Di suatu waktu yang hampir terlupa, saya memulai perjalanan menulis di blog. Era itu, akhir 2000-an sampai awal 2010-an, adalah masa ketika nama Raditya Dika menjadi acuan. Bukan hanya karena dia melambungkan namanya lewat cerita kocak sehari-hari, tetapi juga karena di tangannya, tulisan di blog bisa mewujud jadi buku
Blog di masa itu bukan sekadar laman di internet. Ia adalah ruang untuk berteriak dalam senyap, untuk berbagi tanpa pretensi. Saat media sosial belum sedominan sekarang, blog adalah medium yang utuh, tempat di mana seseorang bisa berbicara panjang lebar tanpa takut terpotong atau terselip di antara barisan status dan feed tak berujung.
Pada Awalnya Adalah Kata
Blog menjadi oase bagi mereka yang ingin mengungkapkan emosi, keseharian, atau sekadar melepaskan kebosanan. Menulis di blog adalah kenikmatan tersendiri, bukan sekadar karena dibaca orang lain, tetapi karena ia menjadi ruang refleksi dan pelarian dari dunia yang sering kali terlalu riuh.
Bagi sebagian orang, blog adalah taman bermain. Tempat mengekspresikan kepakaran, obsesi, atau bahkan kegelisahan. Menulis bukan karena ingin menjadi viral atau dihujani sponsor, tapi karena menulis itu sendiri adalah kebutuhan.
Blog kala itu bahkan bisa dianggap bagian dari jurnalisme warga—gerakan tanpa bendera, tapi penuh makna. Banyak yang menulis tanpa pamrih, tak ada motif komersial, tak ada hitung-hitungan statistik pembaca. Mereka hanya ingin menulis, mencatat apa yang mereka lihat, rasakan, dan pikirkan.
Pada awalnya, blog adalah medium yang begitu murni—ruang bagi mereka yang ingin berbicara tanpa batas. Namun, waktu membawa perubahan. Blogger yang awalnya menulis untuk bersenang-senang, perlahan berubah menjadi figur berpengaruh di dunia digital.
Brand, korporasi, dan agensi mulai melirik mereka sebagai medium iklan baru. Blog tak lagi hanya sekadar ruang pribadi, tapi menjadi bagian dari ekosistem komersialisasi.
Dari Kesenangan Jadi Iklan Baris
Menulis di blog tak lagi soal ekspresi diri, tetapi soal bagaimana tulisan bisa menarik perhatian brand dan mengubahnya menjadi kontrak advertorial.
Saat itu, terjadi pergeseran motivasi. Blogger yang tadinya menulis demi kesenangan, mulai tergoda oleh iming-iming keuntungan komersil. Uang dan barang gratis menjadi bagian dari daya tarik baru dunia blogging.
Seperti halnya pekerja kreatif lain, blogger sering kali menghadapi ketidakadilan dalam bentuk upah yang seadanya, tuntutan kerja berlebihan, dan kurangnya hak atas karya mereka sendiri. Agensi pemasaran dan brand sering kali bermain nakal, menawarkan kompensasi yang jauh dari layak.
Di sinilah sebenarnya serikat pekerja menjadi relevan. Serikat pekerja dapat memberikan perlindungan hukum dan advokasi untuk para blogger, memastikan bahwa mereka mendapatkan bayaran yang layak untuk pekerjaan mereka.
Ketimbang komunitas blogger yang cuma haha-hihi antar sesama dan senyum korporat pada agensi, serikat lebih berdaya sebagai wadah bagi blogger untuk berkumpul. Di sini bisa berbagi informasi tentang praktik-praktik komersialisasi yang adil, dan melawan eksploitasi yang sering terjadi dalam hubungan dengan agensi atau brand besar.
Dalam konteks ini, serikat pekerja bukan hanya soal mendapatkan hak-hak finansial, tetapi juga tentang menjaga kualitas hidup dan kesehatan mental para blogger.
Meski penting, membentuk serikat pekerja bagi blogger bukanlah perkara mudah. Salah satu kendala terbesar adalah sifat individual. Blogger cenderung bekerja sendiri, sering kali sebagai freelancer atau penulis independen, sehingga sulit untuk menyatukan mereka dalam satu wadah.
Tidak seperti pekerja di pabrik atau kantor, para blogger tersebar dan jarang berinteraksi satu sama lain secara fisik. Selain itu, banyak blogger yang masih terjebak dalam pola pikir bahwa “ini hanya hobi,” sehingga mereka tidak merasa perlu memperjuangkan hak-hak mereka.
Pola pikir ini menghambat kesadaran akan pentingnya serikat, karena banyak yang merasa bahwa menuntut hak adalah hal yang berlebihan untuk sesuatu yang mereka anggap sekadar kesenangan.
Kendala lain adalah kurangnya kesadaran akan eksploitasi yang terjadi. Banyak blogger yang merasa tersanjung ketika dihubungi oleh brand, tanpa menyadari bahwa mereka mungkin dibayar jauh di bawah standar untuk pekerjaan yang mereka lakukan.
Dalam banyak kasus, agensi menawarkan kompensasi dalam bentuk barang gratis atau “exposure,” sebuah trik klasik yang merugikan kreator. Tanpa serikat pekerja, blogger tidak memiliki daya tawar yang cukup untuk menolak atau menegosiasikan kontrak yang lebih adil.
Terakhir, membangun serikat pekerja bagi blogger memerlukan solidaritas yang kuat, sesuatu yang sulit dicapai. Blogger yang sudah mapan, dengan pengikut besar dan kontrak yang menguntungkan, mungkin tidak merasa perlu bergabung dalam serikat.
Ketidakseimbangan ini membuat gerakan untuk membentuk serikat menjadi terpecah-pecah, sulit untuk mencapai kesepakatan kolektif. Idealisme yang bisa dipastikan tak akan pernah terbentuk.
Menatap Senjakala
Ketika blog bertransformasi dari ruang kesenangan menjadi ladang komersil, banyak yang hilang di sepanjang perjalanan itu. Blog yang dulunya menjadi tempat berekspresi bebas, kini terjebak dalam siklus konten yang diatur oleh algoritma dan sponsor.
Blogger yang dulunya menulis karena cinta, sekarang terpaksa memikirkan kata kunci, SEO, dan endorse. Ada harapan bahwa blog bisa kembali menjadi ruang yang seimbang—di mana kesenangan dan keuntungan bisa berjalan beriringan tanpa mengorbankan esensi dari menulis itu sendiri.
Namun, sekarang, blog tampaknya mulai meredup. Di zaman yang dipenuhi distraksi, di mana konten semakin pendek dan cepat, blog tergerus oleh gemuruh video singkat yang memanjakan dopamine. Blog yang pernah menjadi ruang panjang untuk berpikir, kini tersisih oleh scroll tanpa henti.
Maka, jika saya merenungi perjalanan ini, ada sebuah kenangan yang manis sekaligus pahit. Blog pernah menjadi ruang kebebasan, tempat di mana kita bisa menulis tanpa batas. Kini, ia menjadi sejarah kecil di sudut dunia digital yang terus bergerak terlalu cepat.