Esai Roberto Bolano: “Buku yang Terus Hidup”

Ini seperti semacam olahraga otak, tapi bukan. Buku pertama yang saya dapat dari perempuan yang saya cintai dan yang tinggal bersamanya adalah sebuah buku yang ditulis Mircea Eliade. Saya masih tidak mengerti apa yang dia coba sampaikan. Siapapun itu, siapapun yang tidak lebih dungu, bakal cepat sadar kalau hubungan ini tak akan bertahan lama dan tak akan sampai pada jalan yang lebih mendingan untuk menjauhkan dirinya dari kemalangan. Saya tak bisa mengingat apa buku pertama yang ibu saya kasih. Yang bisa saya ingat adalah sebuah buku ilustrasi sejarah tebal, lebih sebuah komik, yang lebih mendekati Pangeran Valiant ketimbang Superman, tentang Perang Pasifik, perang antara Cile dengan aliansi Peru-Bolivia. Jika ingatan saya benar, jagoan di buku itu — semacam War and Peace yang masih dalam tahap pengembangan — adalah seorang sukarelawan yang mendaftar di Séptimo de la Línea, satu resimen infanteri terkenal. Saya akan selalu bersyukur karena ibu memberi buku itu ketimbang buku bocah klasik Papelucho. Sedangkan ayah, saya tidak ingat ia pernah memberi saya sebuah buku, walaupun kadang-kadang kami melintasi toko buku dan atas permintaan saya, dia akan membelikan sebuah majalah berisi satu artikel panjang tentang penyair-penyair elektrik Prancis. Semua buku-buku tadi, termasuk majalah, bersama dengan banyak buku lainnya, hilang selama petualangan dan pindahan saya, atau meminjamkannya pada orang dan tidak pernah melihatnya lagi, atau menjualnya atau menghadiahkannya.

Tapi ada satu buku yang tidak akan pernah saya lupakan. Bukan sebatas saya ingat kapan dan di mana saya saat membelinya, tapi juga sepanjang hari itu, orang yang menunggu saya di luar toko buku, apa yang saya lakukan malam harinya, dan kebahagiaan (sama sekali tidak rasional) yang saya rasakan ketika saya menggenggamnya di tangan. Itu adalah buku pertama yang saya beli di Eropa dan masih saya punya sampai sekarang. Itu Obra poetica-nya Borges, diterbitkan Alianza/Emecé pada 1972 dan sudah lama tak dirilis lagi. Saya membelinya saat di Madrid pada 1977 dan, meski puisi Borges tidak terlalu akrab bagi saya, saya mulai membacanya malam itu juga dan tak berhenti sampai pukul delapan pagi esok harinya, seolah-olah tidak ada sesuatu di dunia ini yang layak dibaca kecuali puisi-puisi itu, tidak ada hal lain yang bisa mengubah jalannya kehidupan liar yang telah saya jalani sampai saat itu, tidak ada hal lain yang dapat membuat saya merenung (karena puisi Borges punya kecerdasan alami dan juga keberanian dan keputusasaan — dengan kata lain, satu-satunya hal yang mengilhami permenungan dan yang mempertahankan puisi tetap hidup).

Bloom berpendapat bahwa adalah Pablo Neruda, lebih dari penyair lainnya, yang menjadi pewaris Whitman. Menurut Bloom, bagaimanapun, Neruda berusaha untuk menjaga agar pohon Whitmanian tetap tumbuh dan berakhir dengan kegagalan. Saya pikir Bloom salah, seperti yang sering terjadi, bahkan pada banyak topik lainnya, meski memang dia adalah kritikus sastra terbaik di benua kita ini. Memang benar bahwa semua penyair Amerika harus — untuk lebih baik atau lebih buruk, cepat atau lambat — dihadapkan dengan Whitman. Tanpa diketahui, Neruda melakukannya sebagai anak yang taat. Vallejo melakukannya sebagai anak pembangkang atau pemboros. Borges — dan ini adalah sumber keautentikannya dan kepalanya yang dingin — melakukannya sebagai keponakan, dan bukan hanya sangat dekat, seorang keponakan yang rasa ingin tahunya terombang-ambing antara minat entomologis dan semangat seorang pecinta yang gigih. Tidak ada yang lebih asing baginya daripada usaha untuk mengejutkan atau menyetir kekaguman. Tidak ada yang lebih acuh tak acuh terhadap massa Amerika yang luas, meskipun di suatu tempat dia menulis bahwa apa yang terjadi pada satu orang terjadi pada semua manusia.

Namun puisi Borges adalah yang paling Whitmanian dari yang lain-lain: Tema-tema Whitman selalu ada dalam sajaknya, seperti juga kontradiksi dan sanggahannya, kebalikan dan kepatuhannya pada sejarah, kepala dan ekor dari campuran bernama Amerika dan yang sukses atau gagalnya belum bisa diputuskan. Tapi dia tak sebatas itu, dan bukan prestasi kecil.

Saya mulai dengan cinta pertama saya dan Mircea Eliade. Dia masih hidup dalam ingatan saya; Orang Rumania telah lama diusir ke api penyucian dalam kejahatan yang belum terpecahkan. Saya berakhir dengan Borges dan dengan rasa syukur dan kagum saya, meski hati-hati untuk tidak melupakan baris dalam “Dekat Penghakiman Akhir,” sebuah puisi yang dibenci Borges: “Aku mengatakan keheranan saat orang lain mengatakan hanya hal biasa.”

*

Diterjemahkan dari The Book that Survives dalam Between Parentheses: Essays, Articles and Speeches, kumpulan tulisan dari Roberto Bolano.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1925

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *