Cerpen Terjemahan: “Dua Lelaki Tiba di Sebuah Desa” Karya Zadie Smith

Kadang-kadang dengan menunggang kuda, kadang-kadang dengan berjalan kaki, di dalam mobil atau di atas sepeda motor, kadang-kadang dalam sebuah tank—jauh keluar dari barisan pasukan utama—dan untuk sekarang dan selanjutnya dari atas, dengan helikopter. Tapi jika kita melihat gambaran terbesarnya, pandangan terjauh, kita harus mengakui bahwa mereka sebagian besar melakukannya dengan berjalan kaki, dan dalam hal ini, setidaknya, contoh kami ini bersifat mewakili; pada kenyataannya, ini punya kesempurnaan sebagai cerita parabel. Dua orang tiba di sebuah desa dengan berjalan kaki, dan selalu sebuah desa, tidak pernah sebuah kota. Jika dua orang tiba di sebuah kota mereka jelas akan tiba dengan lebih banyak orang, dan jauh lebih banyak perlengkapan—ini pikiran praktisnya. Tapi ketika dua orang tiba di sebuah desa senjata yang mereka bawa mungkin cuma tangan mereka sendiri yang gelap atau terang, tergantung, meskipun paling sering mereka akan membawa di tangan mereka semacam pisau, tombak, pedang panjang, belati, pisau lipat, parang, atau hanya pisau cukur tua berkarat. Kadang-kadang pistol. Ini tergantung, dan akan terus tergantung. Apa yang kita dapat katakan dengan yakin adalah bahwa ketika kedua orang ini tiba di desa kita bakal lihat mereka sekaligus, pada titik horizon di jalan panjang mengarah ke desa lain yang bertemu matahari terbenam. Dan kita mengerti apa maksud kedatangan pada saat seperti ini. Matahari terbenam, secara historis, menjadi waktu yang baik untuk dua orang, di mana pun mereka telah tiba, karena saat matahari terbenam kita semua sedang diam bersama: perempuan yang baru saja kembali dari gurun, atau peternakan, atau kantor kota, atau pegunungan bersalju, anak-anak bermain pasir dekat kandang ayam atau di taman komunal di luar blok apartemen yang menjulang tinggi, anak-anak berbaring di bawah naungan pohon-pohon jambu mete, mencari perlindungan dari panas mengerikan—jika mereka tidak di negeri yang jauh lebih dingin, berloncatan di bagian bawah jembatan rel kereta api—dan, yang paling penting, barangkali, gadis-gadis berusia belasan berada di luar di depan gubuk atau rumah mereka, mengenakan celana jeans atau sari atau kerudung atau rok mini Lycra mereka, membersihkan atau menyiapkan makanan atau menggiling daging atau saling balas pesan singkat di ponsel mereka. Tergantung. Dan para lelaki berbadan sehat belum kembali dari mana pun mereka telah pergi.

Malam, juga punya keuntungannya sendiri, dan tidak ada yang bisa menyangkal bahwa dua orang telah tiba di tengah malam dengan menunggang kuda, atau bertelanjang kaki, atau berboncengan di atas motor Suzuki, atau naik di atas jip komando pemerintah, karena ada unsur kejutannya. Tapi kegelapan juga memiliki kelemahan, dan karena kedua orang selalu tiba di desa-desa dan tidak pernah di kota-kota, jika mereka datang pada malam mereka hampir selalu bertemu dengan kegelapan mutlak, di mana pun di dunia ini atau seberapa panjang sejarah daerah tersebut kau pasti mendapatinya. Dan dalam kegelapan seperti itu kamu tidak bisa benar-benar yakin pergelangan kaki siapa yang kamu genggam: seorang nenek yang tua, seorang istri, atau seorang gadis yang baru beranjak dewasa.

*

Tak perlu dikatakan bahwa salah satu laki-laki itu tinggi, agak tampan—dengan cara yang cabul—sedikit kusam dan ganas, sementara pria satunya lebih pendek, berwajah musang, dan licik. Singkatnya, pria pendek licik ini bersandar pada tumpukan Coca-Cola yang menandai pintu masuk ke desa dan mengangkat tangan dengan sapaan ramah, sementara temannya mengeluarkan serpihan kayu kecil yang ia miliki, sementara itu, sedang mengunyah sesuatu, meludahkannya ke tanah, dan tersenyum. Mereka bisa juga sedang bersandar pada tiang lampu dan mengunyah permen karet, dan bau sup asam broscht menguar di udara, tapi di desa kami, kami tidak membuat broscht—kita makan couscous dan ikan pindang dan itulah bau yang ada di udara, ikan pindang, yang bahkan sampai hari ini kami hampir tidak tahan menciumnya karena mengingatkan kami pada hari ketika kedua orang itu tiba di desa.

Yang tinggi mengangkat tangan memberi salam ramah. Di mana saat itu gadis sepupu dari istri kepala desa—yang kebetulan melintasi jalanan panjang yang mengarah ke desa lainnya—merasa dia tidak punya pilihan selain berhenti di hadapan si pria jangkung, dengan parangnya yang berkilauan terkena terik matahari, dan si gadis mengangkat tangan, meskipun seluruh lengannya bergetar saat ia melakukannya.

Kedua pria ingin tiba dengan cara ini, dengan ucapan yang terkesan ramah, dan ini mungkin mengingatkan kita pada fakta bahwa semua manusia, tidak peduli apa yang mereka lakukan, sangat menyukai agar dirinya disukai, bahkan jika itu hanya sejam atau lebih sebelum akhirnya mereka ditakuti atau dibenci—atau mungkin akan lebih baik untuk mengatakan bahwa mereka menyukai rasa takut yang mereka ciptakan untuk mengaburkan hal-hal lain, seperti hasrat atau rasa ingin tahu, bahkan jika, dalam simpulan terakhir, ketakutan selalu menjadi apa yang mereka inginkan. Masakan dipersiapkan untuk mereka. Kami menawarkan makanan pada mereka atau mereka sendiri yang menuntutnya, tergantung. Di lain waktu, di lantai empat belas gedung apartemen terlantar yang tertutup salju—di sebuah desa yang tinggal secara vertikal—dua orang itu akan selonjoran di sofa keluarga, di depan televisi mereka, dan menonton siaran pemerintahan baru, pemerintah baru yang baru saja didirikan berkat kudeta, dan dua orang akan menertawakan pemimpin baru mereka itu, yang berbaris ke atas ke bawah di tengah-tengah parade dengan topi konyol, dan saat mereka tertawa mereka akan merangkul bahu gadis paling dewasa agar sama-sama menonton televisi, dengan cara yang dibuat bersahabat tapi sedikit terlalu erat, sementara si gadis menangis. ( “Bukankah kita teman?” si pria jangkung kusam akan bertanya padanya. “Bukankah kita semua teman di sini?”)

Ini adalah salah satu cara mereka tiba, meskipun mereka tidak tiba seperti itu di sini, kami tidak memiliki televisi di sini dan tidak ada salju dan tidak pernah tinggal dalam bangunan lebih dari satu lantai. Namun efeknya sama: keheningan mencekam dan sikap awas. Gadis lain, yang lebih muda, membawa piring makanan untuk dua orang, atau, seperti kebiasaan di desa kami, sebuah mangkuk besar. “Enak betul, anjing!” si jangkung tampan yang agak bodoh berseru, meraup ikan pindang dengan jari kotor, dan si kecil licik berwajah tikus berkata, “Ah, ibuku sering bikin yang ginian, semoga Tuhan selalu melindungi si tua menyebalkan itu!” dan ketika mereka makan mereka menarik seorang gadis ke pangkuan masing-masing sementara wanita yang lebih tua akan menjatuhkan dirinya sendiri pada dinding kompleks dan menangis.

*

Setelah makan, dan minum-minum—jika itu adalah sebuah desa yang mengijinkan minuman beralkohol—dua orang itu akan berjalan-jalan ke sekeliling, untuk melihat apa yang harus dilihat. Ini adalah waktu untuk mencuri. Kedua laki-laki akan selalu mencuri barang-barang, meskipun untuk beberapa alasan mereka tidak suka menggunakan kata ini dan, karena mereka mendekatimu untuk meminta jam tangan atau rokok atau dompet atau telepon atau anak gadismu, si pendek, biasanya, akan mengatakan hal-hal serius seperti “Terima kasih hadiahnya” atau “Kami menghargai pengorbanan kalian,” meskipun kemudian membuat si jangkung tertawa dan dengan demikian merusak efek bermartabat yang si pendek berusaha untuk capai. Di beberapa titik, ketika mereka bergerak dari rumah ke rumah, mengambil apa pun yang mereka inginkan, bocah laki-laki pemberani akan melompat keluar dari balik rok ibunya dan mencoba untuk mengalahkan si pria pendek licik. Di desa kami bocah ini berusia empat belas tahun yang kami semua biasa memanggilnya Raja Kodok, dengan alasan bahwa sekali waktu, saat ia berusia empat atau lima tahun, seseorang bertanya tentang siapa yang paling kuat di desa kami dan ia menunjuk kodok jelek besar di halaman dan berkata, “dia, Raja Kodok,” dan ketika ditanya mengapa menjelaskan, “Karena ayah saya sendiri ketakutan!” Pada usia empat belas ia memang pemberani tapi ceroboh, inilah mengapa ibunya yang berpinggul lebar itu berpikir untuk menyembunyikannya di belakang roknya seolah-olah si bocah masih bayi. Tapi ada hal seperti keberanian fisik, yang nyata, yang gigih, yang sangat sulit untuk dijelaskan, ada di tiap daerah di sini, di sana, dan di mana-mana, dan meskipun hampir selalu tidak berguna itu masih sesuatu yang tidak akan mudah kamu lupakan setelah kamu melihatnya—seperti wajah yang sangat rupawan atau pegunungan raksasa, yang membuat harapan yang kamu miliki menjadi tak berbatas—dan, karena merasakan ini juga, mungkin, si jangkung kusam akan mengangkat parang berkilauannya dan, dengan gerakan sederhana tanpa usaha yang sama layaknya yang kamu lakukan saat mencabut kepala bunga, memisahkan anak itu dari hidupnya.

*

Setelah darah telah tumpah, terutama darah yang tak sedikit, semacam keliaran tercipta, sebuah kekacauan berdarah, yang membuat semua sikap formal dari mulai sambutan dan makanan dan ancaman tampak langsung lenyap. Lebih banyak minuman umumnya diambil pada saat ini, dan anehnya adalah bahwa para lelaki dewasa di desa—yang, meskipun laki-laki tangguh, tidak punya pertahanan—sekarang akan sering mengambil botolnya sendiri, minum-minum dan sesenggukan, untukmu dibutuhkan keberanian tidak hanya untuk melakukan kekacauan berdarah tetapi juga untuk duduk dan hanya menonton semua itu terjadi. Tapi wanita! Betapa bangganya kami, kalau dipikir-pikir, para wanita kami, yang berdiri dalam formasi, lengan saling berangkulan satu sama lain, melingkar di sekitar gadis-gadis kami, sementara si pria jangkung kusam menjadi gelisah dan meludah ke lantai—”Ada apa dengan para sundal ini? Penantian sudah berakhir. Lebih lama lagi dan aku akan terlalu mabuk”—dan si pendek licik membelai wajah gadis sepupu istri kepala desa (istri kepala desa sedang di desa sebelah, mengunjungi keluarganya) dan berbicara dengan nada rendah penuh konspirasi tentang bayi-bayi yang lahir dari rahim revolusi. Kami memahami bahwa wanita telah berdiri sejak zaman kuno, di samping batu putih dan laut biru, dan baru-baru ini di desa-desa yang mendewakan gajah dan di banyak tempat lainnya, yang lama dan yang baru. Namun, ada sesuatu yang menggerakan keberanian tak berguna para wanita kami pada saat itu, meskipun tidak bisa menahan dua lelaki tadi untuk tiba di desa dan melakukan perbuatan buruk itu—tidak pernah dan tidak akan pernah—dan datang saat-saat yang singkat ketika si jangkung kusam tampak gentar dan tak yakin, seakan wanita yang sekarang meludahinya adalah ibunya sendiri, yang segera setelah itu si pendek licik menendang wanita yang meludah tadi di pangkal pahanya dan formasipun bubar dan kekacauan berdarah kembali terjadi untuk kembali pada kondisi sebelumnya.

*

Hari berikutnya cerita tentang apa yang terjadi diceritakan kembali, secara parsial, versi yang rusak yang berubah-ubah tergantung pada siapa yang bertanya: seorang prajurit, seorang suami, seorang wanita dengan sebuah clipboard, pengunjung dari desa sebelah yang begitu penasaran, atau istri kepala desa, yang telah kembali dari adik iparnya. Kebanyakan akan menempatkan penekanan besar pada pertanyaan tertentu—”Siapa mereka?””Siapa orang-orang ini?””Siapa nama mereka?””Apa bahasa yang mereka pakai?””Apa tanda yang ada di tangan dan wajah mereka?”—tapi di desa kami, kami sangat beruntung karena tak memiliki birokrat yang kaku melainkan istri kepala desa, yang adalah, ketika semua yang dia katakan dan lakukan, lebih seperti seorang kepala desa kami ketimbang kepala desa sebenarnya. Dia tinggi dan cantik dan licik dan berani. Dia percaya pada ga haramata, angin yang bertiup kadang panas, kadang dingin, tergantung, dan yang semua orang menghirupnya—kamu tidak bisa tidak untuk menghirupnya—walaupun beberapa orang akan menghembuskannya dengan sangat tak nyaman. Baginya, orang-orang menjadi tidak lebih seperti ga haramata, mereka kehilangan diri mereka sendiri, nama dan wajah mereka, dan tidak bisa lagi mengklaim bahwa mereka terbawa pusaran angin, merekalah anginnya. Hal ini tentu saja metafora. Tapi dia hidup dengan itu. Dia langsung pergi ke gadis-gadis dan meminta kesaksian mereka dan menemukan seorang yang, didorong oleh sikap simpatik yang ditunjukan istri kepala desa ini, menceritakan kisahnya secara penuh, yang paling akhir dan paling aneh, singkatnya, tentang si pendek licik yang berpikir dirinya jatuh cinta dan, setelah itu, meletakkan kepala berkeringatnya di dada telanjang gadis ini, mengatakan kepadanya bahwa si pendek ini juga adalah seorang yatim piatu—meskipun itu sulit bagi si pendek, karena ia telah yatim piatu selama bertahun-tahun bukan sejam dua jam—dan bahwa si pendek juga memiliki nama dan kehidupan dan bukan monster tapi bocah laki-laki yang telah menderita seperti yang dialami semua lelaki lain, dan telah melihat kengerian dan sekarang hanya ingin punya bayi dari gadis di desa kami ini, punya banyak bayi laki-laki, yang kuat dan tampan, dan bayi perempuan juga, ya, mengapa tidak perempuan! Dan tinggal jauh dari desa-desa dan kota-kota lain, dengan bala prajurit dari anak-anak tadi mengelilingi dan melindungi pasangan ini di sepanjang hari. “Dia ingin aku tahu namanya!” gadis itu berseru, masih dibuat heran oleh gagasan tersebut. “Dia tidak punya rasa malu! Dia mengatakan dia tidak ingin berpikir bahwa ia telah menerobos desa saya, memakai tubuh saya, tanpa peduli sebutan orang lain untuk tindakannya. Ini mungkin bukan nama dia sebenarnya tapi dia mengatakan namanya adalah—”

Tapi istri kepala desa kami berdiri tiba-tiba, meninggalkan ruangan, dan berjalan keluar menuju halaman. ♦

+

Diterjemahkan dari Two Men Arrive in a Village, karya Zadie Smith, penulis perempuan dari Inggris keturunan Jamaika,  yang dimuat di The New Yorker edisi Juni 2016.

Judul dan cerita, seperti yang disebutnya dalam Zadie Smith on Stories That Implicate Everybody, muncul tiba-tiba saat dia duduk di kafe di Calgary, Kanada. Cerita ini menelusuri peristiwa yang terungkap setelah dua orang tiba di sebuah desa tertentu, namun juga memiliki kecocokan narasi universal dalam deskripsinya—orang-orang ini bisa muncul dalam setiap komunitas, di benua mana pun, kapan pun, dengan membawa kekacauan dan kekerasan.

Penulis berzodiak scorpio ini enggak suka workshop menulis, dan enggak pernah ikut satu pun, karena menurutnya cara terbaik belajar menulis adalah dengan membaca. Workshop menulis hanya ditujukan untuk orang-orang yang membutuhkan terapi dengan menulis saja.

*

Foto: Richard Mosse

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1882

One comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *