ini”, dia bersuara lagi. Setengah berbisik. Setengah meratapi.
“Kau pasti sudah memikirkan ini masak-masak prof. Tapi-“
“Kenanglah aku sebagai orang baik. Percayalah. Fokus saja dengan misimu”
***
“Yah, cepetan ih nanti ketinggalan loh”.
Anak laki-laki berkulit putih berwajah oriental dengan mata biru miliku merengek manja. Memaksaku menutup portal berita yang merilis ulasan tragedi bencana nuklir yang meruntuhkan Megapolitan Bandung.
Hari ini 23 Maret, tepat 110 tahun setelah momen Bandung Lautan Api. Dan hari itu, saat aku dan Profesor Anto terakhir kalinya bertemu di pusat kendali reaktor nuklir Gedebage, untuk kedua kalinya, Bandung dihancurleburkan. Lagi. Dalam hitungan sepersekian detik miliaran jiwa melayang dalam kejadian 10 tahun itu.
Tersihir ratapan manis bocah kesayanganku ini, aku berdiri malas. “Iya coba sana bilang ke bunda biar mandinya cepetan”.
+
===
Satu kata: Jelek! Mencoba merangkai semesta cerita sci-fi saya setelah dapat ilmu baru dari ‘Draf 1: Taktik Menulis Fiksi Pertamamu’-nya Winna Effendi. Dan ternyata masih amburadul gini. Oh.
Untuk para pembaca, minta saran, masukan, kritik, dan caciannya ya. 😀
udah lumayan nih ceritanya, sya aja blm pandai merangkai sebuah cerita.
Kalau merangkai kisah manis dalam kehidupan mah pasti jago.
Kalo mau komen sih “Not Bad”. Pendeskripsiannya mungkin agak kurang, mungkin didalam ruangannya ditambahkan lagi komponennya, tidak hanya komputer. Makasih 😀
Ah iya imajinasi saya masih kurang.
Tak ape, itu dah bagus dah.
Pengen nerbitin buku juga bang 🙁
Ya tinggal terbitin aja.
Hari ini 23 Maret, tepat 110 tahun setelah momen Bandung Lautan Api. Dan hari itu, saat aku dan Profesor Anto terakhir kalinya bertemu di pusat kendali reaktor nuklir Gedebage, untuk kedua kalinya, Bandung dihancurleburkan. Lagi. Dalam hitungan sepersekian detik miliaran jiwa melayang dalam kejadian 10 tahun itu.
Bingung sama 110 tahun dan 10 tahun lalu kata hari itu di kalimat kedua. arrrrgggggh, pusing!!
Ah saya juga jadi ikutan pusing emang. Yang terakhir itu bikinnya buru-buru.
kalau lihat angka 110 tahun… itu artinya si aku umurnya panjang banget donk yah?
Ya gitu lah, udah lahir sejak zaman kolonial.
saya jadi pembaca aja ya,
belum bisa nulis fiksi juga apalagi yang sci-fi.
saya lagi berada di ruang kendali bersama prof anto, beliau adalah profesor S3 di bidang nuklir dan termuka didunia, sekarang beliau lagi di bandung untuk mengurusi segala sesuatu tentang nuklir. Disini kami lagi menikmatin seni dalam perangkaian nuklir pembangkit tenaga listrik sambil ditemani es cincau yang dingin,
Ini baru namanya jelek bang 🙁
kurang gereget sama karakter si prof. bujang itu loh, apa emang belum keluar semua sekuel nya, jadi watak si bujang belum ketauan, aahhh.
Iya masih kurang greget, ini sebenernya rencana buat tamatnya. Jadi emang sosok si prof belum dieksplor lebih jauh.
mantap rif, sukses 🙂
gambar covernya bisa aja, masa bandung udah kaya kota-kota di amerika gitu. hehe
Malah di Amerika sana aja belum ada yg kayak gitu. 😎
dan bandung, bagiku bukan cuma, masalah wilayah *lah malah nyanyi
Lebih jauh dari itu melibatkan perasaan. *nerusin nyanyi
Sip,soal bahasa tgkt SMA sering di kasih soalan berupa karangan spt ini…
Mungkin UN tahun depan harus dimasukin cerita saya ini, biar ga ada kontroversi.
Kalo kata gue malah bagus. Dan.. umm penasaran pengin minta lanjutannya \:p/.
lumayan sih gue kira buat gue yg belum bisa nulis fiksi..
kalimat yg kruang jelas itu pas 110 tahun sama 10 tahun, harus baca ulang biar ngerti 😀
Iya itu buru-buru bikinnya, dan nulis angkanya juga asal-asalan ga dihitung dulu.
Mmmm.. Masih ada beberapa ejaan dan tanda baca yang ngga sesuai EYD 😀 Misalnya, kalo mau bikin kalimat yang ada sapaan ke orang lain, harus ada tanda koma dan huruf di awal kata harus huruf kapital.
“Apakah tak ada jalan lain prof?” seharusnya “Apakah tak ada jalan lain, Prof?”
Aku masih penasaran sama tujuan Prof ini, kalo aku liat justru dia yang ngeledakin Bandung. Trus gimana caranya si aku ini bisa selamat? :p *banyak nanya* *pembaca kepo bin kritis*
Sudah bagus kok. Apa ada lanjutannya nih? Jadi penasaran mungkin bisa dikembangin lagi dengan penambahan konflik ya 😀
Telatkah saya komentar disinih?
Saya cuman ngasih komentar:
1. Udah bagus idenya, tinggal diasah dikit lagi aja, kurang greget
2. Di prolog kata “jakarta” perasaan belum berubah, masih “batavia”