Aku suka baca banyak buku sebelum debutku, ungkap Rap Monster. Apa ada buku yang sudah kamu baca lalu ingin kamu rekomendasikan buat kami? tanya Jeon Hyunmoo, dalam sebuah acara bincang-bincang Problematic Men. Ada banyak pendapat yang berbeda tentang buku ini, jelas Rap Monster, yakni karya Ryu Murakami, Almost Transparent Blue.
Rap Monster, nama panggung dari Kim Namjoon, adalah member BTS yang memang dikenal sebagai kutu buku. Transparent Blue? ulang Hyunmoo memastikan. Ya, jawab si rapper, ini karya debutnya. Apakah novelnya cabul? tanya Hyunmoo. Ya, sangat cabul dan sia-sia dan campur aduk tapi setelah membaca buku itu…. bagaimana aku harus mengatakannya, jelas Rap Monster ragu. Apakah kamu menyukainya? tanya Hyunmoo. Aku mendapat kepuasan tersendiri, jawab Rap Monster dengan lugas.
Almost Transparent Blue sendiri, adalah novel tanpa plot, namun membacanya seperti naik roller coaster, juga seperti nonton JAV, hanya soal gejolak masa muda blangsak: mabuk-mabukan, persetubuhan yang bengis, dan rock n roll. Saya terkejut, sekaligus kagum, ada idol yang buku favoritnya novel beginian.
| Baca juga: Rekomendasi 7 Novel Ryu Murakami
Selain itu, berkat Rap Monster, saya, juga jutaan fans BTS lainnya, jadi tertarik membaca novel dari Hermann Hesse gara-gara dijadikan inspirasi buat lagu terbaru mereka. Ada pesan masuk di WhatsApp: Ip, ada buku Herman Hesse? Demian dan Sinclair? Rek pinjam. Ebook sih, jawab saya. Gara-gara BTS nyak? terka saya.
Awalnya saya hanya melihat resensi Demian: The Story of Emil Sinclair’s Youth, dan menemukan istilah Bildungsroman. Definisinya, genre sastra ini berfokus pada pertumbuhan psikologis dan moral protagonis menuju kedewasaan, menekankan pada perubahan karakter. Nama lainnya coming-of-age, tapi ada yang menggolongkan sebagai sub-genre yang lebih spesifik lagi dari coming of age. Mengesampingkan soal teorisasi dan teknis soal genre tersebut, sejauh ini, novel macam beginilah yang paling saya sukai. Untuk saat ini.
Saya mengkhatamkan novel dari Hesse ini, dan memang menikmatinya, saya merasakan ada kesamaan dengan A Portrait of the Artist as a Young Man, dari James Joyce. Genre ini sering menampilkan konflik batin antara si karakter utama dengan masyarakat.
Beberapa contoh novel yang masuk golongan Bildungsroman antara lain:
- Candide (Voltaire)
- Great Expectations (Charles Dickens)
- The Adventures of Huckleberry Finn (Mark Twain)
- The Magic Mountain (Thomas Mann)
- The Catcher in the Rye (J. D. Salinger)
- To Kill a Mockingbird (Harper Lee)
- Norwegian Wood (Haruki Murakami)
- Sophie’s World (Jostein Gaarder)
- The Kite Runner (Khaled Hosseini)
- Never Let Me Go (Kazuo Ishiguro)
Membaca beragam novel tadi, meski dengan latar yang jauh dan lampu, justru terasa begitu dekat. Saya sering berpikir kalau si pengarang menuliskannya langsung buat saya. Enggak pernah bosan untuk melahap beragam buku bergenre ini. Namun seperti yang dirasakan Emil Sinclair, buku-buku hanya jadi lembar kertas, musik hanya jadi bising.
Kedengaran melodramatik, lebih tepatnya cengeng, karena boleh dibilang saya menganggap diri sebagai protagonis dalam sebuah novel bildungsroman. Seorang anak muda, naif, pretensius, penuh idealisme, yang kebanyakan cuma omong besar dan omong kosong, yang kudu menghadapi dunia nyata yang berbeda dengan bayangannya. Juga tentang pertanyaan akan berbagai konsepsi umum, tujuan hidup, nilai benar salah, moralitas, kemanusiaan, dan lain-lain, dan banyak lainnya.
Kemudian timbul keenggakpahaman dan penolakan. Idealisasi itu terbentur sesuatu yang dinamakan “dunia nyata”, dan makin menyiksa karena sekarang saya hidup di masa modern, di era kapitalisme lanjut. Seperti yang digambarkan Ryu Murakami dalam 69; “Semua ini adalah sebuah pabrik, rumah penyortiran. Kita tidak berbeda dari anjing dan babi dan sapi: kita semua diizinkan untuk bermain ketika kita masih bocah, tapi kemudian, tepat sebelum mencapai kematangan, kita disortir dan diklasifikasikan.”
Ingin memberontak, mendobrak beragam hal, dan, untuk kasus saya, hanya berakhir untuk mengasihani diri. Ini seperti Alice yang nyasar di Wonderland, lalu bertanya, Ke mana saya harus pergi? Si kucing menimpali, Itu tergantung di mana kamu ingin berakhir. Bingung terus menjadi, semakin bertambah. Demian terus merecoki. Muncul isi kepala Emil Sinclair: Di luar sana adalah “kenyataan”; Di luar sana adalah “kenyataan”; di luar sana jalanan dan gedung-gedung, orang-orang dan institusi-institusi, perpustakaan-perpustakaan dan ruang-ruang kuliah – tapi di dalam sini ada cahaya, dan jiwa; tempat mimpi-mimpi dan dongeng terus hidup.
(Ternyata komen sebelumnya dimoderasi gara-gara salah akun. Saya komen ulang sajalah kalau begitu)
Saya juga tertarik dengan Demian gara-gara heboh di Twitter (dan mencoba menonton short filmnya BTS karena hal yang sama meski tak kenal personil-personilnya).
Setuju kalau novel coming of age ini seperti dituliskan untuk pembacanya. Protagonisnya idealis dan punya mimpi-mimpi besar, tapi mimpi-mimpi itu terpaksa harus bertabrakan dengan kenyataan. Paling tidak itu yang saya rasakan walaupun baru baca sedikit dari judul-judul yang disebutkan di atas.
Makasih sudah menulis catatan ini 🙂
Ya karena dramatisasi dan romantisasi si pembaca aja, apalagi ada pandangan dan insiden yang menimpa kita itu seperti dalam cerita, pastinya ini yg bikin kita jadi sentimentil. Saya juga ga terlalu kenal BTS sih, lebih sebagai fans EXO, hehe.
Novelnya sudah ada di Gramedia kah mas?…saya jadi tertarik baca
Novel yg mana? Demian sendiri bisa dibaca onlen di http://www.decemberdaisy.net/2016/09/terjemahan-demian-cerita-dari-masa-muda.html
Kalau novel yg masuk bildungsroman dan disebutin di atas sebagian udah ada terjemahannya. Saya sendiri udah jarang beli buku di Gramed sih.
makasih mas
saya suka tulisan ini! apalagi beberapa kalimat terakhir, “-tapi di dalam sini ada cahaya, dan jiwa; tempat mimpi-mimpi dan dongeng terus hidup.”
sempat cari arti bildungsroman, dan langsung kepiikir fifty shades of grey. nvel itu masuk nggak ya? hehe
Saya belum baca atau nonton sih, jadi ga bisa nentuin. Tapi kalau boleh sok tahu, ini dari cuma ngeliat resensinya, si Ana ini bisa dibilang tokoh yg lagi menuju dewasa, tapi kalau untuk disebut coming of age, enggak sih. Hehe, ga tau ya.
Rip, warna font di sini emang gini yak? Kok aku baca pakek lappy warnanya pudar yak. Maaf OOT. ._.
Iya emang abu-abu, dari temanya gitu
Mongomong soal gesekan antara idealita dan dunia nyata, baca buku2 agama juga bisa kasih efek gitu enggak sih (*walau tentu aja beda2 bagi tiap orang)? Hal2 yang diidealkan dl agama, dl realitanya banyak yang enggak sesuai dan pilihannya antara dicap ekstremis/fundamentalis/teroris, atau jadi konformis (poin2 dl agama disesuaikan supaya mendukung kepentingan dunia dan bukan sebaliknya).
Nah, ini salah satu pertanyaan saya. Beberapa hari lalu sempet diskusi sama temen yg dari sejarah Islam, pertanyaan awalnya sih soal sastra Arab yg mandek karena munculnya Islam, yg menganggap Al-Quran sebagai sastra tertinggi, bahwa para penyair akan dimasukan neraka. Nah, masuk ke bahasan soal berpikir subversif, bahwa ini aslinya sesuatu yg terlarang. Jujur, masih bingung sih, dan nampaknya ini pertanyaan yg udah ada sejak dulu. Tentang konservatif vs sekuler. Kok bisa ada beragam tafsiran akan wahyu Allah, sih? Kenapa dikasih kebebasan berpikir kalau harus dibatasi?
Untuk sekarang, kalau boleh dicap, buat gampangnya, kelihatan saya seorang liberal, sholat ya sebagai formalitas buat mengobati kehampaan, udah setara kayak ngidol nonton Youtube. Ini juga lagi baca Pergolakan Pemikiran Islam-nya Ahmad Wahib, dan makin banyak pertanyaan lain.
Pernah coba baca Pergolakan Pemikiran Islam, tapi baru beberapa halaman enggak kuat, hahaha … belum kuat iman.
Sama, bingung sih, coba baca buku agama sebanyak2nya, tapi mengenai satu agama itu aja antara dua buku setema belum tentu senada (ya itu tadi, ibarat ngebandingin Ahmad Wahib sama Sayyid Qutb kali, ya), malah bisa jadi berseberangan.
Banyak2 baca teh adakalanya malah bikin ngerasa semakin berjarak dg dunia nyata, apalagi baca buku agama yang ‘ideal’nya jadi landasan. Padahal, katanya mah, membaca buku, khususnya karya fiksi, bisa meningkatkan empati. Kan asa ironis gitu. Kalaupun membaca fiksi itu “haram”, bukannya dari situ juga kita bisa narik banyak hikmah, seperti yang diperintahkan agama?
Udah baca Pesan Alquran untuk Sastrawan (Aguk Irawan, terbitan Jalasutra)? Itu kayaknya nyambung sama bahasan dg temen kamu.
Saya aslinya dari lingkungan Persis, yg paling keras soal bidah, sekarang pun masih suka ikut pengajian di kampung, sih. Saat kuliah, boleh dibilang saya anak masjid, rajin ikut liqo. Tapi segalanya berubah gara-gara baca Nietzsche.
Ya, soal banyak baca fiksi makin meningkatkan empati juga jadi pertanyaan, yg saya alami justru makin jadi snob. Ya contohnya orang yg ngaku intelektual kalau komentar pasti ngomongnya: makanya banyak baca biar ga goblog.
Oh ya, soal ngobrol sama temen saya itu, salah satu bahasan dari pos Eka Kurniawan tentang Adonis ini: http://ekakurniawan.net/blog/adonis-528.php
Cuma pengen kasih garis bawah:
“Ke mana saya aku harus pergi?”
“Itu tergantung pada di mana kamu ingin berakhir.”
Ehemmm… Agak-agak tertohok oleh kalimat ini.
Makasih untuk knowledge yang baru lagi buat aku.
Anak muda sekarang khayalan nya tinggi tapi banyak yang menyerah saat menghadapi realita. Di korea banyak anak muda bunuh diri karena ngak sanggup menghadapipersaingan