Menonton Code Geass: Roze of the Recapture ibarat menghadiri tur reuni sebuah band legendaris—di atas kertas terdengar menjanjikan, namun dalam eksekusi, tidak semua nada beresonansi sempurna.
Tiga episode awal yang menjadi bagian dari “film” pertama membawa cerita lima tahun setelah Lelouch of the Re;surrection, dalam linimasa versi film.
Sebagai sekuel langsung dari seri orisinal Code Geass, antusiasme saya melambung ke langit, terutama ketika lagu pembuka mulai mengalun. Tapi, tampaknya saya harus kembali mengingatkan diri untuk tidak terlalu berharap.
Janji Code Geass yang Menggoda di Awal
Mari bicara dulu tentang lagu pembuka itu. Rasanya seperti kembali ke era di mana visual kei mendominasi panggung—riff gitar yang dramatis, vokal intens, dan energi yang membuat Anda ingin berdiri di depan cermin, berpura-pura menjadi bintang rock.
Miyavi, salah satu rockstar terakhir dari era visual kei, membawa musik yang menggetarkan semangat pemberontakan.
Kemudian desain karakter karya CLAMP masih seikonik dulu. Jika menyukai karakter dengan kaki-kaki panjang, selera fesyen yang nyentrik, dan garis wajah setajam silet, kamu akan merasa nostalgia.
Sementara untuk mecha, desain CGI kini lebih mulus dari sebelumnya, terbang dan berputar bak penari balet dengan steroid. Secara visual, anime garapan studio Sunrise ini tidak mengecewakan.
Episode-episode awal sukses memikat saya. Rasanya seperti menemukan kembali harta karun yang hilang, membangkitkan kembali tema suspense dan pemberontakan yang kita cintai dari Code Geass. Potensinya begitu besar, dan saya siap untuk kembali terpaku di kursi untuk perjalanan liar yang baru.
Namun, di pertengahan, cerita mulai terasa awut-awutan dengan cara yang membingungkan. Plot yang diawali dengan bara semangat dan pemberontakan perlahan-lahan berubah menjadi keanehan penuh perkembangan kacau.
Roze of the Recapture yang Gagal Merebut Kembali

Title | Code Geass: Dakkan no Rozé |
Genre | Action, Drama, Mecha, Sci-Fi, Thriller |
Episodes | 12 |
Aired | Summer 2024 |
Studio | Sunrise |
Pacing terasa tergesa-gesa, seperti ada upaya memasukkan sebanyak mungkin konten tanpa memberikan ruang untuk mengembangkan narasi secara utuh. Rasanya seperti ada yang menekan tombol fast-forward pada cerita, membuat saya kewalahan mengikuti.
Karakter-karakter pendukung—ingat betapa kompleksnya mereka di seri orisinal, dengan moralitas abu-abu yang menggelitik? Kali ini, sebagian besar terasa lebih seperti dekorasi latar daripada pemain sungguhan. Dan para antagonis? Sayangnya, mereka kehilangan aura mengancam yang biasa dibawa para penjahat Code Geass.
Yang menarik, bagaimanapun, adalah eksplorasi brutalitas Neo-Britannia terhadap penduduk asli. Tema kolonialisme ini sangat relevan hari ini, terutama dalam menggambarkan dilema antara kelompok perlawanan yang diberi label teroris dan bagaimana dunia sering hanya menonton dari pinggir lapangan. Sebuah gagasan emas yang, sayangnya, seperti banyak elemen plot lainnya, tidak mendapatkan perhatian yang pantas. Ia seperti dijatuhkan di tengah jalan dan dilupakan.
Secara keseluruhan, Roze of the Recapture terasa seperti rollercoaster yang mulai dengan gemilang tetapi tergelincir sebelum mencapai putaran besar. Soundtrack ala visual kei, aksi mecha yang mulus, dan sisa-sisa pesona orisinal Code Geass mungkin membuatnya layak untuk ditonton, tetapi bersiaplah untuk perjalanan yang akan membuat berpikir, “Seandainya saja…”
Jika menontonnya semata-mata untuk nostalgia dan pertarungan robot yang spektakuler, maka akan baik-baik saja. Tetapi jika mengharapkan plot mendalam dan penuh intrik seperti orisinalnya, siapkan diri untuk beberapa kekecewaan di sepanjang jalan.