Buku Bekas Tetap Bernas

“Resep buku kiri teu?”

“Oh cik atuh hoyong ngasaan”

Saat tengah asyik mengekskavasi timbunan buku bekas, Om Simon sang penjual dengan setengah berbisik menawarkan kekirian pada saya yang seorang kekinian ini. Trotoar Jalan Cikapundung Barat senja itu disesaki jajaran tumpukan buku dan hilir mudiknya para manusia. Saya sibuk kembali dengan pencarian buku yang pas buat diajak bercinta, dan Om Simon balik kanan menuju gerobak yang berisi koleksi buku tersembunyinya. Lembayung masih setia menggantung di zaman yang serba digital, namun tetap, buku fisik susah buat ditinggal.

Bila Jakarta punya Kwitang untuk mencari buku langka atau buku bekas, maka di Bandung ada Cikapundung. Secara area juga luas memang jauh berbeda, tapi yang pasti sentra buku dekat alun-alun Kota Bandung ini sudah jadi salah satu primadona bagi penikmat literasi buat belanja, khususnya para kolektor buku.

Karena setiap lembarnya, mengalir berjuta cahaya
Karena setiap aksara membuka jendela dunia

Efek Rumah Kaca – Jangan Bakar Buku

Kadaluarsa tidak berlaku bagi sebuah buku, isinya selalu baru. Meski memuat pemikiran usang dan kolot, tapi tetap bisa dibaca untuk konteks kekinian, sebagai bahan komparasinya misalnya. Dan jangan merasa jijik sama buku bekas, karena tak seperti pelacur, buku akan tetap suci meski sudah ‘bekas pakai’, namun tetap harganya murahan. Ya, karena faktor harga inilah banyak yang memilih alternatif dengan beli buku bekas. Meski dibilang bekas dan murah, tapi untuk kondisi kita bahkan bisa dapat fisik mulus kayak buku yang masih perawan.

buku bekas photobook

Untuk photobook, satu jenis buku yang bacaannya seuprit tapi harganya selangit ini, saya tentunya memilih yang bekas. Harga buku baru pasti selalu tak merakyat. Majalah National Geographic pun, meski sudah berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun lalu rilisnya, tetap terasa baru dan masih nikmat digali ilmunya.

Spesies bacaan paling saya suka adalah soal humaniora, sekarang sih lagi doyan sama kebudayaan, utamanya sastra. Ternyata karya sastra yang paling merangsang saya untuk mencapai orgasme, untungnya si buku tak sampai jadi bolong-bolong. Alhamdulillah.

Dengan harga miring kita bisa bersenggama lewat buku-buku bekas ini, ngirit tapi tetap nikmat. Tilas tapi raos. Eh tapi jangan salah loh, buku bekas juga kadang malah dibanderol dengan harga yang dimahalkan karena kelangkaan dan keantikannya. Saya sendiri tak terlalu mempermasalahkan ini, yang penting bisa baca bukunya, cuma bajakan atau fotokopian juga tak masalah.

beli buku bekasnya bung
Boekoe adalah koentji! Ajo boeng lekas beli di TB Vecco.

Saya adalah orang yang selalu kalap kalau ada yang dagang buku, isi dompet pasti selalu terkuras sampai tipis. Jadi bahaya deh kalau sampai harus silaturahmi ke Cikapundung Barat, Pasar Buku Palasari, Gramedia, Togamas, Kineruku, Ultimus, Lawang Buku, Pameran Buku, apalagi sekarang ada kamerad penjual buku yang hobi nawarin tapi rada sulit buat ditawar. Dan gerak cepat juga dalam menagihnya lewat WhatsApp.

| “Geura transfer. Keur beli buku yeuh urg. Kan 40k (psikologi eksistensi) + 30k (budaya massa, agama, wanita)”

| “40 + 30 = 50. Matematika cinta.”

| “Ora iso 70k”

| “Ajig”

| “Matematika akuntan”

Ah memang sulit berdebat dengan anak FEB Unpad yang kontrol cashflow-nya ancur ini. Tapi untungnya sih saya tidak perlu buang energi buat berburu buku, karena tinggal tunggu saja buku buruannya. Apakah tetap bernas dan akan berbekas kah buku tersebut? Jika iya, tanpa tedeng aling-aling saya ambil.

Dengan membeli buku bekas, kita secara tak langsung telah ikut melestarikan lingkungan hayati. Pohon yang bertransformasi jadi lembaran kertas ini tentunya jangan kita sia-siakan.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1783

26 Comments

  1. pengen nyari buku bekas yang populer pada tahun itu, kalau bisa bahasa german, buat belajar baca. biasanya abang-abang yang jual buku bekas kurang banyak cerita soal bukunya atau saya sendiri yang kurang pinter nyari ulasan buku lawas.

    • Saya sih kalau nyari buku bekas, salah satu yg jadi acuannya dari nama penulisnya dulu.
      Ya memang sih penjual buku ya tugas wajibnya menjual bukan meresensi buku. 😀

  2. Kalo di Kuningan adanya di Gehenna, itu mah toko bukan pusat buku bekas. Gila, bersenggama sama buku. Bahasanya makin gokil aja.

    Baru ke sini lagi, tampilan udah beda nih blog. Kalo menurut aku, bagusan yang lama. Mungkin kang Arip udah bosen ya… Maafkan baru ke sini lagi..

  3. Saya selalu menahan diri untuk tidak ke Kwitang dulu untuk beberapa saat, takut pos-pos pengeluaran lain jadi terganggu karena sudah kalap, habis semua duitnya buat membeli buku :haha. Tapi saya setuju, buku lama itu kesannya lebih banyak :haha. Dulu waktu kecil saya suka banget dengan majalah bekas. Lebih bercerita!

  4. Saya juga suka kalap kalo udah liat buku yang dicintai. Kalo di Jakarta sekarang nyaman di Blok M Square Ground Floor. Beli buku sambil window shoping.

  5. Kalau di Jogja ada juga pasar buku, namanya Shopping Center Jogja. Letaknya stragegis di pusat kota. Dekat dengan tempat-temat wisata, seperti Malioboro, alun-alun utara, kraton Ngayogyakarta, dll.

  6. sedih banget aku belum pernah lho nyoba hunting buku bekas, mana kayaknya unik dan asik lagi itu bukunya aduh ngiler 😐

    • Atau bisa coba dulu di Kineruku, soalnya udah dipilah-pilih yang bagusnya. Coba baca karya sastra klasik deh, yg Indonesia atau yg luar.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *