Aku bermimpi tentang lumba-lumba. Dalam mimpi itu, aku duduk bersila di ujung sebuah dermaga yang menjorok ke laut, dan si lumba-lumba masyuk berenang tepat di hadapanku. Dermaga, atau mungkin jembatan kayu itu sangat panjang, tak begitu jelas memang, sampai aku tak bisa melihat bibir pantai. Hanya lautan biru semata tanpa ombak. Dan si lumba-lumba memulai perbincangan denganku.
Suatu perbincangan seru, kurasa, namun aku tak begitu ingat soal apa itu. Mungkin bukan perbincangan, karena yang kulakukan hanya mendengarkan, beberapa kali mengangguk, dan sesekali menanggapi (rupanya, dalam mimpi pun aku masih orang yang irit bicara), sementara si lumba-lumba yang terus berbicara, atau lebih tepatnya mengeluarkan suara – dia menghasilkan dua jenis suara: suara bersiul melengking dan semacam suara “klik”. Si lumba-lumba memakai bahasanya sendiri, bahasa lumba-lumba, dan aku di mimpi itu, bisa menangkap maksud dari si lumba-lumba. Tentunya karena ini bunga tidur, segala keajaiban pasti tercipta. Andai saja keajaiban pun tercipta saat mataku melek, setidaknya aku hanya ingin ingat apa yang si lumba-lumba coba sampaikan. Bagaimanapun, adegan-adegan dalam mimpi itu bisa kuingat, atau begitulah yang kurasa, tapi untuk omongan si lumba-lumba nol besar.
Secara umum, kita sangat baik untuk melupakan hal-hal sepele. Bahkan, banyak dari pikiran kita, bukan hanya yang kita miliki saat bermimpi, hilang begitu saja. Kita cenderung untuk mengingat hanya hal-hal yang kita pikirkan begitu sering atau yang memiliki ikatan emosi – sebuah masalah, sebuah tanggal, sebuah pertemuan. Korteks serebral, suatu wilayah otak yang memainkan peran kunci dalam memori, pemikiran, bahasa dan kesadaran, punya semacam prosedur otomatis untuk menghapus bunga tidur kita, sebuah memori yang tak berguna untuk disimpan. Begitulah yang kutahu. Sehabis menonton film Inception, aku begitu terobsesi untuk mempelajari yang namanya mimpi. Dari The Interpretation of Dreams-nya Sigmund Freud sampai penelitian-penelitian terbaru kubaca dengan lahap. Itu sudah lama, sekarang, segala macam ilmu yang kupelajari tadi menguap sedikit demi sedikit. Aku lupa bagaimana jadi pengingat mimpi yang ahli. Bahwa dalam semalam kita bisa mimpi sampai 5 kali atau lebih, tapi ketika bangun, biasanya hanya mimpi terakhir yang kita ingat.
Adapun adegan terakhir dalam mimpi itu, aku dan si lumba-lumba saling berhadap muka, dan saling berciuman. Saat terbangun, aku bahkan masih merasa sensasi basah di bibirku. Tak hanya itu, aku pun merasakan celana dalamku ikut basah. Meski menjijikan untuk membayangkannya, aku pikir, kami, aku dan si lumba-lumba, tak hanya saling berkomunikasi, tak hanya berciuman, tapi sampai bersetubuh.
Tentu, pikiran ini menggangguku, dan aku tak mau mengiyakan spekulasi ini. Aku pria dengan orientasi seksual normal, pria yang masih doyan perempuan. Perempuan dalam wujud manusia, tentu. Meski si lumba-lumba itu betina, aku pikir aku tak akan terangsang, meski dalam mimpi sekalipun. Jadi aku memutuskan untuk memikirkan berbagai kemungkinan lain, salah satunya bahwa si lumba-lumba sedang mengisahkan soal cerita-cerita erotis, dan saat itulah air maniku keluar.
Begitulah, aku terbangun dari mimpi basah, mimpi yang aku tak ingat di mana letak erotisnya, tahu-tahu bibir dan celanaku sudah basah. Lagu ‘Dance, Dance, Dance’ dari Beach Boys yang kujadikan alarm segera kumatikan.
*
Lumba-lumba itu terbangun dan mendapati dirinya bermetamorfosis jadi perempuan berusia 20 tahun.
“Ceritakan sebuah kisah untukku,” pintanya setengah memaksa.
Aku masih dalam kebingungan. Aku tidak tahu sedang berada di mana, atau apa yang harus kulakukan (atau apa yang sudah kulakukan). Yang aku tahu adalah bahwa aku sekarang sedang sekasur bersamanya. Dan kami sedang berada dalam sebuah kamar, dari suasanya seperti dalam kamar penginapan. Semuanya serba putih: kasur, bantal, selimut, cat tembok, bingkai jendela, langit-langit, gorden, vas bunga, dan kembang di dalamnya. Tak semuanya putih, hanya saja cahaya matahari yang merembes jendela menerangi kamar itu begitu terangnya, menimbulkan kesan magis, hangat, sekaligus menenangkan.
Dia, lumba-lumba yang jadi perempuan berusia 20 tahun itu adalah orang yang sangat kukenal, atau mungkin lebih tepatnya dia orang terkenal.
“Ayolah, mungkin sebuah cerita pendek.”
Aku secara spontan mengambil buku di sebelahku, dan secara kebetulan sudah ada buku di sana, ‘Most Beautiful Woman in The Town’, kumpulan cerpen dari Charles Bukowski. Haruskah kubacakan karya dari penulis Amerika jorok ini? batinku. Aku tetap membuka sembarang dan membacakan salah satu ceritanya. Bukan sebuah cerita romantis, seperti sudah kuduga sebelumnya, lebih ke arah erotis. Satir dan lucu juga. Dia hanya tertawa, tanpa memberikan keluhan, atau semacam keberatan karena cerita dewasa yang kubacakan itu.
“Aku hari ini berusia dua puluh tahun. Dan aku bingung.”
“Aku kira aku tidak benar-benar memahamimu,” kataku. “Aku bukan orang pintar. Aku membutuhkan waktu untuk memahami hal-hal. Tetapi jika aku punya waktu, aku akan selalu ada untuk memahamimu. Lebih baik dari orang lain di dunia ini.“
“Bagaimana aku bisa bertemu kau kembali?”
“Sekali waktu, tulis seorang filsuf, ada sebuah waktu di mana berbagai hal dan kenangan dipisahkan oleh kedalaman metafisikal.”
Aku tak habis pikir bisa berbicara segombal dan seberani, juga sebanyak ini pada perempuan. Aku kira perbincangan antara kami berdua seperti dialog dalam novel-novel yang kubaca. Yang pasti sejurus kemudian, bibir kami saling beradu.
Mari menari bersamaku.
*
Bagaimana menulis fanfiction yang baik? Jangan lakukan ini: memasukkan dirimu sendiri dalam narasi fanfiction-mu sebagai karakter utama. Ini adalah ide buruk! Ini hanya akan menjadikannya semacam masturbasi, hanya karya narsistik untuk pemenuhan hasratmu saja. Mengalahkan niat mulia dari sebuah fanfiction.
Sialnya, atau mungkin beruntungnya, aku bukan penulis yang baik. Jadi kurasa sah-sah saja bagiku melakukan tindakan nakal ini. Begitulah, aku masih mencoba mereka-reka mimpi basah yang aku tak ingat di mana letak erotisnya itu. Dan menuliskannya dalam fiksi yang kuyakin tak sekadar fiksi. Kamu tahu kamu benar-benar mencintai seseorang, jika setelah membuatmu bahagia di dunia nyata, ia merasuk pula ke mimpimu. Tapi percayalah, aku dan lumba-lumba yang berubah jadi perempuan berusia 20 tahun itu tak sampai melakukan persetubuhan, kurasa begitu.
Ah baru kuingat, yang berbincang di dermaga kayu itu mungkin bukan lumba-lumba, tapi seorang putri duyung, dan dia tidak sedang berenang, tapi duduk di sampingku. Memori manusia memang begitu adanya, kadang saling berbenturan dengan mimpi-mimpi usang, yang pada akhirnya membentuk memori baru.
ini karangan sendiri Rip ceritanya? Asli keren menurut gw. Jempol.
Iya tapi niru-niru Haruki Murakami sih ceritanya.
Awalnya niru lama-lama bikin sendiri…. But you already get the hang of it. 😀
Ini genrenya fantasi ya rip
Lumba lumba brubah jd wanita?
Fantasi seksual sih iya.
Kok gue bacaya malah serem gitu ya. Walaupun bukan true story. Tapi tetep aja ngebayangin ada hewan bisa ngomong apalagi menjelma jadi cewek trus bersetubuh, what the fun .______.”
aku tuh kalau berunjung ke sini bingung mau komen apa, tapi baca cerita cerita karangannya okeh 😀
“Tapi percayalah, aku dan lumba-lumba yang berubah jadi perempuan berusia 20 tahun itu tak sampai melakukan persetubuhan, kurasa begitu.”
Semoga begitulah ya, hahaha…
Surealisnya keluar nih di cerita ini :hehe. Keren banget. Memang sepintas mirip dengan cerpen-cerpennya Haruki Murakami (oh, ternyata genre-nya seperti ini ya :haha), tapi ya nggak apa-apa sih, nanti juga ketemu gayamu sendiri. Surealismu dengan surealisnya dia kan beda juga. Tapi kenapa tagarnya Kinal JKT48? Perempuan dua puluh tahunan itu dia, ya? :haha.
Sastramu keren, Mas!
Kamu nakal nya jangan kelewat batas yaaaaa, main aman aja hahaha
2016 masih main aman? Duh so yesterday banget om!
fantasinya ama lumba lumba ya arip 😀
filosofi kinal dan lumba-lumba.. hmm, seharusnya kinal ebih gesrek lagi. lumba-lumba kayaknya kurang gesrek :”)
oh, oshi nya kinal.. baru ulang tahun ya~
Iya bener kurang gesrek ya, tapi emang genre romance serius ceritanya ini.
Anjir…