Apa yang ada di kepala, untuk dirumuskan dalam dunia ide, apa yang keluar dari mulut, setelah diartikulasikan dalam bahasa, apa yang masuk ke telinga orang lain, untuk diolah dan dipahami, setiap tahapannya bagai saluran air yang makin menyempit, tambahkan pula tumpukan sampah atau endapan tanah. Tiap informasi yang mengalirinya akan terus terdistorsi. Inilah masalah komunikasi yang niscaya ada, dan ini pula alasan kenapa saya lebih doyan diam ketimbang bicara. Saya terlalu takut terhadap kesalahpahaman, padahal ini masalah yang selalu ada. Upaya terbaik tentu menjembatani jurang komunikasi tadi, namun saya, dan mungkin sebagian yang lain, lebih memilih untuk mengambil jalan sebaliknya.
Tak mampu menemukan kata yang tepat adalah salah satu dari banyak masalah yang saya punya. Saya sering berpikir apapun yang saya katakan tak akan membantu, jadi seringnya saya memilih diam saja. Tenggelam dalam pikiran atas beragam hal yang tak bisa saya atasi, seperti terlalu memikirkan masalah komunikasi ini, lagi-lagi, adalah salah satu masalah yang selalu menyiksa saya. Ingin sekali saya menganggap segala ini hanya hal yang sepele, tapi entah kenapa saya terlalu suka memasalahkan segalanya.
Tukang bacot memang lebih cocok jadi pemandu, dan saya kudu mundur. Namun, karena di malam sebelumnya saya terlalu anteng nonton film Netflix bajakan hasil unduh dari The Pirate Bay, saya ujug-ujug ditunjuk jadi pemateri untuk Ngaleut Sejarah Kereta Api di Kota Bandung. Ada sekitar 70an yang mendaftar, jika setengahnya saja yang datang tetap bikin tegang. Bukan pemahaman materi yang jadi masalah, tentu saja. Yang dibutuhkan adalah memanggil arwah seorang Cicero.
Marcus Tullius Cicero adalah seorang negarawan Romawi, orator, pengacara dan filsuf, yang menjabat sebagai konsul pada tahun 63 SM. Cicero dianggap salah satu orator dan penggaya prosa terbesar dari Romawi. Sebagai seorang yang berwawasan luas sekaligus punya kefasihan berbicara, namanya diabadikan dalam istilah lawas bagi pemandu: Cicerone. Istilah Cicerone pertama kali dipakai sekitar abad ke-16, merujuk pada seorang ahli keantikan terpelajar yang menunjukkan dan menjelaskan kepada orang asing tentang negaranya. Pemandu yang membawa pengunjung dan turis ke museum, galeri, atau tempat bersejarah lainnya, kemudian menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan perkara arkeologis, historis atau artistiknya.
Pemandu memang salah satu profesi tertua di dunia. Kathleen Lingle Pond dalam The Professional Guide: Dynamics of Tour Guiding membagi sejarah pemanduan dalam empat periode, fokusnya memang cuma Barat. Ada banyak referensi khusus dalam catatan sejarah, dari Kekaisaran Romawi hingga Abad Pertengahan, sepanjang Renaissance dan menuju Zaman Modern. Perkembangan besar mula pariwisata berasal sejak era kerajaan-kerajaan besar (3000 SM hingga 500 M). Selama periode ini bepergian sangat berbahaya dan menghabiskan waktu. Bangsa Persia, Asiria, dan Mesir sering melakukan perjalanan melalui jalur darat dan air. Aktivitas ini terus meningkat dan demikian juga jumlah pemandu, mereka yang membantu orang yang bepergian ke negeri seberang. Tahap kedua adalah periode antara jatuhnya Romawi dan sebelum Renaissance: Abad Pertengahan sekitar 500 hingga 1500. Pada saat itu, ziarah agama adalah jenis perjalanan yang paling umum dilakukan oleh kelas menengah dan atas. Jatuhnya Romawi mengakibatkan penurunan ekonomi dan kekacauan dalam tatanan sosial. Keselamatan dan keamanan para pengelana menjadi perhatian; karena itu preferensi pemandu kudu berfungsi sebagai pandu, pengawal keselamatan dan pelindung. Fase ketiga mengarah pada periode Renaissance dan era penjelajahan sekitar 1500 sampai 1700. Selama masa Renaisance, para pemuda kelas atas melakukan “Grand Tour” untuk alasan budaya dan pendidikan. Para pelancong ini diharapkan untuk memperkaya pengetahuan mereka melalui perjalanan panjang sambil ditemani oleh pemandu. Dari sini muncul profesi Cicerone, seorang pemandu yang diharapkan menguasai banyak wawasan, fasih berbicara dan punya kemampuan multi-bahasa layaknya Cicero.
Pemanduan memang seringnya dihubungkan dengan turisme. Asal historis pariwisata bisa ditemukan dalam budaya kelas atas bangsa Yunani dan Romawi kuno. Stephen Page dan Joanne Connell dalam Tourism: A Modern Synthesis menyatakan bahwa “para wisatawan awal ini mengejar kesenangan dan relaksasi di daerah-daerah yang jauh dari pusat ibukota dan kota-kota, hal ini memberi contoh turisme kiwari: pengejaran kesenangan di lokasi yang jauh dari kehidupan sehari-hari dan penggunaan waktu senggang seseorang untuk tujuan non-kerja.”
Ngaleut Sejarah Kereta Api di Kota Bandung (6/1/19) | Foto: @akangichan
Sebagian orang yang tertarik ngaleut mulanya memang untuk mengisi waktu senggangnya di Minggu pagi, niatnya berwisata. Bentuk kegiatan ngaleut memang mengadopsi tur jalan kaki, secara amatir – dalam artian tak berbayar, kecuali untuk registrasi keanggotan yang tak seberapa. Jalan kaki adalah cara termudah untuk membaca sejarah. Sejarawan A. L. Rowse dalam Apa Guna Sejarah? memberi wejangan: “Anda mungkin berpikir bahwa dibutuhkan buku-buku sebanyak satu perpustakaan untuk mulai mempelajari sejarah. Tidak sama sekali. Yang Anda butuhkan hanyalah sepasang sepatu yang kuat, sebuah pensil, dan buku catatan.”
Seringnya ngaleut berupa pemanduan. Siapa saja bisa jadi pemandu, tak perlu sertifikasi, hanya butuh kemauan untuk belajar. Minggu ini hanya pendengar, minggu depan sangat boleh jadi pemandu. Tentu saja, pemandu yang dimaksud di sini bukan dalam definisi kontemporer secara profesional, sehingga kesalahan bukan dianggap sebagai dosa justru suatu proses belajar. Pemanduan saat ngaleut disengaja tanpa bantuan pengeras suara, harus melawan bising lingkungan sekitar. Ini melatih si pemandu (contoh: bagaimana membangun rasa percaya diri, bagaimana cara menarik perhatian pendengar, bagaimana cara memilah informasi), sekaligus membuat si peserta ngeh bahwa untuk mendapatkan wawasan perlu kerja lebih (contoh: mendekat ke sumber suara, berusaha terus menyimak, bertanya).
Ketiadaan moderator, speaker, kursi yang empuk, presentasi PowerPoint, suasana ruang yang tenang dan sejuk, serta minuman di atas meja yang bisa langsung diteguk, bikin saya jadi pembicara yang sungguh buruk. Apa yang ada di kepala, apa yang keluar dari mulut, apa yang masuk ke telinga orang lain, dan dilema ini menyerang saya kembali. “Docere, delectare, et movere,” tulis Cicero dalam Orator pada 46 SM. Bahwa seorang orator harus bisa untuk membuktikan tesisnya kepada pendengar, untuk menyenangkan pendengar, dan menggerakkan pendengar secara emosional. Kejelasan emosional bahasa puitik menjadi bagian dari alat retorika untuk membujuk pendengar. Saya berharap agar dirasuki Cicero.
Membayangkan di kota saya ada komunitas semacam itu, ah bahagia sekali sepertinya.