Darkness dan Sadomasokisme Konosuba

Ada sesuatu yang aneh pada Darkness, atau lebih tepatnya, pada Lalatina Dustiness Ford, seorang kesatria mulia yang namanya kontras dengan bayangan gelap yang ia bawa.

Kita lihat dia memanggul pedang, memancarkan aura kebajikan, dan memakai zirah kebesaran yang membuatnya tampak bagaikan simbol moralitas ksatria. Tapi kalau kita melihat lebih dekat, sebenarnya Darkness hanyalah sebuah teka-teki yang penuh kontradiksi.

Karakter dari KonoSuba ini adalah cerminan dari sisi manusia yang jauh dari kata “suci.” Dia adalah benturan antara kemurnian dan kegilaan yang ditopang oleh nafsu yang tak terkendali.

Kenikmatan Darkness dari Sadomasokisme

Darkness tak hanya menyambut derita, tapi benar-benar mengundangnya masuk seperti teman lama. Bukan untuk dicaci, melainkan untuk dinikmati—karena bagi Darkness, penderitaan itu lebih dari sekadar rasa sakit; itu adalah keintiman.

Coba kita pikirkan apa artinya bagi seorang ksatria yang, alih-alih gemetar saat menghadapi bahaya, malah menyeringai dengan penuh harap.

Seseorang mungkin mengenakan baju baja, menyebut diri mereka pejuang kebaikan, dan memegang teguh kode etik. Namun, di balik itu semua, ada kebutuhan tersembunyi yang hanya bisa dipenuhi oleh rasa sakit dan penghinaan. Darkness tidak berbeda.

Dalam hal ini, Darkness adalah antitesis seorang ksatria tradisional—ksatria yang menyelamatkan, melindungi, dan mengalahkan monster demi kebaikan. Darkness datang bukan untuk menang, melainkan untuk kalah, dan menikmati setiap detik dari kekalahan itu.

Dia takluk bukan karena kelemahan, melainkan karena kenikmatan. Melawan monster dan kejahatan bukanlah tujuannya. Baginya, bertarung adalah peluang untuk menerima pukulan, menjadi korban, merasakan ketidakberdayaan dalam bentuk paling telanjang.

Darkness tidak mencari pembebasan dari rasa sakit, tetapi menemukan makna dalam penderitaan itu sendiri. Dalam hidup yang penuh dengan aturan, kepura-puraan, dan kebohongan sosial, Darkness menolak semua itu dan hidup dengan menghidupi apa yang ia inginkan secara mendalam, bahkan jika itu berarti merasakan setiap tamparan dan hinaan sebagai tanda dari kesadaran hidup yang lebih sejati.

Bagi Darkness, luka-luka di tubuhnya bukan sekadar bekas pertempuran; itu adalah jejak dari gairah hidup yang tak bisa dia dapatkan dari hal lain. Sakit bukanlah masalah. Malah, sakit adalah sesuatu yang dirindukan, sesuatu yang membuat hidup lebih nyata.

Darkness adalah pecandu rasa sakit, dan lebih dari itu, pecandu rasa tunduk. Di dunia yang memperbudak orang-orang dalam rutinitas dan ekspektasi, Darkness menemukan kemerdekaan dalam menyerah, dalam menerima ketidakberdayaan secara sukarela.

Dalam serial penuh humor dan absurd ini, Darkness tetap menjadi karakter yang tidak bisa dianggap serius. Tapi di balik tawa yang dilahirkan dari ketidakmampuannya dalam bertarung dan hasratnya yang aneh, ada sisi manusia yang sangat realistis.

Kebutuhan akan derita dan penghinaan sebagai jalan menuju pemenuhan diri adalah cerminan dari sisi kelam yang ada dalam diri setiap orang. Pada titik di mana kesenangan dan penderitaan bergabung, di mana jiwa manusia terlihat paling rentan dan, ironisnya, paling hidup.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1889

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *