Dio dan Novelnya yang Boleh Kamu Percaya

Salah satu tugas pertama penulis, tegas Aan Mansyur, adalah membunuh klise! Maka, jika masih memakai protagonis penyuka kopi – sungguh ini sudah sebasi tema senja dalam puisi, janganlah menulis fiksi (kecuali jika kau sudah benar-benar hebat yang mampu menggarap tema-tema pasaran macam begini). Dan Sabda Armandio Alif, menegaskan kepenulisannya, karena belum hebat tadi, dengan menghadirkan sosok protaganis yang berbeda: penyuka mie instan goreng. Dilihat dari diferensiasi ini aja, novel perdana Dio ini layak dibaca.

Sebenarnya sudah lama saya membaca KAMU (Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya), tapi berhubung baru kemarin saya mengangkat novel ini untuk Riungan Buku Komunitas Aleut! dan saya pun belum menuliskan resensinya, maka enggak ada salahnya saya ulas novel jenis coming-of-age yang masuk 5 Buku Terbaik 2015 versi majalah Rolling Stones Indonesia ini. Jujur, dulu saya beli novel ini, kagok aja sih kalau cuma ambil kumpulan fiksimini terjemahannya Ronny Agustinus, yang sama-sama dari Moka Media.

riungan buku komunitas aleut
riungan buku komunitas aleut
riungan buku komunitas aleut

Ya, dari beragam ulasan yang berserak, novel ini disebut-sebut banyak terpengaruh gaya Murakami. Ya, saya pun setuju akan ini, tapi saya punya tambahan: bukan hanya Haruki Murakami, tapi Ryu Murakami juga (dalam blog Dio, ada cerpen dari kedua Murakami ini). Duo Murakami tadi kental terasa pada dwitunggal tokoh utama yang masih bocah SMA pada novel Dio ini. Dari sosok sang narator yang penyuka mie goreng tadi, ini mengingatkan kita pada tokoh Haruki Murakami yang doyan spaghetti. Sang narator digambarkan tanpa ambisi, mengaliri hidup apa adanya. Sementara tokoh Kamu, teman dari sang narator, mewarisi sifat tokoh yang boleh dibilang anarkis. Jika Haruki seorang absurdis yang ingin berusaha melakukan koping dengan realita masyarakat, maka Ryu ingin menghancurkannya, seperti tokoh aku dan Kamu. Bagai Yin dan Yang. Meski sayangnya, unsur esek-esek andalannya duo Murakami tadi enggak bakal ditemukan di novel Dio ini. Padahal kan, kesadaran tertinggi manusia sebenarnya, kalau ditilik secara psikologis dan spiritual, ada dalam hasrat seksual, jelas Mang Zen RS suatu kali saat menerangkan soal Marquis de Sade dan Enny Arrow. Apalagi remaja, minimal coli sambil baca manga hentai atau nonton JAV atau mimpi basah lah. Atau jangan-jangan, Dio sengaja, naratornya seorang aseksual!

Jika diibaratkan Murakami adalah seorang adek, maka Albert Camus adalah abangnya. Dan memang, Dio sendiri banyak terinspirasi dari Camus. Misalnya, ketika narator mengomentari orangtuanya yang tewas terbakar: “Keduanya, dilihat sekilas, sama matangnya”. Atau saat menanggapi dengan dingin mantan pacarnya yang hendak bunuh diri. Ini selintas sangat mirip nuansanya dengan kalimat pembuka dalam Orang Asing: Hari ini ibu meninggal. Atau mungkin kemarin, aku tidak tahu.

Saya rasa, bagi Dio, novel ini semacam personal literature – gaya penulisan yang menyesaki rak-rak genre remaja di toko buku, tentunya dibikin dalam bentuk fiksi a la Dio. Tokoh aku dan Kamu sangat mungkin adalah Dio dan dirinya sendiri. Lebih jauh, novel ini sebagai sarana masturbasinya seorang Dio untuk menelanjangi dirinya sendiri (aing sok kenal sama Dio ya).

Novel ini berpusat antara narator, Kamu, dan Datsun Bluebird kuning tahun 1979, yang mengarungi bolos sekolah selama tiga hari berturut-turut. Kita diajak menertawakan, mengutuki, dan memikirkan ulang beragam hal. Di samping itu, seperti fungsi lagu latar dalam film, Dio menambahkan musik-musik (favoritnya, mungkin) untuk menemani perjalanan kita. Daftar putar lagu-lagu yang disebut, yang sudah saya susun di Youtube ini bisa disetel pas baca novel ini. Meski, saya sendiri waktu baca mah nyetelnya Coltrane, SNSD, sama JKT48 sih.

Selain narator dan Kamu, tokoh-tokoh lain yang dihadirkan enggak terlalu menarik bagi saya. Entah ini disengaja atau apa. Tapi saya sedikit suka, juga benci lebih tepatnya, sama tokoh Johan, yang membuat saya teringat pada Noboru Wataya dalam The Wind-Up Bird Chronicle. Karakter berwatak kolot, culas dan oportunis. Antagonis yang berebut Permen, gadis gebetan Kamu. Kalau diolah lebih baik, rasanya konflik dengan si Johan bisa jadi sesuatu yang asyik. Tapi, sekali lagi, entah ini disengaja atau apa, mungkin Dio ingin novelnya mengalir tanpa konflik berarti dan agar biar enggak terkesan cinta-cintaan abg, mungkin. Tokoh polisi pembaca Agatha Christie yang sok bijak juga membuat saya sedikit tertarik, apalagi ketika beberapa hari ke belakang, bukan dalam dunia fiksi, seorang polisi yang nongkrong di Kedai Preanger menanyakan apakah ada buku Nietzsche.

Kalau Doraemon punya pintu ke mana saja, menurutku, tulis Viny JKT48 dalam catatan blognya, buku adalah versi nyatanya. Di novel ini, kita dipandu Holden Caulfield untuk mengubek-ubek Bogor dalam metafiksinya Dio. Selain itu, kita diajak mengintip keunikan pikiran serta cara karakter-karakternya yang remaja dalam memandang dunia, menyoroti pilihan-pilihan yang mereka ambil, keyakinan, keragu-raguan, cinta, kesedihan, amarah. Sebab menjadi dewasa adalah proses penting yang pasti dialami, namun belum tentu dipahami oleh semua orang.

Dari segi kebaruan, novel perdana dari pemuda kelahiran Tangerang, 18 Mei 1991 ini memang pantas diacungi jempol. Tapi ada sesuatu yang membuat saya kurang menikmatinya, entah apa, mungkin karena waktu itu saya membacanya berbarengan dengan Hard Boiled Wonderland and the End of the World-nya Haruki Murakami. Maaf ya Dio (sok imut pisan anying).

Selain Dio, kita juga perlu menyoroti fungsi dari penyuntingnya, Dea Anugerah, yang saya sukai esai Efek Proust (Pindai, Oktober 2015) dan cerpennya Kisah Sedih Kontemporer (Media Indonesia, Desember 2014). Dio dan Dea bisa jadi semacam sejoli literary brother, angin segar dalam generasi saya (aing sok penting ya), kalau dalam animanga One Piece boleh lah disandingkan dengan Super Rookie, Generasi Terburuk itu. Ah ya, dan enggak lupa penyunting akhirnya, Dedik Priyanto, semoga kalau sekiranya dicetak ulang, sudah ada komentar Viny di belakang novel ini ya.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1910

12 Comments

  1. Mungkin membacanya berbarengan dengan buku lain (Hard Boiled Wonderland and the End of the World-nya Haruki Murakami.) ada benarnya, sedikit membingungkan dicampur dengan lainnya.

    Ibarat seseorang bermain Tenis berbarengan dengan main badminton, “cengkok” tekukan tangannya beda banget.

  2. Ngakak baca paragraf pertama, terutama kalimat “sebasi tema senja dalam puisi”, karena saya masih sering melakukannya. 😀

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *