Kalau nasib boleh diadu, kisah Dipati Ukur jauh lebih tragis ketimbang Eddard Stark. Pulau Jawa abad ke-17 serupa Westeros, dan kisah di dalamnya lebih bengis dan asyik ketimbang Game of Thrones. Analoginya, Sultan Agung di Mataram sebagai Lannister yang berkuasa di Singgasana Besi, Kumpeni di Batavia sebagai White Walker, dan Dipati Ukur sebagai Stark yang terhimpit di tengah.
Sudah sejak abad ke-17, beberapa puluh tahun setalah Dipati Ukur mati, orang menulis riwayatnya, biasanya sebagai bagian dari babad atau sejarah yang lebih luas. Enggak ada tokoh lain dalam sejarah Sunda yang telah menarik begitu banyak penulis untuk menceritakan riwayatnya, walaupun masing-masing penulis punya motif berlainan.
Dalam pandangan orang Sunda, terutama orang Priangan, Dipati Ukur merupakan masalah yang aktual hingga hari ini, masih belum selesai diperbincangkan. Sekelompok masyarakat memandang Dipati Ukur sebagai tokoh sejarah semata, tapi kelompok lain memandangnya sebagai tokoh legendaris, dan bahkan tokoh mitos. Pada satu pihak Dipati Ukur dipandang sebagai tokoh pemberontak, pengacau dan pada pihak lainnya sebagai tokoh pahlawan, pembela rakyat.
Dalam disertasinya yang sudah dibukukan Cerita Dipati Ukur: Karya Sastra Sejarah Sunda, Edi S. Ekajati menyebutkan bahwa ada lebih dari dua puluh buah naskah yang menyinggung-nyinggung Dipati Ukur, yang kesemuanya dapat dibagi jadi delapan buah versi yaitu versi Galuh, Sukapura, Sumedang, Bandung, Talaga, Banten, Mataram, dan Batavia.
Nama Dipati Ukur menunjukan bahwa dia itu seorang Adipati di Tatar Ukur. Tatar dalam bahasa Sunda berarti tanah atau wilayah. Sedangkan Adipati adalah gelar bupati. Tatar Ukur menjadi wilayah yang penting ketika Dipati Ukur diangkat oleh Sultan Agung menjadi wedana Bupati Priangan pada awal abad XVII, menggantikan kedudukan Rangga Gede, Bupati Sumedang.
Pada awal abad ke-17, Priangan berada di bawah jajahan Mataram sebagai akibat politik perluasan wilayah yang dijalankan Sultan Agung. Tujuan Sultan Agung konon hendak mempersatukan Pulau Jawa, sebagian besar cita-citanya sudah terlaksan. Hanya tinggal Banten, dan ia terhalang oleh adanya Kompeni di Batavia.
Dipati Ukur sebagai wedana para bupati di daerah Priangan diperintahkan membantu penyerangan pasukan Mataram ke Batavia. Untuk melaksanakan tugas penyerangan, Dipati Ukur dibantu sembilan umbul yang tediri dari: Ki Tumenggung Batulayang, Ki Demang Saunggatang, Ki Ngabehi Yudakarti dari Taraju, umbul Malangbong, umbul Medang Sasigar, umbul Cihaur Mananggel, umbul Kahuripan, umbul Sagaraherang dan umbul Ukur.
Menurut perjanjian dengan komandan pertempuran Tumenggung Bahureksa dari Mataram, maka pasukan Dipati Ukur akan menunggu di Karawang. Karena terlalu lama menanti Bahureksa dan pasukannya yang tak sampai-sampai, Dipati Ukur memutuskan untuk langsung menyerang Batavia dengan pasukannya yang berjumlah sepuluh ribu.
Sayang, mereka kalah kuat. Kumpeni tetap berjaya di Batavia. Bahureksa tiba di Karawang, dan enggak ada sambutan dari Dipati Ukur.
Dipati Ukur menyadari bahwa sebagai konsekuensi dari kegagalan misinya di Batavia, ia akan mendapat hukuman berat dari raja Mataram. Apalagi Bahureksa yang melapor pada Sultan Agung bahwa kegagalan ini disebabkan Dipati Ukur yang enggak sabaran.
“Yah, sama saja kita akan mati,” tegas Dipati Ukur pada bawahannya. “Baik tetap setia kepada Mataram ataupun berontak. Sekarang marilah kita bangun tempat tinggal dan pertahanan di Gunung Lumbung serta mengumpulkan kawan di seluruh Priangan.”
Namun ada yang menolak ajakan Dipati Ukur: Ngabehi Wirawangsa dari umbul Sukakerta, Ngabehi Samahita dari umbul Sindangkasih, Ngabehi Astramanggala dari umbul Cihaurbeuti dan Uyang Sarana dari umbul Indihiang. Bukan hanya menolak, mereka juga melaporkan ulah Dipati Ukur itu pada bos besar di Mataram.
Sultan Agung memerintahkan Bahureksa untuk menangkap Dipati Ukur, dan keempat umbul tadi dijadikan sebagai penunjuk jalan.
Setelah dua setengah tahun bergulat, Bahureksa berhasil menangkap Dipati Ukur. Menurut salah satu versi, Dipati Ukur tak tertangkap, melainkan menyerahkan diri, dengan hamba setianya yang wajahnya mirip.
Bersama dengan dua ribu orang laki-laki dan wanita pengikutnya, Dipati Ukur dibawa ke Mataram. Dipati Ukur dihukum mati. Begitu pula seribu pengikutnya yang laki-laki: dipenggal, dibakar, digodok, diiris kecil-kecil sampai mati dan ditumbuk badannya sampai luluh, dan siksaan lain. Sedangkan keseribu orang wanita dikandangkan ke dalam istana dan jadi selir bagi para priyayi.
Sebagai akibat dan hadiah dari kematian Dipati Ukur, wilayah Tatar Ukur kemudian dibagi-bagi oleh Sultan Mataram kepada pihak yang berjasa membantu memadamkan pemberontakan ini. Wilayah Batulayang, Cihaur Manenggel dan Medang Sasigar diberikan kepada Ki Tumenggung Tanubaya. Sedangkan wilayah umbul Ukur, Kahuripan dan Sagaraherang diberikan kepada Tumenggung Wiraangun-angun. Tiga umbul wilayah Ukur yang tersisa yaitu Saunggatang, Taraju dan Malangbong dianugerahkan bagi Tumenggung Wiradadaha.
Bersama Sukapura dan Parakanmuncang, Kabupaten Bandung lahir melalui Piagam Sultan Agung Mataram, yaitu pada tanggal 9 bulan Muharram tahun Alif atau sama dengan hari Sabtu tanggal 20 April 1641 Masehi.