Menjadi “cowok Ghibli” adalah semacam seni keseimbangan antara kekuatan dan kelembutan, antara keberanian dan belas kasih.
Di antara deretan sosok gagah, dominan, bahkan psikopat, selalu ada yang memikat dari seorang laki-laki yang tak berusaha menjadi pahlawan, melainkan sekadar teman, pengasuh, atau pelindung yang senantiasa hadir.
Begitulah yang kita dapatkan dalam film-film Studio Ghibli karya Hayao Miyazaki—di mana karakter lelaki menjadi lebih dari sekadar penumpang dalam narasi.
Miyazaki memang terkenal dengan tokoh-tokoh wanita yang kuat, tetapi lihatlah lebih dekat: di latar belakang, sering kali ada karakter laki-laki yang mencuri perhatian dengan cara yang tenang, berbelas kasih, tanpa harus membuktikan maskulinitas dengan pamer kekuatan.
Cowok Ghibli: Maskulinitas Tanpa Dominasi
Di dunia nyata, di mana maskulinitas seringkali dikaitkan dengan kekuasaan dan dominasi, cowok Ghibli mengajarkan bahwa kekuatan tidak selalu terletak pada otot atau suara keras.
Seorang cowok Ghibli memahami nilai dari sekadar hadir untuk orang lain, menjadi pendengar yang baik, tanpa merasa harus “menyelesaikan” masalah setiap kali ada keluhan.
Seperti Ashitaka dalam Princess Mononoke yang begitu menghormati San dan alam yang dilindunginya, atau Haku dalam Spirited Away yang selalu setia membantu Chihiro tanpa merendahkan perjuangannya. Mereka ada di sana untuk memberi ruang bagi sang protagonis wanita, namun tanpa merasa kehilangan jati diri.
Ada suatu kehalusan dalam bagaimana mereka menjalani perannya: tanpa banyak bicara, tanpa banyak berusaha mengesankan. Cowok Ghibli tidak perlu bertingkah heroik demi validasi.
Ketika kita melihat karakter-karakter seperti Pazu dari Laputa: Castle in the Sky atau Shun dari From Up on Poppy Hill, kita belajar bahwa keberanian bukan hanya tentang menghadapi monster atau musuh. Ini tentang berani peduli, berani lemah, dan berani mengakui bahwa, ya, mereka bisa menjadi “kakak,” “teman,” bahkan “ibu” bagi mereka yang memerlukan.
Menjadi cowok Ghibli adalah menjadi penjaga—bukan penjaga yang mendikte atau mengontrol, melainkan penjaga yang mengayomi.
Cowok Ghibli hadir dengan sikap menghormati otonomi setiap orang di sekitarnya, mengutamakan keseimbangan hubungan daripada membangun dominasi.
Contoh nyata adalah Sosuke dalam Ponyo, bocah laki-laki yang dengan lembut mendampingi Ponyo, makhluk misterius yang sangat ingin menjadi manusia. Sosuke tidak pernah berusaha mengubah Ponyo atau memaksakan kehendaknya, namun mendukung dengan tulus, melihat Ponyo sebagai individu utuh.
Di sini, keberanian seorang cowok Ghibli tampak: ia memberi ruang bagi yang lain untuk berkembang, tanpa merasa perlu mengatur atau menguasai.
Implementasi Maskulinitas Positif
Banyak yang sering kali melihat “maskulinitas positif” sebagai konsep abstrak, namun Ghibli menjadikannya nyata, bahkan kasatmata. Mereka menunjukkan bahwa lelaki bisa menjadi protektif tanpa membatasi, bisa menyayangi tanpa merajai.
Dalam film-film Ghibli, lelaki tidak pernah dipaksakan menjadi kuat untuk orang lain, melainkan mereka kuat bersama orang lain.
Maka, menjadi cowok Ghibli berarti mengerti bahwa keberanian sejati adalah tentang keberanian untuk hadir dan menjadi bagian dari cerita orang lain. Tanpa kebanggaan yang berlebihan, tanpa harus mendominasi, hanya ada tekad untuk menjadi penjaga, kawan, atau bahkan penyemangat dalam senyap.
Jika ada tutorial untuk menjadi cowok Ghibli, maka isinya hanya satu: jadilah seseorang yang mencintai dengan berani, yang memberi ruang bagi yang lain untuk menemukan dirinya sendiri. Di tengah dunia yang bising, itulah keberanian yang paling murni.