Novel metropop, apalagi teenlit, selalu bikin saya alergi, untuk kemudian menjauhinya. Tapi sialannya, nggak tau kenapa saya menikmati roman picisan bikinan si Pidi Baiq ini. Kuat membacanya sampai habis.
Ya, Dilan ini adalah sebuah novel romansa berlatar SMA, tepatnya kisah cinta-cintaan sepasang siswa dan siswi SMAN 8 Bandung (nama sekolahnya nggak disebut di novelnya), yaitu antara Dilan sang Panglima Tempur XTC (nama geng motornya juga nggak disebut di novelnya) dan si cantik Milea Adnan Hussain. Mereka berdua resmi berpacaran pada 22 Desember 1990, yang dinyatakan sah secara lisan dan tulisan di atas kertas bermeterai.
“Tujuan pacaran adalah untuk putus. Bisa karena menikah, bisa karena berpisah.” Dan di tahun 1991, duo sejoli tadi mengakhiri hubungan pacaran mereka. Yang menyisakan suatu momen indah, yang hanya layak untuk dikenang.
Cinta itu indah. Jika bagimu tidak, mungkin karena salah milih pasangan.
Soal cipta-cipta kata, Imam Besar The Panasdalam ini nampaknya gabungan antara Heidegger, Yasraf, dan Vicky Prasetyo. Banyak celotehannya yang kemudian jadi kutipan-kutipan yang lucu namun sarat muatan filosofisnya. Dan ya, saya berani beli buku ini karena ke-Pidi Baiq-an penulisnya. Karena selain hiburan pengocok perut, saya suka jalan filsafatnya si Surayah, “Ya Allah, mudah-mudahan ini sederhana. Tetapkanlah pikiran kami selalu melangit, dan dengan hati yang terus membumi.”
Lihat: Saya Bertanya, Pidi Baiq Bermain
Saya suka Dilan karena dia semacam perwujudan dari sang Pidi Baiq sendiri. Dalam dalam novel ini si Dilan diceritakan dalam sudut pandang neng geulis Milea.
Jika buku pertama menceritakan soal masa PDKT Dilan ke Milea, maka buku kedua soal ketika mereka berpacaran yang berujung putus. Dan sebuah rahasia umum, PDKT lebih indah ketimbang pas pacarannya, maka novel yang jilid 1 setingkat lebih asyik ketimbang yang kedua ini. Oh ya, bagi yang mau baca review Dilan 2 yang lebih bagus dari postingan saya ini, bisa baca pos ‘Sedikit Cerita, Sebelum Lupa’ dari Ratu Vienny yang juga nongol sebagai komentator di cover belakang novel ini.
Dilan dan Bandung Awal 90an
Piye kabare, enak zamanku to? Bukan! Saya nggak ada maksud pengen kembali ke Orde Baru. Dan nggak pula ingin membangga-banggakan soal generasi dan kehidupan medio 90an. Tapi memang, masa lalu selalu sukses memunculkan kenangan indah, rasa nostalgia.
Ah Bandung di medio 90an. Bandung yang masih ada tempat nongkrong bernama Palaguna, sementara Bandung Indah Plaza baru muncul. Bandung yang masih sejuk, yang lalu lintasnya masih jarang macet. Bandung yang belum banyak terinfeksi penyakit metropolitan. Dan lewat Dilan ini, kita menikmati momen yang sudah jadi sejarah itu. “Dan, Bandung, bagiku, bukan cuma masalah geografis. Lebih jauh dari itu melibatkan perasaan.”
Dan soal Buahbatu, meski bukan di warung Bi Eem, saya sering loh nongkrong di sana, ngeliatin dedek-dedek SMA almamaternya si Dilan, Milea, Piyan, Wati, dan Akew (alm). Emang cantik-cantik sumpah, nggak kebayang gimana ya cantiknya Milea Adnan Hussain. Cantikan siapa ya jika dibandingin Viny JKT48?
dua novel yg masih satu kesatuan ya?
Iya yg kedua ini baru rilis tahun ini.
Yeahh…. Bandung 90-an memang asik dari segi kesejukan. Palaguna jadi bintang mal yang ngehit.
Saya juga gak suka novel menye2, tapi gak tau kalo baca karya Pidi Baiq ini.
Pengalaman pribadi nya kang?
Kalau sudah pernah nyicipin karya Pidi Baiq dan bisa adaptasi, pasti suka juga yg ini. Apalagi kalau punya ‘sense of Sunda’ mah, humornya bakal kerasa pisan.
Setuju. Dilan #1 lebih asik 🙂
Karena PDKT lebih asyik ketimbang kalau udah dapetnya.
Pertamanya, saya penasaran soal seberapa jauh Bandung di awal 1990-an lebih sejuk ketimbang Bandung hari ini :hehe. Hm… saya belum pernah membaca karyanya Pidi Baiq dan saya penasaran dengan bagaimana bahasanya :)). Sepertinya novel ini menarik, tentang bagaimana seorang filsuf membahas kisah cinta anak SMA :hehe.
Yg paling kerasa perubahannya sih semenjak dibuka Tol Cipularang, mungkin ini jadi konduktor penghantar panasnya ibukota bisa sampai ke Bandung. 😆
Nah, bisa jadi Mas :hehe.
Jadi, bagus ya, bukunya. Pernah baca karya Pidi Baiq yg lain– Drunken Monster. Tp gak trllu suka. Mungkin krn tata bahasa dan cara berceritanya dlm tulisannya yg sengaja tak beraturan. Tp lucu juga
Memang gaya bahasanya kayak Melayu lama yang biasa digunakan sama Sutan Takdir Alisyahbana. Aneh nyeleneh emang. Tapi kalau Dilan ini bahasanya kayak bocah gitu, ga kayak di Drunken.
Jadi penasaran ingin baca karyanya Pidi Baiq..
penasaran pengen baca dehhh
Waduh baca reviewnya bikin pengen segera meluncur ke gramedia
Nahhhhh jadi penasaran kan *nabung duluuuu
wuh novel ini romantismenya beda banget sama novel yang lain
gw belom baca yang pertama 🙁
mau review milea suara dari dilan (dilan 3)nya dong
INI NOVEL DIANGKAT DARI KISAH NYATA ATAU ENGGA? SOALNYA ADA YANG GANJAL, SAYA MENCRI DAFTAR ALUMNI TAHUN 1991 TIDAK ADA YANG BERNAMA MILEA ADNAN HUSSAIN
Kenapa ga tanya langsung aja sama Surayah biar lebih jelasnya? Mungkin bisa ketemu di Kantin Nasion.
Kalau menurut saya sih inspirasinya emang dari kisah nyata, beberapa kejadian ada yg ditambah-tambah atau dikurangin.
Beneran sudah baca daftar alumni nya?
Yakin. Beneran sudah baca daftar alumni nya? Sma 8 Bandung tahun 1991?
Di situ dkisahkan mereka jadian kelas 2 bulan desember 1990, jadi lulus SMA nya ya bulan Juni 1992 dong.
Tapi tertulis di novel tgl lahir milea Okt ’72 dan ayah Pidi sendiri Agus’ 72 (klo bener ini kisah pribadi si Surayah). Menurut aku ketuaan utk angk lulus SMA th 1992, kecuali pernah tinggal kelas. Ayah saya saja angkt 1991 lahir ’73. Dan infonya Pidi Baiq memang mahasiswa FSRD ITB angkt masuk Th. 1991,..katanya.
naek deui memori teh bandung era 89 s/d 96 nuju raos-raosna ameng k alun-alun mall palaguna,romano, SMAN8 jl. solontongan pa payun payun sareng SMKN3 ayeunamah tos macet jl. buah batu matak males ah ku macetna
Lalucu da barudak SMA 8 teh (baheula)