Dewata dan Residensi ala Thoreau

dewata jalan makadam gunung tilu momotoran

Beragam skenario horror berdesakan di ubun-ubun, beberapanya imajinasi sumbangan dari H.P. Lovecraft dan Abdullah Harahap: seorang kawan hilang diculik dedemit, jalanan yang enggan mengarah kemana pun, pohon tumbang, bandit dengan celurit karatan menghadang di depan, ada makhluk mengerikan yang mengintai di balik pepohonan, yang sembunyi dan akan tampil tepat di depan wajah saat berbalik, apakah itu ular raksasa penghuni Gunung Tilu, atau harimau siluman, atau surili bertentakel, atau bahkan Tyrannosaurus Rex yang terlempar dari periode Cretaceous, atau batuan di jalan makadam yang berserikat jadi monster Golem setinggi tiga kaki. Kegelapan dan keterasingan selalu membobol kotak pandora dalam kepala. Nyatanya, selama dua jam perjalanan pulang dari Dewata ke Rancabolang, hanya menyisakan pegal-pegal, kantung kemih yang perlu dikuras dan keinginan untuk membakar rokok.

Sejujurnya, karena selalu memikirkan skenario terburuk, dan tumpukan bacotan dari para pemikir, justru saya bisa kalem. Dengan tetap fokus menunggang kuda besi di jalan makadam tadi, saya malah terus menyibukkan diri memikirkan Mythologies-nya Roland Barthes yang baru rampung setengah. Hantu-hantu yang lebih mengancam bernama mitos-mitos kontemporer dan alienisasi, justru menanti di belantara kota, bukan dalam kegelapan hutan.

Saya menyedot rokok lebih dalam. Rokok mungkin adalah dupa, mengundang apapun yang melayang di udara untuk bertamu ke dalam pikiran. Saya selalu memikirkan sebuah rumus: bahwa kebahagiaan itu merupakan hasil dari realita yang dibagi dengan ekpektasi. Artinya, cara untuk berbahagia adalah dengan mengubah realita agar sesuai ekpektasi, lebih bagus lagi melebihinya. Atau, karena opsi pertama begitu sukar, yang termudah adalah dengan menurunkan ekpektasi, sesuatu yang lebih mudah, meski kadang enggak mudah, untuk diubah. Rumus ini pun dipakai untuk meredakan ketakutan. Karena setiap ketakutan berasal dari segala yang tak terjelaskan, maka selalu pikirkan skenario terburuk yang terjelaskan. Ah, saya terdengar seperti seorang motivator ketimbang eksistensialis. Lebih baik menyimpan energi yang tersisa, ada empat motor yang harus diturunkan dari truk.

Meski masih berada di kawasan hutan lindung Gunung Tilu, dan untuk mencapai minimarket terdekat di Ciwidey masih lama lagi, setidaknya jalan makadam sepanjang 14 km terlewati. Semua kawan sampai dengan utuh, seperti empat pion saya yang lengkap masuk dalam game Ludo yang dimainkan tadi saat magrib masih di Dewata. Dengan kesabaran dan taktik sedikit Machiavellian, ditambah keberuntungan, saya jadi jawara dalam permainan yang telah ada sejak dinasti Mughal India itu. Rute Dewata-Rancabolang ibarat jalur petak-petak memutar yang harus dilalui pion Ludo dengan telaten dan penuh perhitungan, bedanya enggak ada persaingan, dan semua berjalan beriringan.

Kalau sebentar saja di Dewata, saya bisa sebijak ini, mungkin harus ada program residensi menyepi di kaki Gunung Tilu. Pantas saja, pendaki gunung semodel Fiersa Besari lihai memproduksi untaian prosa genit.

Dewata di Kedalaman Gunung Tilu

Kelebatan hutan hujan dataran tinggi yang didominasi saninten, rasamala, kiputri, pasang, teureup, puspa, kondang, tunggeureuk di kanan kiri bakal menyambut kita saat memasuki kawasan cagar alam Gunung Tilu. Kawasan ini mencakup tiga kecamatan, yakni Ciwidey, Pasirjambu, dan Pangalengan, dengan kawasan berbukit bergunung di ketinggian 1.150–2.344 meter di atas permukaan laut. Ditetapkan sebagai cagar alam pada 1978, Gunung Tilu menjadi rumah setidaknya bagi bajing, monyet ekor panjang, owa jawa, kijang, lutung, burung dederuk, perkutut, dan ular sanca. Di kawasan inilah perkebunan teh Dewata terletak.

Kemungkinan besar, sejak dibuka pada 1932, jalan menuju perkebunan teh Dewata selalu merujuk pada Practical Essay on the Scientific Repair and Preservation of Roads-nya John McAdam. Satu-satunya rute paling memungkinkan saat musim hujan, hanya lewat jalan makadam yang masuk dari Pasirjambu ini. Berbeda dengan Alex White dan Darby Stanchfield dalam dokumenter cum iklan Pure Leaf yang menggunakan mobil offroad, mereka enggak bisa merasakan previlase pemicu adrenalin bernama momotoran di jalur makadam.

Dewata, saya pikir pilihan paling tepat untuk mempraktekkan satu buku Henry David Thourea, Walden; or, Life in the Woods. Teks itu merupakan cerminan hidup sederhana di alam, karya tersebut merupakan bagian deklarasi pribadi tentang kemerdekaan, eksperimen sosial, pengembaraan spiritual, satire, dan sampai tingkat tertentu, sebuah manual untuk kemandirian.

Pertama kali diterbitkan pada tahun 1854, Walden merinci pengalaman Thoreau selama dua tahun, dua bulan, dan dua hari di sebuah pondok yang dibangunnya di dekat kolam Walden, di tengah hutan yang dimiliki oleh teman dan mentornya Ralph Waldo Emerson. Thoreau menggunakan waktu ini untuk menulis buku pertamanya, A Week on the Concord and Merrimack Rivers. Thoreau mengobservasi berbagai fenomena alam, bukan hanya secara metaforis dan puitis, juga sama ilmiahnya. Dengan menarik diri dari masyarakat, Thoreau justru bisa mendapatkan pemahaman masyarakat yang lebih obyektif melalui introspeksi diri. Hidup sederhana dan kemandirian adalah tujuan lain Thoreau, dan keseluruhan proyek terinspirasi oleh filsafat transendentalis, tema sentral Periode Romantik di Amerika.

Nampaknya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Komite Buku Nasional perlu mencoba upaya Thoreau ini, mengirim para penulis selama berbulan-bulan ke kedalaman Gunung Tilu, menjauhkannya dari kebisingan kehidupan urban dan polusi distraksi. Lagipula, perkebunan teh Dewata menyediakan mes yang bisa diinapi, dan orang-orang baik yang siap membantu tanpa pamrih. Terdengar kampungan? Bukankah kampungan merujuk pada mereka yang menolak tunduk pada mekanisme pasar dan budaya hedonis serta ketergesaan manusia modern.

 

 

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1880

3 Comments

  1. kalo bukan penulis, macam saya, kira-kira boleh/bisa ikut bakal-program menyepi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Komite Buku Nasional kang? 😀

  2. Salam kenal, Kang. Artikelnya menarik, dengan ragam kosakata yang menambah wawasan. Semoga saya juga kesampaian bertualang ke Gn Tilu suatu hari nanti 🙂

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *