Dua Ribu Lima Belas

Berada di penghujung tahun, bagi saya, seperti saat mencapai halaman terakhir novel Haruki Murakami. Kau bingung, mencoba mengingat awal perjalananmu, apa saja yang terjadi, dan kenapa berakhir seperti ini. Yah kau berakhir hampa, sendiri dan penuh pertanyaan. Kau baru sadar bulan telah Desember, tidak percaya kalau itu adalah halaman terakhir yang kau baca. Entahlah, mungkin ini cuma saya rasakan sendiri, atau mungkin kebanyakan dari kita.

Bagaimanapun, saya selalu menenangkan diri, bahwa tak ada bedanya antara pergantian tahun dengan pergantian bulan, atau hari, atau jam, atau menit, atau bahkan detik sekalipun. Bahwa waktu terus melaju, selalu berganti. Tapi tetap, soal pergantian ini sering mengganggu pikiran saya (ah ya, saya memang dasarnya kebanyakan mikir). Tentu saja, karena saya si pemalas yang tak becus mengatur waktu, dan inilah yang bikin pusing kepala—atau setidaknya membuat saya larut dalam melankolik. Ada saat-saat saya merasa seperti satelit Sputnik yang kesepian melayang-layang di ruang hampa, tanpa gravitasi, tanpa ada yang bisa dipegang, tersesat, uh.

Oke, saya tak secanggih Murakami soal mendeskripsikan perasaan dalam narasi-narasi indah penuh metafor. Jadi, jika ingin memahami perasaan saya lebih jauh, itupun kalau mau, silahkan baca karyanya penulis hipster Jepang itu. Mungkin bisa dimulai dengan mencicipi cerpen-cerpennya yang telah saya terjemahkan. Ya, saat ini saya tengah gandrung menerjemahkan cerpen. Dan di pengakhiran tahun ini saya menemukan seorang penulis dari Amerika Latin, Roberto Bolano namanya (dan ada cerpennya yang sudah saya terjemahkan, tentu), yang membuat saya kepikiran untuk menarasikan perjalanan setahun kebelakang lewat gaya berceritanya. Jadi beginilah:

Si A bukanlah pria yang menarik, dilihat dari segi manapun. Jika tak ada yang menarik, kau mungkin berpikir, lantas apa yang mau diceritakan? Satu hal yang pasti, di usianya yang ke-22 muncul mimpi untuk jadi seorang penulis, utamanya novelis. Cita-cita yang telah timbul sejak lama, dua-tiga tahun kebelakang sebenarnya, namun si A mulai bersungguh-sungguh (mungkin “bersungguh-sungguh” ini bukan kata yang tepat) memantapkan dirinya untuk jadi novelis. Begitulah, si A ini ingin membikin novel, barang yang diacuhkan orang-orang di negeri malas baca ini. Bagaimanapun, si A, di usia 22-nya ini, yakin bahwa suatu hari bisa menerbitkan novel, namun dia merasa untuk tidak usah terburu-buru. A selalu membayangkan dirinya protagonis dalam karya-karya penulis Jepang favoritnya, Haruki Murakami. A membaca salah satu novelnya, Sputnik Sweetheart, kemudian menemukan (atau mempersamakan) dirinya seperti Sumire, tokoh yang diceritakan sedang galau dalam pergulatannya untuk menjadi novelis dan kegamangan jatuh cinta kepada sesama jenisnya. Si A, merasa seperti tokoh Sumire, juga jatuh cinta pada seseorang, cinta searah, mustahil timbul percintaan. Si A jatuh cinta pada salah satu member JKT48, Devi Kinal Putri, meski sebenarnya A tak terlalu peduli-peduli amat dengan girl group tersebut. Sebabnya, A merasa Kinal seperti sosok ibunya, disamping, tentu saja, gadis itu cantik.

A menetapkan ingin menjadi novelis, mungkin bermula saat memasuki tahun 2015. Saat pergantian tahun itu, A sedang dalam kuliah lapangan di RSUD Sumedang. A seorang mahasiswa keperawatan, dan masih berstatus aktif sampai sekarang. Aku tak mau hidupku dihabiskan begini-begini saja, batin A saat masa dinasnya itu, aku ingin seperti Agatha Christie saja, perawat yang jadi penulis itu. A sebenarnya tak merasa telah salah jurusan, meski kadang-kadang dia membayangkan dirinya bisa kuliah di fakultas di sampingnya (Fakultas Keperawatan diapit antara Fakultas Komunikasi dengan Fakultas Sastra). A ingin bekerja di Jepang, yang paling mungkin menjadi Kangofukushisi, perawat di panti jompo. Jadi A tak merasa menyesal kuliah di sana. Mahasiswa keperawatan, tapi bacaannya sastra dan politik, seorang kenalan A berkelakar di depannya. Baik! Aku ingin seperti Agatha Christie, yakin A, perawat yang jadi penulis itu!

Meski telah bertahun-tahun menjadi seorang narablog, rupanya A sangat kesulitan untuk menulis bentuk fiksi. A mencari beragam tips-trik menulis. Dan A menemukan lewat jalan menerjemahkan karya luar, dia bisa menulis fiksi lebih baik, meniru Haruki Murakami, atau Pramoedya Ananta Toer, atau Eka Kurniawan (dan dari penulis bernama Eka ini A tahu jalan penerjemahan adalah solusi baginya).

Jika aku ingin jadi novelis, pikir A, tentu aku harus gila baca juga! Maka, kau akan mendapati A sedang berada di sana, di kedai kopi dengan pesanan segelas teh tarik atau susu panasnya, masyuk membaca novel—dari yang kacangan sampai yang bertitel sastra.

Maafkan! Saya memang benar-benar pendongeng yang buruk, kalau saja jadi Syahrazad di “Kisah Seribu Satu Malam”, pasti saya sudah dipenggal, dicincang, dan dijadikan pakan anjing-anjing liar. Dan beginilah penampakan terakhir dari makhluk bernama si A itu.

toru watanabe i am walrus arip

Beginilah kalau sekiranya Toru Watanabe mendengarkan The Beattles, tapi lagunya “I Am The Walrus“, bukannya “Norwegian Wood“. Oh maafkan!

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1909

12 Comments

  1. Ungkapan mimpi dalam perjuangan, betapa doyannya saya dengar/baca kisah dari teman seumuran yang sedang dihempas dunia nyata sambil memegang idealisme.

    Aku pengen ngajak toss kang arip. Semoga tahun depan mimpi2 ini masih menyala.

  2. Waduh posenya penuh kepercayaan diri :haha, walrus boy! *kabur*.
    Semoga mimpi-mimpinya bisa tercapai sebagai pengkarir keperawatan dan pendamba komunikasi sastra, ya! Keren memang Agatha Christie itu–saya juga suka membaca karya-karyanya :)). Saya sih yakin, selama tahun ini ada pencapaian yang pernah dilalui, ini berarti waktu yang berjalan tahun ini tidaklah sia-sia.
    Semangat terus!

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *