11 Februari 1963. Di tengah musim dingin paling dingin sepanjang seratus tahun di London, Sylvia Plath mati. Mematikan diri, tepatnya. The Bell Jar, novelnya yang rilis bulan sebelumnya, enggak terlalu dapat sambutan bagus. Di lain pihak, suaminya Ted Hughes yang seorang penyair makin terkenal di kancah dunia sastra dan berencana mengajak wanita simpanannya untuk liburan di Spanyol, sementara Sylvia harus merawat anak-anak mereka dalam flat yang begitu dingin. Sylvia ditemukan tewas setelah memasukan kepalanya ke dalam oven, dengan gas dihidupkan.
Para profesional di bidang kejiwaan masih berdebat soal diagnosis spesifik. Bipolar atau manik-depresif adalah dugaan paling banyak. Ada yang menyebut tindak bunuh dirinya lebih karena PMS yang parah. Terlepas dari label apapun, sang penyair ini sudah beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri sebelum akhirnya berhasil di usia tiga puluh tadi. Sepanjang hidupnya, ia punya perilaku sembrono dan enggak rasional dan perlu antidepresan untuk membuatnya bisa melalui hari-harinya. Sylvia berjuang keras untuk hidup. Ini mungkin pembelaan, tapi saya pikir, dia tidak mati karena dia lemah atau memiliki kegagalan moral. Dia meninggal karena sistem yang gagal ketika dia paling membutuhkannya. Dia meninggal karena dia sangat sakit dan enggak memiliki perawatan yang tepat. Bunuh diri seperti Seneca, Jack London, Ernest Hemingway, Virginia Woolf, Yukio Mishima, Yasunari Kawabata, David Foster Wallace, dan kawan penulis lain, yang sudah dan yang akan.
Sylvia Plath adalah jawaban ketika ditanya siapa penulis favorit saya. Novel satu-satunya, cerita pendeknya, puisi-puisinya, meski saya enggak paham soal puisi, apalagi jurnal hariannya begitu saya sukai. Nah, berikut beberapa kutipan yang saya terjemahkan dari The Unabridged Journals of Sylvia Plath.
1
Aku tak akan pernah bisa membaca semua buku yang kuinginkan; Aku tidak akan pernah bisa jadi orang yang kuinginkan dan menjalani kehidupan yang kuinginkan. Aku tidak akan pernah bisa melatih diri dalam semua keterampilan yang kuinginkan. Dan mengapa aku ingin? Aku ingin hidup dan merasakan semua nuansa, nada dan variasi pengalaman mental dan fisik yang mungkin dalam hidupku. Dan aku begitu terbatas.
2
Aku memiliki pilihan untuk aktif dan senang tanpa henti atau pasif dan sedih bermawas diri. Atau aku bisa jadi gila karena memantul di antara keduanya.
3
Aku terlalu menyukai orang atau tidak sama sekali. Aku harus turun lebih dalam, menjatuhkan diri ke orang tersebut, untuk benar-benar mengenal mereka.
4
Aku menginginkan hal-hal yang akan menghancurkanku pada akhirnya.
5
Kehidupan adalah beberapa kombinasi kebetulan dalam dongeng dan joie de vivre dan kejutan yang cantik secara bersamaan dengan selingan sikap mempertanyakan diri sendiri yang menyakitkan.
6
Aku tidak percaya kalau Tuhan sebagai seorang ayah yang baik di langit sana. Aku tidak percaya bahwa kelemahlembutan akan mewarisi bumi: kelemahlembutan diabaikan dan diinjak-injak. Mereka terurai di tanah berdarah karena perang, bisnis, seni, dan mereka membusuk dalam tanah hangat di bawah hujan musim semi.
7
Jika aku tidak berpikir, aku akan jauh lebih bahagia; jika aku tidak memiliki organ seks, aku tidak akan goyah di ambang kegugupan dan berurai air mata sepanjang waktu.
8
Mengapa aku terobsesi dengan ide bahwa aku dapat membenarkan diri lewat menerbitkan naskah? Apakah ini sebuah sikap melarikan diri – alasan atas kegagalan sosial – sehingga aku bisa bilang, “Tidak, saya tidak keluar ke banyak kegiatan ekstrakurikuler, tapi saya menghabiskan banyak waktu menulis.”
9
Jadi aku diarahkan pada satu atau dua pilihan. Dapatkah aku menulis? Bisakah aku menulis jika aku cukup berlatih? Berapa banyak yang harus aku korbankan untuk bisa menulis, sebelum aku mengetahui kalau aku memang bisa?
10
Hari ini akan menjadi studi mengasyikan jika aku cakap soal arus kesadaran. Pikiranku mencoba setiap trik untuk menghindari tugas membosankan.
12
Dan ada kekeliruan soal eksistensi: gagasan bahwa seseorang akan selalu bahagia selamanya dan mengiyakan sebuah situasi atau serangkaian prestasi yang didapat. Mengapa Virginia Woolf bunuh diri? Atau Sara Teasdale – atau perempuan brilian lainnya – punya penyakit neurotik? Apa tulisan mereka adalah sublimasi (oh dunia yang mengerikan) dari keinginan dasar dan mendalam?
13
Suatu hari, Tuhan tahu kapan, aku akan menghentikan kesia-siaan absurd, perilaku mengasihani diri sendiri, kemalasan, keputusasaan ini.
14
Aku ingin menulis karena aku punya dorongan untuk unggul dalam salah satu media penerjemahan dan ekspresi kehidupan. Aku tidak bisa puas dengan pekerjaan kolosal hanya untuk hidup.
15
Tak ada harapan untuk “jadi hidup” jika kau tidak menulis catatan.
16
Begitu banyak kerjaan, bacaan, pikiran, yang harus dilakukan! Seumur hidup tidak cukup panjang.
17
Yang paling ngeri adalah gagasan jadi seseorang yang tidak berguna: terdidik, menjanjikan, dan memudar saat usia pertengahan yang acuh tak acuh.
18
Aku tahu cukup banyak apa yang aku suka dan tidak suka; tapi tolong, jangan tanyai aku soal siapa aku.
19
Aku iri pada orang-orang yang berpikir lebih dalam, yang menulis lebih baik, yang lebih menarik, yang bermain ski lebih baik, yang terlihat lebih baik, yang hidup lebih baik, yang mencintai lebih baik daripada aku.
20
Aku tersenyum, kali ini, berpikir: kita semua suka berpikir kita cukup penting untuk perlu psikiater.
21
Sesuatu yang mengerikan untuk ingin hilang dan tidak ingin pergi ke mana-mana.
22
Aku mungkin tidak akan pernah bahagia, tapi malam ini aku puas.
23
Apakah siapa saja di mana saja bahagia?
alim ah :p
tapi setuju sih lingkungan bisa mengaruhin kondisi mental.
Suka point 8 di atas
Depresi produktif, ntap kang !
Depresi dan proses kreatif ada irisannya. Banyak seniman yg depresif dan berakhir bunuh diri, dan banyak dari mereka yg justru saya sukai. Itu foto screencap dari Oldboy, dan di film itu dia bunuh diri, pas ngeliat adegan dia lagi baca buku ini udah ketebak banget mau kemana.
mantap kang postingnya..
saya mulai menilik bahwa karakter sastra itu sifatnya mengawang-awang, peduli pada inti, kedalaman dan hakikat sehingga terkadang disangka menyimpang padahal sastra tidak peduli cangkang..
apakah benar??
mohon rekomendasi buku sastra yang menurut kang arip keren & bikin gila
salam burung^^
Kalau pake definisi paling awal, sastra itu cara menyampaikan kebenaran lewat kebohongan. Ga terlalu peduli sih.
2666-nya Roberto Bolano sama Misteri Perawan Kubur-nya Abdullah Harahap.