Coli Intelektual

What is Literature For.MKV_snapshot_03.03_[2017.11.24_01.21.44]

1

Saya mulai menginsafi, betul-betul secara harfiah, sebuah pasase yang diajukan Emil Cioran dalam The Trouble of Being Born: Sebuah buku adalah sebuah bunuh diri yang ditunda. Mungkin, dengan pembacaan sedikit berbeda. Sampai Prozac dan Xanax bisa dibeli ketengan di kios rokok sisi jalan dengan harga miring, sehingga bisa dioplos dengan Indocafe Coffemix, buku tetap jadi antidepresen termudah.

2

“Kamu pikir kamu berkelas lewat pemikiran orang lain?” ujar si dosen, seorang protagonis dalam film Hong Sang Soo berjudul Woman is the Future of Man (2004), yang menceramahi mahasiswanya saat sedang makan-makan sambil mabuk soju. “Kamu pasti sering membaca ya? Tahu lah kalau buku-buku itu karangan orang-orang yang sudah mati. Itu hanya pembenaran pendapat pribadi penulis. Itu cuma alat promosi pribadi si penulis.” Acara makan-makan yang berawal santai menjadi canggung. Mahasiswa lain, mencoba membelokkan topik namun ingin tetap membela temannya yang disemprot sebelumnya. “Bagaimana Anda bisa tidak percaya pada apapun? Tidak percaya pada apa-apa bukan sesuatu yang patut dibanggakan!” ujar si mahasiswa. Suasana makin jadi canggung. “Apakah ada jalan lain untuk bahagia? Bagaimana menurutmu agar kita bisa bahagia?” timpal si dosen. Malam itu, setelah acara makan berakhir tak mengenakkan, si dosen meniduri salah satu mahasiswa perempuan.

3

Sering saya terbebani kenapa diberi nama Arif. Mengganti huruf terakhir menjadi p, yang dalam bahasa Ngapak berarti ngantuk, adalah tindakan paling arif. Kepala saya enggak ada arif-arifnya. Hanya ada racun ketimbang kata-kata mutiara pemompa vitalitas hidup. Membuka mulut adalah neraka. Dengan pikiran sinis, skeptis, misantropi, nihilis, bahkan fatalistik, membiarkan mereka tetap bermukim di kepala adalah pilihan paling arif, agar tak ada orang terluka. Berpikir enggak bikin seseorang dipersekusi, mengungkapkannya iya.

4

Kita mungkin jauh lebih baik jika kita tidak punya dorongan seksual; untuk sebagian besar hidup kita, hal itu tidak menyebabkan apa-apa selain masalah dan kesusahan. Beberapa bahasan dalam How to Think More About Sex-nya Alain de Botton sudah sering dibahas di situs dan kanal Youtube The School of Life. Soal apa bisa memiliki cinta dan seks dan hubungan pernikahan, secara sekaligus, dengan harmonis. Soal orgasme. Soal fetishisme. Soal pornografi. Soal selingkuh. Soal asyiknya jika bisa bercinta di kabin pesawat atau di bawah meja kantor. Soal siapa yang lebih menarik antara Natalie Portman atau Scarlett Johansson. Saya setuju pada de Botton, bahwa seks, seperti makan dan minum, adalah satu kebutuhan juga, sehingga jangan menganggap tabu untuk menjadikannya obrolan santai. Apa salahnya membicarakan cara bercinta yang menyenangkan seperti ketika membicarakan makanan apa yang enak?

5

Satu malam di Paris pada 1879, di The Stomach Club, Mark Twain berpidato mengenai masturbasi: Setiap penulis hebat tentang kesehatan dan moral, baik dari zaman kuno maupun modern, telah bertungkus lumus membicarakan hal ini. Itu menunjukkan bahwa ia adalah perkara penting. Homer, dalam Iliad jilid dua, bicara dengan semangat berapi-api, ‘Beri aku kematian atau izinkan aku merancap.’ Julius Caesar, dalam Commentaries, mengatakan, ‘Merancap bagi orang-orang kesepian adalah pasangan, bagi orang-orang yang ditinggalkan adalah kawan, bagi orang-orang tua dan loyo adalah penderma.’

6

Masturbasi, sebuah proses yang sangat menyenangkan secara artifisial namun enggak mencapai apapun pada akhirnya. Dalam novel-novel yang saya baca dan film-film yang saya tonton, terkesan kalau bercinta adalah sesuatu yang sangat gampang, bahkan tokoh yang cupu sekalipun. Namun di sini, bercinta seenak jidat begitu utopis. Merancap opsi paling realistis. Internet menyediakan. Bukan cuma soal untuk memuaskan kebutuhan seksual. Membaca atau mendengar sesuatu yang tidak dimengerti adalah cara menyibukkan kepala paling menggairahkan. Betapa menyenangkan menyoal realitas, bahasa, eksistensi, pengetahuan, persepsi, atau perilaku manusia yang sama sekali tak dapat dibuktikan dan sama sekali tanpa penggunaan, dan oleh karena itu tidak ada konsekuensi nyata bagi siapapun.

7

Saya mungkin lebih seorang Machiavellian santun ketimbang seorang Marxis taat. Jika diberi dua pilihan antara keruntuhan kapitalisme lanjut atau kematian dua per tiga populasi manusia, saya akan pilih yang kedua. Bencana tak terletak pada prospek kematian namun pada kelahiran. Kelahiran, sebuah kecelakaan yang menggelikan itu. Pernah suatu kali saya iseng mengisi kuis kepribadian berdasarkan kemiripan sifat dengan diktator dunia di internet, dan hasilnya enggak terlalu bikin kaget: Adolf Hitler.

 

 

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1783

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *