Bukan CC atau Kallen, bagi saya waifu terbaik adalah kakak tirinya Lelouch: Cornelia li Britannia.
Istilah “waifu” telah menjelma menjadi entitas psikoseksual, sebuah obyek cinta dan hasrat yang penuh dengan intrik kejiwaan. Jika kita mengadopsi pendekatan Freudian untuk memahami fenomena ini, maka Cornelia li Britannia dari Code Geass bukan sekadar karakter, namun manifestasi simbolik yang memuaskan id, ego, dan superego penontonnya dalam harmoni yang nyaris paradoks.
Cornelia Sebagai Id
Freud meyakini bahwa id adalah sumber dorongan dasar manusia, sesuatu yang primitif dan tak terkontrol.
Dalam Cornelia, kita menemukan id yang berapi-api dalam bentuk agresi, kekuatan, dan ketegasan yang eksplisit. Tubuh Cornelia yang kokoh dengan fisik atletis memancarkan pesona maskulin sekaligus feminin, seolah-olah menantang konstruksi gender konvensional di ranah waifu.
Daya tarik Cornelia yang memunculkan kesan “dominatrix” berperan langsung memuaskan keinginan bawah sadar yang mungkin enggan kita akui, tetapi sangat kuat mempengaruhi pilihan waifu.
Namun, alih-alih kelembutan atau kepasrahan yang sering ditawarkan oleh waifu pada umumnya, Cornelia menyuguhkan kekuatan yang hampir mengintimidasi.
Sikap tegas dan obsesinya pada kehormatan keluarganya membangkitkan daya tarik yang lebih menyerupai dorongan destruktif id, di mana kekerasan dan kepuasan hasrat eksis dalam keseimbangan yang berbahaya. Ia bukan objek kasih sayang yang sederhana, tetapi fenomena yang memicu id untuk memberontak dari standar waifu yang normatif.
Cornelia Sebagai Ego
Dalam perkembangan karakter Cornelia, kita juga melihat unsur ego—bagian dari psikis yang berfungsi menjembatani keinginan liar id dengan kenyataan yang lebih diterima.
Cornelia bukanlah pemimpin militer yang hanya didorong oleh nafsu akan kekuasaan, tetapi ia juga memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang pragmatis demi mempertahankan stabilitas kekaisaran. Disiplin dan dedikasinya dalam menjalankan tugas sebagai komandan Britannia memberikan dimensi egois yang terstruktur dan masuk akal.
Ego Cornelia tidak sekadar menjaga keseimbangan antara id-nya yang agresif dan kontrol sosial. Ia mewakili daya tarik yang lebih realistis bagi penggemar, seakan-akan mengatakan bahwa memilih waifu tidak harus berarti memilih yang manis dan patuh.
Cornelia adalah pilihan bagi mereka yang memahami, mungkin secara bawah sadar, bahwa setiap cinta, bahkan pada karakter fiksi, membutuhkan kompromi antara hasrat dan kenyataan.
Cornelia Sebagai Superego
Terakhir, ada aspek superego dalam diri Cornelia—moralitas tinggi yang mengagungkan kehormatan keluarga dan bangsa. Cornelia adalah personifikasi sempurna dari kode etik militeristik yang kaku dan tak tergoyahkan.
Dedikasinya pada imperium Britannia membuatnya memiliki standar moral yang lebih tinggi dibanding karakter lainnya. Di sini, Cornelia bukan hanya objek fantasi belaka, tetapi juga teladan bagi prinsip hidup yang dapat dijadikan panutan oleh para penggemar yang mencari waifu yang “terhormat.”
Bagi mereka yang tertarik pada Cornelia, ia bukan sekadar objek keinginan, tetapi juga bimbingan superegois yang membawa makna kebangsawanan.
Dalam psikologi Freudian, superego sering kali diasosiasikan dengan aturan dan kontrol sosial; Cornelia, dengan kode etik militer dan loyalitas yang teguh, menjadi simbol moralitas yang bersinar, terutama di tengah kegelapan dan dekadensi politik dalam Code Geass.
Secara tidak langsung, ia mengajarkan bahwa cinta adalah tentang menghormati dan menjunjung prinsip.
Kompleksitas Cornelia li Britannia
Cornelia li Britannia adalah contoh sempurna dari karakter yang memenuhi ketiga struktur psikis Freud: id, ego, dan superego, yang bersama-sama membentuk daya tariknya yang unik dan multidimensional.
Bagi penggemar yang memilihnya sebagai waifu, Cornelia bukan hanya objek kecantikan atau pesona seksual semata, tetapi juga tantangan psikologis yang memuaskan aspek-aspek terdalam dari keinginan, realitas, dan moralitas mereka.
Di balik mecha Knightmare Frame yang dingin dan perangainya yang tegas, Cornelia adalah cerminan dari keinginan kita akan waifu yang tidak hanya memanjakan tetapi juga mendidik, menantang, dan memaksa kita menghadapi diri kita sendiri.
Sungguh, Freud akan tersenyum dari kedalaman alam bawah sadar melihat kompleksitas yang ada dalam sosok Cornelia li Britannia sebagai waifu. Pilihan Cornelia bukan sekadar selera, tetapi ekspresi bawah sadar yang menggali jauh ke dalam konflik antara hasrat primitif, kebutuhan realistis, dan cita-cita moral.