Cagar Budaya Indonesia Menangkal Gegar Bahaya

Merancang seminar atau lokakarya soal cagar budaya jadi terlihat gampang, tinggal undang akademisi atau tenaga ahli dan siapkan tempat untuk presentasi. Dibuat pusing ketika Ibu Profesional Bandung meminta Komunitas Aleut merancang cara edukasi soal cagar budaya dan sejarah di Kota Bandung, namun pesertanya bocah-bocah. Karena kebanyakan kami belum berkeluarga, mengurus anak adalah pengalaman tak terbayangkan.

Tentu, tidak ada PowerPoint berisi paparan definisi, konsep, peraturan pemerintah atau kajian ilmiah soal cagar budaya. Orang dewasa saja seringnya ngantuk. Jadi yang dibutuhkan adalah taman terbuka, beragam permainan, berbagai sorak dan nyanyian, seni bercerita dan tak lupa foto-foto bangunan cagar budaya yang diedit warna-warni.

Acara Fun Literacy Day di Taman Balaikota Bandung (2/11), anak-anak bermain sekaligus diajak berkenalan dengan bangunan cagar budaya. Foto: Komunitas Aleut.

Dengan maksud bukan untuk membebani, kesadaran akan cagar budaya dan sejarah lokalnya perlu dipupuk sejak usia dini, agar nantinya mereka punya rasa memiliki. Apalagi ini bisa dijadikan alternatif penceritaan, ketika dunia memaksa kita untuk menjadi seragam, mereka punya pembeda dengan identitas lokalnya. Penyampaiannya jangan yang berat-berat dulu, tentu saja. Pentingnya merawat cagar budaya perlu disampaikan, di samping pentingnya menabung atau pentingnya tidak buang sembarangan.

Kenapa Cagar Budaya Begitu Penting?

Saya sendiri baru ngeh soal percagarbudayaan beberapa tahun ke belakang ini, karena bergiat di  Komunitas Aleut, sebuah komunitas belajar di Kota Bandung. Yang akan banyak saya singgung memang Bandung, tapi wacana ini bisa dipakai dalam skala nasional pula.

Seperti dilansir Pikiran Rakyat, Kota Bandung telah mendaftarkan lebih dari 1.800 cagar budaya ke dalam registrasi nasional daring Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Saya paling banter cuma bisa mengabsen sepuluh dua puluh saja. Lalu, sebenarnya kenapa sih kudu ngurusin bangunan kolot segala? Bukannya lebih mudah bikin yang baru, yang ngehits aja sekalian, ketimbang cape-cape rawat bangunan tua?

Di dunia ketika hidup begitu singkat, dan keberadaan kita tampaknya berjalan begitu cepat, banyak orang mencari cara untuk terhubung dengan sesuatu yang bertahan lama. Hidup adalah tentang koneksi. Warisan, baik secara biologis maupun budaya, menjadi cara untuk terhubung dengan sesuatu yang punya lingkup yang jauh lebih besar. Warisan genetik secara alamiah akan terus berlanjut, sementara untuk budaya lain cerita, bisa saja terputus kemudian lenyap begitu saja.

Analoginya seperti ketika ibu bapak kita mewariskan sebuah rumah tua. Kita punya pilihan untuk menempatinya dan terus mengurus rumah itu, merenovasi apabila ada kerusakan dengan tetap menjaga ciri khas rumah tersebut. Pilihan lainnya kita bisa saja meruntuhkan untuk membangun ulang rumah itu dengan gaya terkini dengan alasan agar gampang ngurusnya. Pilihan pertama itulah yang dinamakan pencagaran. Bahkan jika kemudian diketahui ternyata dulunya rumah itu dirancang langsung Soekarno, misalnya, rumah sudah layak didaftarkan sebagai cagar budaya ke Kemendikbud.

Rumah karya Soekarno di Jalan Kaca-kaca Wetan, dibangun 1930. Foto: Tribun/Rezeqi Hardam Saputro.

Seperti pada cagar alam, tujuan dari cagar budaya adalah pelestarian. Pelestarian ini bermanfaat untuk mengetahui jati diri komunal, agar kita mengetahui identitas, potensi, keunikan, dan kelebihan dari diri kita. Pelestarian adalah tentang masa lalu, di masa kini, dan untuk masa depan.

Sebaik-baik masyarakat adalah yang memiliki identitas, dan bangunan menjadi eksistensi budaya tersebut. Identitas sebuah kota punya signifikasi untuk memberikan jiwa pada kota itu. Bandung sebagai kota yang penting pada zaman kolonial, didesain dengan serius agar menjadi calon ibukota negara, mewariskan banyak tinggalan cagar budaya. Bandung adalah kota yang memiliki banyak koleksi bangunan art deco, sebut saja Gedung Isola, Kantor Bank Indonesia, Hotel Homann, Museum Geologi dan masih banyak lagi. Bangunan ini masih berfungsi, dan dari penampakannya punya keunikan tersendiri, mencerminkan kalau Bandung sejak awal dirancang untuk menjadi kota modern dan kosmopolit. Tinggalan art deco ini bukan hanya penting dalam tingkat domestik atau bahkan nasional.

Selain itu, di Bandung, beberapa tokoh pergerakan nasional pernah bersinggungan dengan kota ini, bahkan bergerak di sini. Dari Tirto Adhi Suryo, Ernest Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, Ki Hadjar Dewantara, Dewi Sartika, Abdoel Moeis, Moh. Natsir, sampai Soekarno. Tinggalan bangunan berfungsi mengingatkan kita sejarah yang melaluinya, misalnya lokasi-lokasi tempat aktivitas politik mereka. Beberapa bangunan dan kawasan cagar budaya itu misalnya Gedung Merdeka, Gedung Indonesia Menggugat, Alun-alun Bandung, Institut Teknologi Bandung atau Penjara Banceuy.

https://youtube.com/watch?v=Z3cik35r1ac%3Ffeature%3Dplayer_embedded

Sayangnya, lebih banyak lagi beragam tinggalan bangunan yang lenyap, karena bangunan tersebut belum dijadikan cagar budaya. Dalam beberapa kasus, ada bangunan yang sudah jadi cagar budaya tapi karena ketidaktahuan pemiliknya dan pengawasan yang kurang, bangunan bersejarah tersebut dibongkar begitu saja. Padahal menjaga bangunan tersebut tetap tegak begitu penting, agar warisan dan sejarah bangsa kita tetap lestari.

Seorang individu bisa menjadi terpelajar tanpa mengetahui matematika, kimia, atau teknik karena semua itu merupakan bidang khusus. Namun, pengetahuan sejarah, atau bahkan pemahaman sejarah yang lebih mendalam, adalah bagian penting dari kesadaran diri terhadap lingkungan sekitar. Jika bangunan adalah eksistensi budaya, ketika satu per satu lenyap, sejarah hanya jadi kumpulan fakta dan data, bukan lagi kesadaran kolektif.

Sebagai Warga, Apa yang Bisa Kita Lakukan Untuk Merawat Cagar Budaya?

Diskusi “Sebelum Pugar Jadi Pagar” menyoal pelestarian cagar budaya Kota Bandung di Spasial (17/04/18). Foto: Kolektif Agora

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 11 Tahun 2010 sudah dijelaskan bahwa cagar budaya itu “perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Cagar budaya yang merupakan warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda, bangunan, struktur, situs dan kawasan, ini semua sudah punya dasar hukum, dan dijaga oleh negara.

Kenyataannya, warisan budaya di Bandung makin terkikis akibat kesadaran akan cagar budaya yang minim. Munculnya keinginan eksploitasi beberapa kelompok demi keuntungan berorientasi jangka pendek merupakan hal berbahaya. Sebab pembangunan berlandaskan faktor ekonomi itu tidak terkait dengan manusia yang bergantung dengan lingkungannya, sehingga subjektivitas ini menjauhkan mereka dari mempertahankan warisan budaya. Ketika keinginan ini terpenuhi dan bangunan-bangunan pergi, kita mendapatkan dampak buruknya.

Persoalan cagar budaya tampak pelik, tinggalkan saja agar diurus para ahli, kita warga biasa bisa apa memangnya? Pemerintah memiliki kewenangan sekaligus otoritas penanggung jawab dalam isu cagar budaya. Namun, narasi tentang mempertahankan cagar budaya penting untuk kita bawa secara kolektif — dan bukan hanya bagaimana mempertahankan saja, tapi bagaimana menggali pemaknaan untuk melestarikan cagar budaya yang telah ada.

Tugas kita adalah terus memberi pemaknaan akan suatu cagar budaya. Menurut UU 10 tahun 2011, umur minimal cagar budaya adalah 50 tahun. Jika misalnya kita menemukan satu bangunan tua, cobalah selidiki kapan dibangunnya, apa fungsinya, adakah tokoh publik yang pernah berkaitan dengan tempat tersebut. Kumpulan fakta dan data ini kemudian bisa dibentuk menjadi sebuah narasi, yang bisa dijadikan benteng informasi kenapa suatu cagar budaya pantas dipertahankan.

Apa yang telah dikerjakan Komunitas Aleut selama beberapa tahun ini adalah kegiatan seperti itu: membangun narasi. Dilakukan dengan pendekatan populer, bukan seperti penjelasan saat mata pelajaran Sejarah di sekolah dulu, yang biasanya membosankan. Ngaleut, atau kegiatan berjalan kaki beriringan, adalah upaya kami untuk menyusuri cagar budaya beserta konteks sejarah yang menaunginya. Mengakrabkan diri dengan beragam cagar budaya.

Hana nguni hana mangke
tan hana nguni tan hana mangke
aya nu beuheula aya tu ayeuna
hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna

Ada dahulu ada sekarang
bila tidak ada dahulu tidak akan ada sekarang
karena ada masa silam maka ada masa kini
bila tidak ada masa silam tidak akan ada masa kini
– Amanat Galunggung, Kropak 631 dari Kabuyutan Ciburuy

Baris hana nguni hana mangke (ada dulu ada sekarang), menegaskan bahwa sejarah harus menjadi semacam kesadaran. Cagar budaya menyediakan kita pintu masuk ke sana. Oleh karenanya, tugas kita untuk terus merawatnya. Pelestarian adalah tentang masa lalu, di masa kini, dan untuk masa depan. Dengan melestarikan dan menjaga warisan budaya, seseorang juga sedang menciptakan warisan untuk generasi masa depan, sebuah pilar bagi generasi mendatang agar tetap bisa mendasarkan pandangan mereka pada dunianya dengan berbasis kesadaran sejarah.

*

Ayo ikut berpartisipasi juga dalam Kompetisi “Blog Cagar Budaya Indonesia: Rawat atau Musnah!” yang diselenggarakan Komunitas Ibu-ibu Doyan Nulis didukung oleh Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1783

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *