Beragam Kepala dalam Talking Heads

Tina Weymouth baru-baru ini memiliki dua mimpi buruk tentang Talking Heads. Pertama dia bermimpi bahwa dia ketinggalan semua latihan untuk sebuah tur karena David Byrne mengiklankannya lewat koran. Ketika dia akhirnya tiba, ruangan itu penuh dengan musisi, setengah dari mereka adalah pemula di tiap instrumen. Byrne bertanya ke mana saja dia. “David,” katanya, “kamu kan tahu aku enggak baca koran.”

Kemudian dia bermimpi band naik panggung dan tak memainkan satu nada pun. Hanya berdiri. Setelah tiga lagu seperti ini, seluruh penonton bangkit dan pergi. Tina berkata, “Ya Tuhan, ini mengerikan! Pertunjukan yang sangat buruk! Kami bahkan enggak main satu nada pun!” Tetapi keesokan harinya semua surat kabar mengaguminya; para kritikus mengatakan pertunjukan itu brilian, sebuah penampilan jenius, secara konsep begitu sempurna.

“Bahkan dalam mimpiku,” jelas bassis yang bermuka bidadari namun masam itu, “David enggak bisa berbuat salah.”

*

“Aku belum pernah naik limusin ke CBGB sebelumnya,” kata suami dan kekasih Tina sejak kuliah, Chris Frantz. Sang drummer melihat ke sebuah jendela gelap di sebuah bangunan kumuh di Bowery New York. “Hei, ada apartemen lama Debbie Harry.”

Tapi Talking Heads hanya diam dalam sebagian besar perjalanan berhimpitan ini untuk pemotretan di bar yang telah membantu meluncurkan mereka sebelas tahun yang lalu. Ini Desember, dan mereka belum bekerja bersama sejak Maret, ketika mereka membuat beberapa video untuk album True Stories. Berarti, tidak sejak dirilisnya film sang vokalis David Byrne True Stories dan blitz media yang terjadi kemudian, yang ditutup oleh sebuah liputan Time yang menyebut Byrne sebagai “Rock’s Renaissance Man.”

Artikel itu mengutip komposer Philip Glass yang mengatakan, “Talking Heads akan berlanjut … [tetapi] bagi sebagian besar kita, adalah perkembangan David yang akan menjadi yang paling menarik.” Ada tanda-tanda yang diiyakan Byrne: grup ini belum rekaman bersama dalam satu setengah tahun juga belum bermain live dalam tiga tahun. Meskipun yang lain gatal ingin tur, Byrne tak berkomentar. Dan kelompok itu tampak tegang.

Sebelumnya, bersantai di sekitar studio fotografer, Frantz sedang membuka-buka koran. Dia berhenti di ulasan konser: “Hei, David, kau dipanggil seorang master di sini. Dengar. ‘Peter Gabriel dapat dibandingkan dengan hanya beberapa master lainnya – David Bowie dan David Byrne.'” Byrne tersenyum malu-malu dan melihat ke lantai. Weymouth berkata, dengan bercanda, “David Bowie, David Byrne, David Berkowitz.”

*

Ketegangan bukanlah hal baru bagi Talking Heads. Salahkan pada temperamen seniman – pemain keyboard-gitar Jerry Harrison dari jurusan seni di Harvard, yang lain dari Rhode Island School of Design (RISD) – tetapi sejak awal telah terjadi pertengkaran yang konstan di band ini: tentang input musik, tentang kredit, tentang perhatian pers, tentang sampul album, tentang kekuatan. Dan terakhir kali mereka memainkan konser, Byrne sangat jengkel oleh ketidaksempurnaan penampilan sehingga dia berjalan meninggalkan panggung tiga kali di tengah-tengah lagu.

Bahkan pose untuk pemotretan kali ini menjadi masalah. David ingin berbaju gemerlap; Jerry menyarankan David memainkan peran ayah, sementara tiga lainnya memakai popok. Tina, penggemar Bon Jovi, ingin berdandan sebagai band heavy-metal. Chris, seperti biasa, hanya ingin agar “menyenangkan – kami tidak ingin terlihat seperti Talking Heads yang lama.”

Jadi mereka akhirnya kembali ke Lower East Side di CBGB (ide Jerry), mengenakan sepatu bot kulit dan jaket yang mereka kenakan di sekolah seni (ide Tina), rambut Tina terlihat seperti di masa lalu. “Kami mulai dari awal lagi,” kata Tina, setengah ngajak gelut, setengah melankolis. Tidak ada yang menjawab; kata-katanya tampak terlalu akut. Di saat ini tidak ada jalan kembali; masa depan band sama tidak pastinya dengan setiap saat dalam sejarahnya. Selama hiatus, film Byrne dan proyek-proyek luar dengan jenis-jenis dunia seni seperti Karl Wilson, Twyla Tharp, dan Philip Glass membuatnya menjadi media kesayangan, jenis bintang rock yang dapat diterima The New York Times dan Esquire.

Bukan hanya publik yang mulai menganggap band sebagai “David Byrne dan Talking Heads.” “Kami terus memohon belas kasihan,” kata Tina, “tetapi David sendiri enggak bisa menyetop. Kenapa ini terjadi? Karena David menerima pujian atas semua yang pernah terjadi di Talking Heads. Dan kami membiarkan itu terjadi.”

talking heads

Pada awalnya, ketegangan dimanfaatkan dengan baik. Di bar yang kumuh dan penuh coretan inilah mereka keluar dengan kemeja dan celana tenis dan memainkan musik berirama mereka yang unik bagi kerumunan punk, vokal Byrne yang mengepal-ngepal dan suara band yang terpreteli bekerja melawan struktur lagu-lagu pop. Mereka bermain tiga hari di akhir pekan sebulan sekali, menukar set dengan serangkaian bakat New Wave yang akan segera beken seperti Patti Smith, Ramones, Blondie dan Television. Tetapi tidak seperti band-band itu, Talking Heads tidak memudar, tak tersangkut narkoba, terjebak dalam status kultus, mati gaya atau meledak dalam bentrokan ego. Mereka tetap bersatu ketika popularitas mereka perlahan-lahan tumbuh dan ketika suara mereka semakin dalam dari psiko-postfolk ke poliritme Afrika ke melodi sederhana baru-baru ini.

*

Mereka selamat dari ancaman Brian Eno, yang datang untuk memproduksi More Songs About Buildings and Food (1978). Pada saat Remain in Light (1980), ia dan Byrne telah merebut kepemimpinan band; yang lain, hanya jadi rekaman riff untuk loop tape, merasa terancam dan tidak berguna. Jadi setelah itu Frantz dan dua saudara perempuan Tina, menyebut diri mereka Tom Tom Club, membuat rekaman rap kulit putih konyol – yang segera terjual lebih banyak dari semua album Talking Heads sebelumnya. Harrison membuat album solo yang kurang dapat diakses, The Red and the Black.

Ketika kelompok itu berkumpul kembali, itu dengan sebuah keyakinan dan kemandirian baru. Pada tahun 1983, Talking Heads melakukan tur sebagai band yang terdiri dari sembilan anggota, yang terintegrasi secara seksual dan rasial; mereka menemukan cara untuk memadukan funk yang selalu mereka kagumi dengan keterasingan memabukkan yang telah menjadi citra mereka. Tetapi lebih dari sebelumnya, Byrne, dengan tarian-tariannya yang aneh dan primitif – segala kegugupan dan getar-getar, gerak-gerik dan aksi mematuk-matuk menuju katarsis – menjadi titik fokus kelompok itu. Dan selama minggu-minggu sebelum pembuatan film dokumenter konser mereka Stop Making Sense, Byrne menjadi begitu terobsesi dengan kesempurnaan sehingga ia akan mendorong anggota band ke posisi panggung yang tepat dan, alih-alih menyanyikan lirik, dia malah bersenandung, “Seseorang lupa mematikan lampu … “

Proyek band berikutnya adalah film Byrne, True Stories, sebuah fabel berlatar di Texas, berdasarkan kliping tabloid kacangan. Tetapi ketika naskah Byrne perlahan mulai terbentuk, ketiga Talking Heads lainnya menyadari bahwa tidak seperti membuat musik, tanggung jawab tidak dapat dibagi secara merata.

“Sangat jelas bahwa akan ada banyak sakit kepala dan banyak darah, keringat dan air mata,” kata Chris. “Pada akhirnya, film itu akan jadi film David. Kami tidak ingin menjalaninya. Maksudku, siapakah kami, pelahap hukuman? Keset depan pintu?” Dia tertawa.

Selama pembuatan film, tampak logis bahwa mereka bercabang lagi. Pasangan Frantz pindah ke Connecticut dan mengerjakan album Tom Tom Club ketiga; Harrison pulang ke Milwaukee, memproduksi album untuk Violent Femmes dan memulai album solo kedua. Tetapi tidak seperti Byrne, yang lain harus berpikir dua kali tentang di mana mereka mengikuti muse mereka. Seperti yang dikatakan Harrison, “Ketika David bikin rekaman di luar band, jadi semacam keharusan buat ia menjadikannya nonkomersial. Itu hanya akan menambah kemistikannya. Dia sudah diberi bagian terbesar dari kredit untuk Talking Heads menjadi komersial. Sedangkan Chris, Tina atau aku, kami punya agenda yang berbeda. Agar kami terus bikin rekaman, mereka harus punya kehidupan komersial.”

*

Photo of Talking Heads
Talking Heads di Hollywood, 1977

Mereka terputus pada musim semi 1985, ketika Byrne meminta mereka untuk masuk dan merekam lagu-lagu baru yang tidak biasa dan melodis yang ditulisnya, yang setengahnya akan menjadi trek instrumental untuk lagu-lagu yang akan dinyanyikan oleh aktor di filmnya, sisanya akan dirilis sebagai album studio bernama Little Creatures.

“Idenya tidak turun dengan baik,” aku Byrne, “tetapi kemudian cukup banyak orang menyukai lagu-lagunya.” Yang lain merasa Talking Heads harus menjadi prioritas pertama. “Lagu-lagu itu enggak benar-benar album Talking Heads,” kata Tina. “Lagu-lagunya menyenangkan untuk dimainkan, diselesaikan dengan sangat tulus, tapi itu cuma “Mari kita mainkan apa saja agar kita bisa jadi band lagi.'”

Sementara mereka berlatih, Byrne mengatakan kepada mereka bahwa The New York Times sedang meliput band. “Itu sebuah masalah yang sangat besar,” kenang Chris. “Kami menghabiskan waktu berjam-jam dengan orang ini dan pergi ke sesi foto ini, tak tahu kalau sehari sebelumnya, David punya sesi terpisah dengan fotografer yang sama. Kami diberi tahu kapan artikel itu keluar, jadi kami pergi ke kios untuk membelinya, dan inilah artikel tentang David dan betapa jeniusnya dia [“Thinking Man’s Rock Star,” 5 Mei 1985]. Maksudku, ada foto kami dan beberapa kutipan, tapi tetap saja itu culas! Aku praktis memukulnya, aku sangat marah!”

Byrne mengingatnya secara berbeda – dia mengatakan anggota band yang lain tahu bahwa liputan itu akan fokus padanya. Tetap saja, kata Chris, “perasaan kami terluka, dan ketika mulai bekerja dengan orang-orang, dan Anda melukai perasaan mereka, Anda dalam masalah.”

Kembali ke masa-masa sebelumnya, di hari-hari yang lebih tenang, band memandang Lou Reed sebagai semacam santo pelindung. Dia memberikan saran seperti “Cari berbagai dinamika dalam lagu-lagu kalian” atau “David harus pakai lengan panjang – tangannya terlalu berbulu.” Dan peringatan yang lebih mendalam, yang masih diingat band sampai saat ini. Chris: “Lou Reed pernah memberi tahu kami, ‘Ya ampun, aku harus pergi tur lagi. Orang-orang ingin melihat sosok.'” Tina: “Dia memberi tahu kami, ‘Sebuah band seperti sebuah kepalan dengan banyak jari. Sedangkan perusahaan rekaman suka memijat ego satu jari dan memutusnya.’”

*

“Waaah!” Marshall Egan Frantz yang berusia tiga bulan mulai meratap. Ibunya, dengan mata biru si pembunuh, mengangkat dan memeluk lima belas pound miliknya itu. “Bayi yang malang!” katanya. “Ini adalah waktu rewel-rewelnya,” akhirnya dia mengasuhnya sepanjang wawancara; dia mengenakan atasan gemerlap dan rok kulit yang dibuatnya pada tahun 1974. Marshall Egan memiliki saudara lelaki, Robin, 4 tahun. Tina, 36, berencana memiliki lebih banyak dan membawa mereka semua ke jalan: “Bepergian adalah pendidikan terbaik yang ada,” dia berkata. Dia sudah tahu. Sebagai seorang anak tentara, dia sering berpindah-pindah – Eropa, Amerika Serikat bagian timur dan barat. Kami berbicara di loteng Jerry Harrison sementara Chris menjelajahi SoHo.

Martina Weymouth adalah Talking Heads yang paling blak-blakan: ketika saya memperkenalkan diri, dia tersenyum dengan malu-malu dan bertanya, “Mana beliungmu?” Untuk bergabung dengan band, ia mempelajari instrumennya dari awal. Ketika band itu masih trio, dia menimbulkan ketegangan karena menerima liputan pers sebanyak Byrne, karena menjadi seorang wanita di sebuah band rock & roll yang tak bernyanyi atau berputar-putar.

Beberapa bulan setelah album pertama band keluar, pada musim panas 1977, Chris dan Tina menikah. Mereka mempersingkat bulan madu mereka – berkeliling di sekitar motel seharga lima belas dolar di pantai Georgia – untuk pertunjukan besar pertama Talking Heads, dibuka oleh Bryan Ferry di Bottom Line, di New York. Sebelum itu, band telah main di berbagai tempat yang memberi bayaran, termasuk Beefsteak Charlie’s, dan David, Chris dan Tina berbagi apartemen di Chrystie Street, di ujung jalan dari CBGB.

Saat ini Tina dan Chris tinggal di sebuah pertanian dengan sebuah kolam yang oleh bocah-bocah setempat disebut Danau Talking Heads. Mereka juga memiliki apartemen kecil di Bahama: mereka pergi ke sana untuk berlayar. Tapi yang mereka inginkan hanyalah tur.

“Aku telah bikin tujuh album dan dua bayi dalam lima tahun terakhir,” kata Tina, “tetapi itu enggak sama dengan tur. Ada sesuatu yang sangat positif tentang hal itu …. Bukan karena kamu bakal disanjung, tetapi kamu merasa bersemangat dan sepenuhnya utuh.”

*

Tina mungkin mulai menulis untuk Talking Heads. Dua album terakhir ini, katanya, “Aku menjadi sangat tegang tentang ide-ideku. Aku enggak mau menawarkan apa pun yang akan menjadi kredit orang lain. Dan Chris dan aku juga sedang menyelesaikan berbagai persoalan, yang muncul karena keteledoran, hanya dengan bersenang-senang.”

Dengan menjadi “orang-orang yang ramah”?

“Ya,” katanya lembut, dengan sedikit tepi. “Dengan menjadi orang yang ramah. Dengan menjadi yang adil. Dengan menjadi yang setia. Dengan menjadi orang yang tak ingin menghancurkan hati siapa pun. Dan karena kami berdua, kami tak ingin membanjiri satu orang pun. Kami tidak berpikir itu adil. Tapi itu sudah berakhir sekarang. Ini salahku, sama seperti orang lain, karena aku membiarkan semua ini terjadi. Sudah diatasi, tetapi kerusakan telah terjadi. Seperti halnya cinta pertama, ketika terjadi perkelahian pertama, ada rasa pengkhianatan. Satu-satunya tempat untuk pergi dari sana adalah menjadi jauh lebih dewasa. Tapi kepolosan telah hilang.

“Aku tidak membenci siapa pun di band kami. Saat aku di panggung, aku jatuh cinta dengan semua orang di panggung itu. Apa pun yang terjadi di luarnya terasa kecil jika dibandingkan.”

Namun, itu berarti Tina belum jatuh cinta dengan semua orang dalam tiga tahun ini.

*

“Hei, Jerry!” Seseorang berteriak di jalan Soho. Jerry Harrison melihat dari balik pundaknya untuk kemudian dijepret. Sang fotografer meneriakkan sesuatu; Jerry, 37, tersenyum palsu dan mengangguk, lalu berbalik. “Apa itu?” dia bertanya-tanya. “Kupikir faktor pengakuan hanya masalah bagi David dan Tina.”

Apartemen baru Harrison, seperti hidupnya, semuanya hancur berantakan. Kedua orang tuanya meninggal baru-baru ini, dan dia pulang ke Milwaukee untuk sementara waktu dan terus mengerjakan album solo keduanya, Man with a Gun. Dia mulai berkencan dengan asisten studio Carol Baxter, yang kembali bersamanya ke New York; mereka mengharapkan bayi di bulan Maret. Dia mengenakan celana jins dan kaos, dan rambutnya, seperti biasa, adalah kekacauan yang tak disisir.

Tesis sarjana Harrison di Harvard terdiri dari lukisan dan patung, serta esai setebal enam puluh halaman, tentang pembuka kaleng. Dia merasa beruntung bisa meloloskan diri dengan dorongan kreatif apa pun. Setelah beberapa tahun bermain dengan Jonathan Richman di Modern Lovers, Harrison mengajar seni di Harvard dan kemudian mendaftar di sekolah arsitektur. Tetapi “aku tidak benar-benar ingin menjadi seorang arsitek. Aku enggak suka politiknya. Kau bikin bangunan dengan uang orang lain, dan siapa yang punya uang? Orang kaya dan pemerintah. Dengan rekaman, enggak ada yang asli. Enggak ada satu lukisan pun yang bisa dibeli seseorang dengan uang lebih banyak; semuanya dicetak. Siapa pun dapat membelinya. Mereka bahkan dapat mendengarnya gratis – di radio. “

Tetapi mereka tidak dapat mendengarnya jika band terlalu sibuk berjuang untuk merekam. “Orang-orang menganggap band sebagai milik David,” kata Harrison. “Itu enggak benar, tapi dia melakukan banyak hal, dan hal terburuk yang dapat kamu lakukan adalah duduk dan menggerutu tentang hal itu. Di semua band vokalis mendapat perhatian besar. Lihatlah Stones. Itu menjadi Mick Jagger dan Stones, tak peduli seberapa banyak yang tahu bahwa ada juga Keith Richards. . . .

“Tetap saja, ada sesuatu yang tak dilarang untuk publisitas film ini. Jika ada sesuatu yang selalu dibicarakan oleh Talking Heads, itu adalah pengekangan. Kami selalu berdiri untuk menjadi diri kami sendiri. Manusia. Banyak band yang berurusan dengan fantasi. Enggak ada yang salah dengan itu, tapi itu bukan niat kami. Kau bisa mulai memercayai fantasi tentang dirimu, dan sebagai seorang seniman, ia bisa cepat aus.

“David punya begitu banyak tekanan sekarang sehingga dia mulai mengambil gambar yang lebih besar dari kehidupan. Jika orang-orang memiliki pandangan yang melambung tentang dirimu, mereka mendengarkan kreasimu berikutnya dan bertanya, “Apakah ini hebat?” Itu kadang-kadang terjadi.”

*

Chris membelikan Wah-Wah untuk Tina di Manny’s, sebuah toko musik di Manhattan, yang dindingnya dipenuhi dengan foto-foto pelanggan terkenal. “Ketika kami mulai ngeband,” kata Chris, “aku dulu datang ke sini dan menatap foto-foto – ‘Wow, bung, Byrds!'”

Dia menemukan satu set drum mini dan memesan satu sebagai hadiah natal buat Robin. Robin ingin yang warna merah berkilau tetapi harus puas dengan merah marun. Robin suka bermain, tetapi dia tak bisa menjangkau drum Papa.

Bagaimana dengan bass?

“Enggak,” kata Chris, menjelaskan, “dia mengatakan kalau itu buat anak perempuan.”

Chris, 35 tahun, berbagi tugas orang tua dengan Tina, tetapi dia mengatakan ketika dia membawa Robin ke taman bermain, “semua wanita menatapku aneh – ‘Apakah pria ini tak punya pekerjaan?'” Ketika Tina hamil, Chris makin gemuk daripada Tina, dan Chris sampai puasa beberapa hari. Chris ada di studio mengerjakan album Tom Tom Club berikutnya, lengkap dengan gitar flamenco dan riff heavy-metal. Dia bahkan berencana menyanyikan beberapa lagu.

“Aku pikir akan sangat lucu jika aku bernyanyi di album Talking Heads. Tapi tahukah kamu? Mungkin akan terjadi suatu hari jika kita terus melakukannya. Ringo belakangan bernyanyi, lebih dari yang diingat orang. Aku baru saja mendengar ‘With a Little Help from My Friends.’ Itu lagu yang bagus.”

Seperti Tina, Chris adalah anak dari tentara yang sering pindah-pindah – Kentucky, Virginia, sekolah menengah di Pittsburgh. Seperti Tina, lukisan Chris di RISD adalah abstrak besar. “Aku sudah bilang pada Tina bahwa kita harus mulai melukis lagi. Terutama karena kita berada di zaman ketika kita masih dianggap sebagai pelukis muda!” Chris suka menunjukkan betapa berpengaruh musik Talking Heads, tetapi mengatakan, “Mari kita hadapi itu, mereka tak menyebutnya sebagai ‘bermain’ musik ketika tidak ada apa-apa.” Dia tertawa dengan gelisah. “Aku agak hidup,” akunya, “untuk kejutan-kejutan menyenangkan.” Seperti keberhasilan Tom Tom Club. Itu memberi Chris dan Tina “pengaruh lebih sedikit, tak hanya dengan Talking Heads tetapi dalam citra publik kita atau harga diri kita sendiri.”

Chris, yang menyaingi Byrne dalam Talking Heads Paling Gelisah, sangat ingin melakukan tur. “Aku suka bermain. Aku benar-benar ingin berada di luar sana dan boogie untuk sementara waktu. Seseorang mengatakan tur terakhir itu seperti melewati batu ginjal setiap malam; David akan mengamuk dan mulai melempar orang. Itu sebabnya aku mendorongnya untuk melakukan sesuatu yang sederhana. Ini akan sama menyenangkannya bagi semua orang, dan lebih menyenangkan bagi kami.

“Jalanan adalah tempat reputasi David dibangun, dan. . . Begini: banyak penonton David Byrne enggak berhubungan dengan filmnya seperti yang mereka lakukan ketika dia melakukan ‘da-da-da-da’ [Chris memukul dahinya empat kali]. Aku pernah melihat orang-orang keluar. Ketika kamu berada di sampul Time, dan ada banyak promosi, kamu perlahan tapi pasti mulai kehilangan pengikut akar rumputmu. Jika seorang politisi ada di sampul Time, kau berhenti percaya padanya. Dan album ini terjual kurang dari Little Creatures. Aku benci untuk menebak-nebak, tapi …

“David sangat ambisius. Dan itu keren. Aku enggak ingin terlalu emosional tentang hal itu. Aku dibuat merasa seperti orang yang kurang berprestasi, padahal enggak.

“Satu hal yang sangat disayangkan tentang David melakukan untuk dirinya sendiri – yang adalah gayanya sekarang – adalah bahwa satu-satunya alasan kami melakukan tur adalah karena dia perlu, demi citranya, kau tahu?”

*

“Lihatlah pria dengan sapu itu!” kata David Byrne, tertawa terbahak-bahak. Dia berada di gedung yang gelap di Alice Tully Hall di Lincoln Center, mengawasi gladi resik perdana The Knee Plays di New York, kolaborasi teatrikalnya dengan Robert Wilson. Di atas panggung, di belakang sepuluh penari mempraktekkan pentas mereka, seorang penjaga menyapu dengan keapikan tak sadar seperti mendekati seni pertunjukan. Byrne, 34 tahun, mengamati ini dan tergelitik tetapi tidak merendahkan. Ini mirip dengan sudut pandang True Stories, sebuah film yang sangat ringkas sehingga mencerminkan apa pun yang diangga penonton.

Hal yang sama dapat dikatakan untuk Byrne sendiri. Bukannya dia seekor bunglon, tapi campuran ego dan rasa malu, semacam roman datar Warholian, memungkinkan orang untuk membengkokkannya agar sesuai dengan prasangka mereka. Lahir di Skotlandia, dibesarkan di Baltimore, Byrne tampaknya bersedia menjawab pertanyaan tetapi tidak mau menggali lebih dalam. Banyak yang menyebut ini tidak emosional; entah kenapa lebih seperti. . .ditekan.

Tina terkejut ketika pertama kali melihatnya mengamuk. Dia pulang ke apartemen Chrystie Street dan menemukan sebuah radio jam hancur berkeping-keping. Tina bertanya kepadanya, “Kamu yang melakukan ini?” Byrne bergumam, “Yup.” Tina bertanya, “Marah akan sesuatu?” Dan dia berkata, “Yup. Lagipula itu sudah rusak.” David marah, memutuskan untuk memecahkan sesuatu tetapi memutuskan untuk memecahkan sesuatu yang sudah rusak. “Aku berharap semua orang bisa mengamuk seperti itu,” kata Tina.

Di RISD, yang ia hentikan di tahun pertamanya, ia menampilkan pertunjukan satu orang, terkadang memainkan ukulele. Dia akan menyanyikan lagu-lagu berdasarkan jawaban terhadap kuesioner yang dia bagikan kepada audiensnya atau membaca transkrip permainan-pertunjukan sebagai teater.

“Dia benar-benar persona, tetapi dia adalah persona yang sangat menarik,” kata Chris. “Butuh waktu lama bagi David untuk keluar dari cangkangnya.”

Hari ini, di gladi resik, Byrne mengenakan suspender emas-dan-hitam, kerah putih dan kardigan abu-abu. Dia menonton band kekuning-kuningan dengan susunan musik jenaka sementara instrumen di atas panggung berkisar dari yang memukau hingga yang pretensius: boneka, tarian Kabuki, alegori tentang imperialisme dan keranjang anyaman untuk menari.

Setelah memberikan catatan kepada para pemain dan kru, Byrne dan pacarnya selama lima tahun, perancang busana Adelle Lutz (ia melengkapi peragaan busana surealis di True Stories,) berlari melintasi jalan menuju kedai kopi. Saat dia berbicara, mata Byrne terus melesat di sekitar ruangan.

Byrne telah membaca beberapa artikel tentang dirinya. “Ini jadi sedikit membosankan membaca bahwa kau dari luar angkasa atau bagaimana kau sering kejang dan harus disingkirkan. Tapi aku tak bisa mengeluh. Maksudku, setidaknya mereka masih menulis.”

Ulasan Time lebih mempengaruhi yang lain ketimbang mempengaruhi Byrne. “Perlahan, aku telah melihat efeknya. Orang lain berpikir kau bisa menjadi pelopor, berjalan ke restoran dan menjadi bos bagi orang-orang di sekitar. Mereka terus melihatmu untuk melihat apakah kamu sudah berubah. Tak ada yang bisa dilihat.

“Itu selalu menggangguku bahwa diriku harus melekat padanya – kau tahu, menempatkan wajah band di sampul rekaman. Itu yang umumnya dilakukan, tetapi itu membingungkan musik dengan fitur wajah seseorang.”

Namun, Byrne menganggap publisitas bermanfaat. “Kau ingin menjangkau orang yang belum kau jangkau sebelumnya. Ini adalah dorongan yang sama yang membuat kami bermain di depan audiensi. Seaneh apapun kami, tak pernah diarahkan untuk menjauhkan orang. Aku benar-benar nyaman dengan cara berpikir seperti itu sejak awal. Beberapa orang yang mendekati musik pop sebagai seni menemukan ini sebagai ide yang aneh.” Bukannya dia berpikir itu bukan seni. “Ya, tapi aku pikir orang-orang harus menyukai seni – menikmati karena terkejut, bingung. Kau tak ingin mereka pergi begitu saja.”

Byrne tidak terlempar oleh saran Philip Glass bahwa karyanya di luar band lebih menarik. “Aku tahu apa maksudnya, tapi. . . bagiku, lagu-lagu pop adalah musik rakyat dari negara-negara teknologi tinggi. Sejauh ini, aku merasa jika aku ingin merekam lagu, Talking Heads adalah saranaku untuk itu.”

Bagaimana dengan persepsi bahwa itu adalah David Byrne dan Talking Heads, yang bertentangan dengan, katakanlah, The Beatles? “The Beatles adalah mitos yang bagus yang ingin dipercayai semua orang di tahun 60-an, bahwa ada lembaga egaliter yang indah, demokratis, dan egaliter. Itu tak benar waktu itu, dan itu tak benar sekarang…. Karena ini adalah kolaborasi, tak peduli bagaimana kau mengatasinya, semua orang merasa tersangkut dalam beberapa cara. Kau hanya berharap ketidaksetaraan bisa disingkirkan.”

Byrne berhenti ketika ditanya apakah band itu hampir bubar. “Tak juga. Terkadang kami memiliki ketidaksetujuan atau pertengkaran, biasanya tentang hal-hal yang benar-benar tak penting. Ketika kami berkumpul dan membuat musik, kami rukun, itulah yang kami bicarakan.”

Jerry dan Tina ingin band untuk melakukan tur terlebih dahulu. Chris ingin merekam album sebagai pendukungnya. Tetapi David berpikir untuk membuat film lain; dia rupanya menderita demam Sang Manusia Renaissance, yang mungkin sulit untuk diguncang di era ketika Emilio Estevez dianggap sebagai auteur. Dia tidak akan tur kecuali berbeda dan lebih baik dari Stop Making Sense. Ini membuat Harrison frustrasi, yang merasa bahwa “musik kami berdiri sendiri. Orang-orang menikmati rekaman kami dan ingin melihat kami bermain.”

“Kami akan kehilangan seluruh audiens kami jika kami tidak melakukan tur,” kata Tina. Jika tidak ada yang lain, Tom Tom Club akan melakukan tur dengan Harrison, tetapi itu sepertinya pilihan terakhir. Ketika ketiganya bertanya pada Byrne tentang tur, ia menyarankan agar aktor datang di atas panggung di antara lagu-lagu. “Bahkan aktor yang aku ajak bicara tidak mau melakukan itu,” kata Tina. “Itu akan . . . menarik, tapi ini mendekati mimpi burukku.”

Byrne harus mengatasi rasa takut tertentu di atas panggung. “Ini menakutkan,” kata Tina, “karena dia masih bocah. Aku punya anak berusia empat tahun di rumah. Tak banyak perbedaan. Kau enggak dapat memintanya untuk melakukannya karena kewajiban atau tugas atau cinta atau uang, tetapi karena itu adalah keinginannya sendiri. Seiring waktu, itu berhenti menjadi keinginannya sendiri untuk David.

“Jerry berpikir karena David bosan, tapi aku pikir itu karena dia ingin menjadi begitu sempurna. Terkadang orang bosan – bagaimana aku harus mengatakannya? Mencari yang tinggi-tinggi dan kemudian tak menemukannya. Apakah itu dalam obat, atau apakah itu dalam kesempurnaan karya atau seni . . . Kedengarannya bodoh untuk mengatakan itu tumbuh dewasa, tapi memang begitu. Sebuah band tumbuh.”

Band berdesakan di ruang yang dulunya dapur di CBGB; yang tersisa hanyalah kap gas buang dan lampu pijar. Setiap inci ditutupi dengan grafiti. Mereka merebahkan diri di sofa vinil; Byrne berdiri di atas mereka dan mulai menguraikan grafiti dari langit-langit: “The Senile Delinquents! Ha-ha-ha.” Yang lain mulai cair, dan mereka tertawa bersama.

Byrne tampaknya paling nyaman berpose; dia telah melakukan lebih banyak dan tahu bagaimana menggunakan penampilannya yang aneh dan culun. Pada satu titik, dia berbalik ke samping dan menatap kamera. Chris menatapnya dan berkata, “Hei, persis seperti potret Washington yang melintasi Delaware.” Semua orang tertawa.

Beberapa hari setelah syuting, Tina menelepon untuk mengatakan dia dan Chris telah mengantri sesi rekaman: Tom Tom Club akan memainkan “Femme Fatale” dari Velvet Underground dan Lou sebagai penyanyi pendukung dan bermain gitar, dan Jerry dan David juga akan bermain. “Suasana hati kami begitu hangat,” jelasnya, “saling bertemu lagi setelah tercerai berai.” Talking Heads satu unit lagi. Dan meskipun Byrne tampak seperti jendral yang menjulang tinggi di atas pasukannya, menyeberangi Delaware dengan perahu dayung yang goyang, tampaknya dia tidak lupa siapa yang membawanya ke sungai dan mengarahkannya melalui perairan yang bergelombang dan berombak.

*

Diterjemahkan dari artikel Rolling Stone berjudul Are Four (Talking) Heads Better Than One? pada 15 Januari 1987 oleh David Handelman. Tentang ketegangan yang terjadi dalam Talking Heads, karena ego seniman tiap kepala dan yang paling jadi biang keladi adalah sang vokalis David Byrne. Band ini akhirnya resmi bubar pada 1991.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1925

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *