Cerpen Terjemahan: “Duniazát” Karya Salman Rushdie

Pada tahun 1195, sang filsuf besar Ibnu Rushdi, menjabat sebagai qadi, atau hakim, di Sevilla dan belakangan diangkat jadi dokter pribadi khalifah Abu Yusuf Yaqub di istananya di kota Córdoba, secara resmi didiskreditkan dan dicela karena ide-ide liberalnya, yang tidak dapat diterima oleh kaum fanatik Berber yang semakin kuat menyebar seperti wabah penyakit di lingkungan Arab Spanyol, yang kemudian dikirim untuk tinggal di pengasingan domestik di desa kecil Lucena, sebuah desa tempat bermukim orang-orang Yahudi yang tidak bisa lagi mengatakan diri mereka adalah orang Yahudi karena mereka telah dipaksa masuk Islam. Ibnu Rushdi, seorang filsuf yang tidak lagi diizinkan untuk menjelaskan filsafatnya, yang semua tulisannya dilarang dan dibakar, merasakan berada di rumah sendiri justru saat bersama orang-orang Yahudi yang tidak bisa mengatakan diri mereka adalah orang Yahudi itu. Dia sebelumnya merupakan favorit dari Khalifah dalam dinasti yang berkuasa saat ini, Dinasti Almohad, tapi yang namanya favorit bakal ketinggalan jaman juga, maka Abu Yusuf Yaqub tak bisa mengelak untuk mengizinkan para fanatik untuk mendesak sang juru tafsir terbesar Aristoteles ini ke luar kota.

Filsuf yang tidak bisa membicarakan filsafatnya ini tinggal di seberang jalan sempit tak beraspal di sebuah rumah sederhana dengan jendela kecil dan sangat kesesakan karena ketidakadaan cahaya. Dia membuka sebuah praktek medis di Lucena, dengan statusnya sebagai mantan dokter Khalifah ini menarik beragam pasien; di samping itu, ia menggunakan modal yang ia punya untuk masuk dalam usaha kecil-kecilan perdagangan kuda, dan juga untuk membiayai pembuatan tinajas, gerabah besar, yang oleh orang-orang Yahudi yang bukan lagi Yahudi itu pakai untuk menyimpan dan menjual minyak zaitun juga anggur. Suatu hari tak lama sejak awal pengasingannya, seorang gadis berusia sekitar enam belas tahun muncul di luar pintu, tersenyum ramah, tidak mengetuk atau berusaha menarik perhatiannya lewat cara apapun, dan hanya berdiri di sana menunggu dengan sabar sampai Ibnu Rushdi menyadari kehadirannya dan menyilahkan masuk gadis itu. Gadis itu mengatakan kepada Ibnu Rushdi bahwa ia baru saja jadi anak yatim piatu, bahwa ia tidak memiliki sumber pendapatan, tetapi memilih untuk tidak bekerja di rumah bordil, dan diketahui namanya Dunia, yang tidak terdengar seperti nama seorang Yahudi karena dia tidak diizinkan untuk menyebut nama Yahudinya, dan, karena dia buta huruf, dia tidak bisa menuliskannya. Dia mengatakan kepada Ibnu Rushdi bahwa seorang musafirlah yang telah menyarankan nama itu dan mengatakan bahwa itu bahasa Yunani yang berarti “bumi,” dan gadis itu menyukainya. Ibnu Rushdi, sang penerjemah Aristoteles, tidak berdalih dengan gadis itu, mengetahui bahwa itu berarti “bumi” sudah cukup tanpa perlu merasa untuk menyombongkan pengetahuannya. “Mengapa engkau menamakan dirimu dunia?” Tanya Ibnu Rushdi, dan gadis itu menjawab, dengan menatap matanya saat berbicara, “Karena dunia akan mengalir dariku dan orang-orang yang mengalir dariku akan tersebar di seluruh dunia.”

Menjadi seorang yang selalu berpikir rasional, Ibnu Rushdi tak menduga bahwa gadis itu adalah makhluk supranatural, seorang jin, dari suku jin perempuan: seorang putri agung dari suku itu, yang sedang dalam perjalanan keduniawian, mengejar ketertarikannya pada laki-laki dari golongan manusia pada umumnya dan yang brilian, khususnya. Ibnu Rushdi menerimanya dalam pondok sebagai pembantu rumah tangga sekaligus kekasihnya, dan di malam sunyi gadis itu berbisik padanya tentang “nama asli” Yahudinya—bisa dikatakan ini palsu—ke telinga Ibnu Rushdi, dan itu menjadi rahasia mereka. Sang jin bernama Dunia ini punya kesuburan yang spektakuler setelah nubuatannya telah terpenuhi. Dalam dua tahun, delapan bulan, dan dua puluh delapan hari, dia hamil tiga kali dan melahirkan banyak anak, setidaknya tujuh anak pada tiap kelahiran, dan pada satu kesempatan ada sebelas, atau mungkin sembilan belas; catatannya tidak begitu jelas. Yang pasti semua anak-anaknya mewarisi sesuatu yang paling khas: mereka tidak punya daun telinga.

Jika saja Ibnu Rushdi mempelajari arcana okultisme, ia akan tahu lebih awal bahwa anak-anaknya yang lahir kemudian adalah keturunan dari ibu yang bukan manusia, tapi ia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri untuk menyadarinya. Sang filsuf yang tidak bisa berfilsafat ini takut bahwa anak-anaknya akan mewarisi hadiah masygul baik itu dari harta maupun kutukannya. “Menjadi kurus, penglihatan jauh, dan lidah longgar,” katanya, “adalah untuk merasa terlalu tajam, melihat terlalu jelas, bicara terlalu bebas. Hal ini rentan bagi dunia ketika dunia percaya bahwa dirinya kebal, untuk memahami perubahan ketika dunia berpikir bahwa dirinya takkan berubah, untuk merasakan apa yang akan terjadi sebelum orang lain merasakan hal itu, untuk mengetahui bahwa masa depan yang barbar sedang menghancurkan gerbang masa sekarang sementara yang lain tengah berpegang teguh pada masa lau yang dekaden dan keropos. Jika anak-anak kita beruntung, mereka hanya akan mewarisi telingamu saja, tapi, sayangnya, karena tak dapat disangkal mereka juga keturunanku, mereka mungkin akan berpikir terlalu banyak-terlalu cepat dan mendengar terlalu banyak-terlalu dini, termasuk hal-hal yang tidak diizinkan untuk dipikirkan atau didengarkan.”

*

“Ceritakan sebuah kisah untukku,” Dunia sering menuntut di tempat tidur di hari-hari awal mereka hidup bersama. Ibnu Rushdi dengan cepat menemukan bahwa meskipun tampak remaja, Dunia bisa menjadi seorang yang sangat menuntut dan berpendirian keras, di tempat tidur maupun di lain hal. Ibnu Rushdi adalah seorang pria besar, dan Dunia seperti burung kecil atau serangga ramping, tapi Ibnu Rushdi sering merasa bahwa Dunia justru lebih kuat. Dunia adalah sukacita bagi usia tua Ibnu Rushdi, tapi Dunia menuntut darinya tingkat energi yang sulit untuk Ibnu Rushdi sediakan. Kadang-kadang yang ingin Ibnu Rushdi lakukan di tempat tidur adalah tidur, tapi Dunia melihat usahanya untuk tidur itu sebagai tindak permusuhan. “Jika kau begadang sepanjang malam untuk bercinta,” kelakar Dunia, “kau benar-benar akan mendapat istirahat yang lebih baik ketimbang jika kau mendengkur selama berjam-jam seperti lembu. Ini rahasia umum.” Di usia Ibnu Rushdi saat ini, tidak mudah untuk masuk dalam kondisi yang diperlukan untuk melakukan aktivitas seksual, terutama untuk malam yang berturut-turut, tapi Dunia melihat masalah gairah orang tua sebagai bukti bahwa Ibnu Rushdi sudah tidak mencintai Dunia lagi. “Jika kau menemukan seorang wanita yang menarik, itu tak jadi masalah,” katanya. “Tidak peduli berapa banyak malam berturut-turut. Aku, aku selalu kapalan. Aku selalu bergairah—aku tak bisa berhenti.”

Penemuan Ibnu Rushdi bahwa semangat fisik Dunia bisa dipadamkan lewat narasi-narasi telah memberikan sebuah kelegaan. “Ceritakan padaku,” kata Dunia, meringkuk di bawah lengan Ibnu Rushdi sehingga tangannya beristirahat di kepalanya, dan Ibnu Rushdi berpikir, Baik, aku akan memulainya malam ini, dan memberinya, sedikit demi sedikit, kisah dalam pikiran Ibnu Rushdi. Dia menggunakan kata-kata yang mengejutkan banyak orang sezamannya, yang memuat “argumen,” “logika,” dan “sains,” yang merupakan tiga pilar pemikirannya, ide-ide yang telah menyebabkan buku-bukunya dibakar. Dunia khawatir pada kata-kata ini, tapi rasa takutnya ini menjadi semacam kegembiraan dan dia meringkuk lebih dekat dan berkata, “Pegang kepalaku saat kau sedang menjejalinya dengan kebohonganmu.”

Ada luka sedih dan mendalam dalam dirinya, karena Ibnu Rushdi adalah orang yang kalah, telah kalah dalam pertempuran besar dalam hidupnya dengan seorang Persia yang telah meninggal, Al-Ghazali dari Tus, musuh yang telah lama mati delapan puluh lima tahun yang lalu. Seratus tahun sebelumnya, Al-Ghazali telah menulis sebuah buku berjudul “Kerancuan dalam Filsafat,” di mana ia menyerang pemikir-pemikir Yunani seperti Aristoteles, Neoplatonis, dan sekutu mereka, prekursor besar Ibnu Rushdi yakni Ibnu Sina dan al-Farabi. Al-Ghazali memang pernah mengalami krisis kepercayaan pada satu titik, tapi telah pulih kembali dengan keyakinannya sehingga ia menjadi momok terbesar bagi filsafat dalam sejarah dunia. Filsafat, cemoohnya, tidak mampu membuktikan keberadaan Tuhan, atau bahkan membuktikan kemustahilan bahwa ada dua Tuhan. Filsafat percaya pada keniscayaan sebab dan akibat, yang mana ini merupakan penghinaan terhadap kuasa Allah, yang dengan mudah bisa melakukan intervensi untuk membuat sebab tidak efektif dan mengubah akibat jika Allah memilih begitu.

“Apa yang terjadi,” Ibn Rushdi bertanya pada Dunia saat malam membungkus mereka dalam keheningan dan mereka bisa berbicara tentang hal-hal yang dilarang, “jika korek api didekatkan dengan bola kapas?”

“Kapas itu terbakar, tentu saja,” jawabnya.

“Dan mengapa terbakar?”

“Karena memang begitu,” katanya. “Api menjilati kapas dan kapas menjadi bagian dari api. Sudah seperti itu.”

“Hukum alam,” ucap Ibnu Rushdi. “Ada sebab, ada akibat.” Dan kepala Dunia mengangguk ke bawah tangan yang membelainya.

“Dia tidak setuju,” keluh Ibn Rushdi, dan Dunia tahu bahwa yang ia maksud adalah musuhnya, Al-Ghazali. “Dia mengatakan bahwa kapas terbakar karena Allah membuatnya melakukan itu, karena di alam semesta ciptaan Allah satu-satunya hukum berlaku hanyalah kehendak Allah.”

“Jadi jika Allah ingin kapas untuk memadamkan api, atau justru jika Allah ingin api yang berubah menjadi bagian dari kapas, Dia bisa melakukan itu?”

“Ya,” kata Ibnu Rushdi. “Menurut buku Al-Ghazali, Allah bisa melakukan itu.”

Dunia berpikir sejenak. “Itu bodoh,” katanya, akhirnya. Bahkan dalam gelap Dunia bisa merasakan senyum pasrah, senyum dengan sinisme beserta nyeri di dalamnya, melengkung di wajah Ibnu Rushdi yang berjenggot.

“Dia akan mengatakan bahwa ini adalah iman yang benar,” jawabnya, “dan yang tidak setuju dengan itu akan. . . kafir.”

“Jadi apa pun bisa terjadi jika Allah memutuskan apa pun,” katanya. “Kaki seorang manusia mungkin tidak lagi menyentuh tanah, misalnya. Maka dia bisa mulai berjalan di udara.”

“Sebuah keajaiban,” kata Ibnu Rushdi, “hanya Tuhan yang bisa mengubah aturan yang Dia pilih untuk dimainkan, dan jika kita tidak memahaminya, itu karena Tuhan pada akhirnya tak terlukiskan, yang bisa disimpulkan, di luar pemahaman kita.”

Dunia diam lagi. “Misalkan aku memisalkan,” katanya, panjang lebar, “bahwa Tuhan itu tidak ada. Misalkan kau membuatku menduga bahwa ‘argumen,’ ‘logika,’ dan ‘sains’ memiliki semacam sihir yang membuat Tuhan tidak diperlukan. Bisakah kita bahkan mengira bahwa akan ada kemungkinan untuk menganggap hal seperti itu?”

Dunia merasa tubuh Ibnu Rushdi menjadi kaku. Sekarang Ibnu Rushdi takut kata-katanya, pikir Dunia, dan itu membuatnya senang dengan cara yang aneh. “Tidak,” kata Ibnu Rushdi, terlalu keras. “Itu benar-benar suatu pemikiran bodoh.”

Ibnu Rushdi telah menulis buku sendiri, “Kerancuan dalam Kerancuan,” balasan untuk Al-Ghazali yang seratus tahun dan ribuan mil jauhnya, tapi terlepas dari judulnya yang tajam itu tidak mengurangi pengaruh dari orang Persia yang telah mati itu, dan akhirnya justru Ibn Rushdi yang dipermalukan, yang buku-bukunya kemudian dilemparkan ke dalam api, yang halaman-halamannya dilalap api seperti yang telah diputuskan Allah pada saat itu bahwa api diijinkan untuk melakukannya. Dalam semua tulisannya, Ibnu Rushdi mencoba untuk merujukkan kata “argumen,” “logika,” dan “sains” dengan kata-kata “Allah”, “iman,” dan “Al-Qur’an,” tapi ia tidak berhasil, bahkan meskipun ia telah menggunakan kehalusan argumen dalam kebaikan, mencatut kutipan Al-Quran bahwa Allah harus ada karena taman duniawi yang nikmat Dia disediakan untuk manusia: dan tidak Kami turunkan hujan deras dari gumpalan awan, air mengalir ke bawah dalam kelimpahan, yang karenanya menumbuhkan jagung dan rempah-rempah dan kebun yang ditanami dengan pohon-pohon yang rindang? Dia adalah seorang tukang kebun amatir yang bersemangat, dan argumen dari syafakatnya ini baginya terasa untuk membuktikan soal keberadaan Tuhan dan kodratnya yang pada dasarnya baik hati dan bersifat liberal, tetapi para pendukung keras Allah tetap memukulinya. Sekarang dia berbaring, atau menurut yang dia percaya, dengan seorang Yahudi yang telah jadi mualaf yang telah ia selamatkan dari pelacuran dan yang tampaknya mampu melihat ke dalam mimpi-mimpi Ibnu Rushdi, di mana ia berdebat dengan Al-Ghazali dalam bahasa yang tak dapat didamaikan, bahasa yang begitu antusias, yang sangat sengit, yang akan membuatnya dihadapkan pada algojo kalau sampai ia melakukannya dalam kehidupan nyata.

*

Sejak Dunia dibanjiri anak-anak dan kemudian memindahkan mereka ke sebuah rumah kecil, hanya ada sedikit perhatian untuk “kebohongan-kebohongan” terlarang Ibnu Rushdi. Momen penuh keintiman pasangan tersebut semakin berkurang, dan uang menjadi masalahnya. “Seorang pria sejati harus menghadapi konsekuensi dari tindakannya,” kata Dunia, “terutama seorang pria yang percaya pada hukum sebab dan akibat.” Tapi membuat uang tidak pernah jadi keahlian Ibnu Rushdi. Bisnis dagang kuda itu berbahaya dan kejam, dan keuntungannya kecil. Ibnu Rushdi memiliki banyak pesaing di pasar tinaja, sehingga harganya rendah. “Naikkan biaya berobat pasienmu,” Dunia menasihatinya dengan sedikit jengkel. “Kau harus bangga pada prestisemu terdahulu, jangan lagi ternoda seperti itu. Apa lagi yang kau punya? Tak cukup cuma jadi monster pembuat bayi. Kau membuat bayi, bayi datang, bayi harus diberi makan. Itulah ‘logika.’ Itulah ‘rasional.'” Dunia tahu mana kata-kata yang bisa ia pakai untuk balik melawan. “Jangan lakukan ini,” Dunia menangis penuh kemenangan, “ini adalah ‘ketidaklogisan'”

Jin doyan pada hal-hal berkilauan, emas dan permata dan sebagainya, dan sering kali mereka menyembunyikan harta mereka di gua-gua bawah tanah. Mengapa putri jinnia ini tidak meneriakkan “Buka” di pintu gua harta tersebut dan dengannya bisa memecahkan masalah keuangan mereka saat ini? Sebabnya adalah karena Dunia telah memilih kehidupan manusia, sebagai istri “manusia” dari seorang manusia, dan dia terikat oleh pilihannya. Untuk mengungkapkan sifat sejatinya pada sang kekasih di tahap akhir seperti ini akan menjadi semacam ungkapan pengkhianatan, kebohongan, dalam hubungan mereka. Jadi Dunia tetap diam, takut Ibnu Rushdi bakal meninggalkannya.

Ada sebuah buku Persia yang disebut “Hazar Afsaneh,” atau “Seribu Dongeng,” yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dalam versi bahasa Arab, ada kurang dari seribu cerita tapi kejadiannya tersebar dalam seribu malam, atau, karena angka bulat dianggap jelek, maka dinamakan seribu satu malam. Ibnu Rushdi belum pernah melihat buku itu, namun beberapa kisah telah diceritakan kepadanya saat masih berada di istana. Kisah nelayan dan jin menarik baginya, bukan karena elemen fantastisnya (jin dalam lampu, ikan ajaib yang bicara, pangeran yang disihir jadi setengah manusia dan setengah marmer) yang menjadi keindahan teknis, tapi lebih tertarik pada cara cerita yang terlipat dalam cerita-cerita lain dan berisi cerita lainnya, terlipat dalam cerita-cerita itu sendiri, sehingga kisah tersebut seakan-akan menjadi cermin sejati kehidupan, pikir Ibnu Rushdi, dalam kehidupan semua cerita kita mengandung cerita orang lain dan diri mereka sendiri terkandung dalam cerita yang lebih besar, narasi yang lebih megah, dalam sejarah keluarga kita, atau tanah air kita, atau keyakinan kita. Yang lebih memukau dari cerita dalam cerita tadi adalah kisah sang pendongengnya, ratu bernama Shahrazad atau Syahrazad, yang mengisahkan dongeng-dongeng bagi suami pembunuhnya untuk menahan dia agar tidak memenggal kepala Syahrazad. Cerita-cerita dikisahkan untuk mengalahkan kematian, untuk membudayakan seorang barbar. Dan di kaki tempat tidur perkawinan duduk adik Syahrazad, pendengar lainnya yang sempurna, yang meminta satu cerita, dan kemudian satu cerita lagi, dan kemudian lagi. Dari adik ini, Ibnu Rushdi mendapat inspirasi nama yang bakal dia berikan untuk gerombolan bayi yang keluar dari rahim kekasihnya Dunia ini, karena si adik tadi, seperti yang dikisahkan, bernama Duniazát, “dan apa yang kita telah penuhi rumah yang gelap ini dan memaksaku untuk menaikkan biaya berobat pasienku, para orang sakit dan lemah dari Lucena, adalah kedatangan Duniazát, yaitu, suku dunia ini, ras Dunia, orang-orang dunia, yang bisa dikatakan orang-orang di dunia ini.”

Dunia sangat tersinggung. “Maksudmu,” katanya, “bahwa karena kita tidak menikah anak-anak kita tidak bisa memakai nama ayah mereka.”

Ibnu Rushdi melengkungkan senyum sedihnya. “Lebih baik mereka memakai nama Duniazát,” katanya, “nama yang berarti dunia dan tak ada stigma untuk itu. Menamakan mereka Rushdi justru akan membuat mereka tercoreng dalam catatan sejarah.”

Dunia mulai berbicara tentang dirinya seperti layaknya adik Syahrazad, selalu meminta cerita, hanya Syahrazad-nya ini seorang pria—kekasihnya, bukannya saudara sendiri—dan beberapa cerita Ibnu Rushdi bisa membuat mereka berdua dibunuh jika kata-kata itu tersiar keluar dari kegelapan kamar tidur mereka. Jadi Ibnu Rushdi adalah semacam anti-Syahrazad, ucap Dunia padanya, kebalikan dari pendongeng di “Seribu Satu Malam”: cerita Syahrazad menyelamatkan hidupnya sendiri, sementara cerita Ibnu Rushdi menempatkan hidupnya dalam bahaya. Tapi kemudian Khalifah Abu Yusuf Yaqub mendapatkan kemenangan gemilang dalam perang, memenangkan pertempuran terbesarnya, melawan Raja Kristen dari Castile, Alfonso VIII, di Alarcos di Sungai Guadiana. Setelah Pertempuran Alarcos, di mana pasukan Khalifah membunuh seratus lima puluh ribu tentara Castile, yang setengahnya tentara Kristen, Abu Yusuf Yaqub menamakan dirinya al-Mansur, Sang Pemenang, dan dengan penuh percaya diri sebagai pahlawan penakluk ia mengakhiri pengaruh fanatik Berber dan memanggil Ibnu Rushdi kembali ke istana.

*

Tanda malu itu dihapus dari alis sang filsuf tua, pengasingannya telah berakhir. Dia direhabilitasi, dipulihkan nama baiknya, dan kembali dengan kehormatan untuk posisi lamanya sebagai dokter istana, ini setelah dua tahun, delapan bulan, dan dua puluh delapan siang dan malam pengasingannya dimulai, atau bisa dikatakan, seribu siang dan malam dan satu siang dan malam; dan Dunia hamil lagi, tentu saja, dan Ibnu Rushdi belum menikahinya, tentu saja, Ibnu Rushdi tidak pernah memberi anak-anaknya nama depannya, tentu saja, dan Ibnu Rushdi tidak membawanya ke istana Almohad, tentu saja, jadi Dunia tersingkir dari sejarah—yang Ibnu Rushdi bawa bersamanya ketika dia pergi, adalah jubahnya, tabung-tabung kimia yang masih menggelegak, dan berbagai manuskrip, beberapa terikat, yang lain dalam gulungan, naskah-naskah dari buku karya orang lain, karena punyanya sendiri telah dibakar, meskipun banyak salinan yang selamat, ucap Ibnu Rushdi pada Dunia, itu tersimpan di kota-kota lain, di perpustakaan rekan-rekannya, dan di tempat-tempat di mana ia telah menyembunyikannya saat masa-masa pengasingannya, karena orang bijak selalu mempersiapkan segala dalam menghadapi kesulitan, namun, jika ia benar-benar rendah hati, semoga nasib baik mengejutkannya. Ibnu Rushdi pergi tanpa menyelesaikan sarapan atau mengucapkan selamat tinggal, dan Dunia tidak mengancamnya, Dunia tidak mengungkapkan sifat sejatinya atau kekuatan yang terkubur di dalam dirinya, tidak juga mengatakan, aku tahu apa yang kau katakan dengan keras dalam mimpimu, ketika kau kira hal itu bodoh untuk diungkapkan, ketika kau berhenti berusaha untuk mendamaikan yang tak bisa didamaikan dan berbicara kebenaran fatal yang mengerikan. Dunia membiarkan sejarah untuk meninggalkan dirinya begitu saja tanpa berusaha keras untuk menahannya, sebagaimana anak-anak yang menyaksikan parade besar yang lewat, hanya menyimpannya dalam memori mereka, sehingga itu menjadi milik mereka sendiri; dan Dunia tetap melanjutkan mencintai dia, meskipun Ibnu Rushdi telah begitu santai mencampakkannya. Kau adalah segalanya bagiku, Dunia ingin mengatakan ini kepadanya. Kau matahari dan bulanku, dan siapa yang akan memegang kepalaku sekarang, yang akan mencium bibirku, yang akan menjadi ayah untuk anak-anak kita? Tapi Ibnu Rushdi adalah orang besar yang ditakdirkan untuk lorong-lorong yang abadi, dan jeritan anak nakal ini tidak lebih dari barang buangan yang harus Ibnu Rushdi tinggalkan di belakangnya.

Diyakini kalau Dunia tetap berada di antara manusia untuk sementara waktu, mungkin berharap-harap untuk kembalinya Ibnu Rushdi, dan bahwa ia akan terus mengiriminya uang, bahwa mungkin Ibnu Rushdi akan mengunjunginya sewaktu-waktu, dan kemudian Dunia menyerah pada bisnis kuda tetapi melanjutkan bisnis tinajas. Tapi sekarang sejarah telah menetapkan selamanya pada rumahnya bahwa kisahnya menjadi sesuatu yang penuh bayangan dan misteri, jadi mungkin ini benar, sebagian orang-orang mengatakan, bahwa setelah Ibnu Rushdi meninggal rohnya kembali pada Dunia dan menjadi ayah bagi anak-anak. Orang-orang juga mengatakan bahwa Ibnu Rushdi kembali pulang membawakannya lampu dengan jin di dalamnya, dan jin itu menjadi ayah dari anak-anak yang lahir setelah ia meninggalkan Dunia—jadi kita melihat bagaimana dengan mudahnya rumor diputarbalikkan! Mereka juga mengatakan, bahwa wanita yang ditinggalkan itu memasukkan setiap pria yang berani membayar sewa, dan setiap pria yang ia gauli itu meninggalkannya anak-anak lainnya, jadilah Duniazát, keturunan Dunia, bukan lagi hanya keturunan dari bajingan Rushdi, ini hanya sebagian kecilnya, atau mungkin sebagian besarnya; menurut pandangan umum kisah hidup Dunia telah menjadi garis yang gagap, surat-suratnya berubah menjadi bentuk yang tak berarti, tidak ada yang mampu menjelaskan berapa lama Dunia hidup, atau bagaimana, atau di mana, atau dengan siapa, atau kapan dan bagaimana—jika mungkin—dia meninggal.

Tidak ada yang menyadari atau peduli bahwa suatu hari Dunia berbalik dan menyelinap melalui celah dunia dan kembali ke Peristan, realitas lain, dunia mimpi di mana jin secara berkala muncul untuk menganggu atau memberkati umat manusia. Untuk penduduk desa Lucena, Dunia tampaknya telah melebur, mungkin menjadi asap tanpa api.

Setelah Dunia meninggalkan dunia kita, yang berkelana dari dunia jin menuju dunia kita menjadi lebih sedikit jumlahnya, dan kemudian mereka berhenti datang sepenuhnya, dan celah dunia ditumbuhi semacam rerumputan karena adanya persetujuan dan semak berduri dari material kusam, sampai akhirnya tertutup sepenuhnya, dan nenek moyang kita yang tersisa harus menjalani hidupnya sebaik yang mereka bisa tanpa memakai lagi bantuan atau kutukan sihir.

Tapi anak-anak dari Dunia terus berkembang. Bisa dikatakan sangat banyak. Dan hampir tiga ratus tahun kemudian, ketika orang Yahudi diusir dari Spanyol, termasuk orang-orang Yahudi yang tidak bisa lagi mengatakan diri mereka adalah orang Yahudi, cicit-cicit dari cicit-cicitnya Dunia naik ke kapal di Cádiz dan Palos de Moguer, atau berjalan melintasi Pyrenees, atau terbang di atas karpet ajaib atau masuk guci raksasa seperti yang dilakukan kerabat jin lainnya. Mereka melintasi berbagai benua dan berlayar mengarungi tujuh samudera dan menaiki gunung-gunung tinggi dan berenang menyeberangi sungai-sungai besar dan meluncur ke lembah-lembah curam dan menemukan tempat tinggal dan keamanan di mana pun mereka bisa, dan mereka lupa satu sama lain dengan cepat, atau ingat sejauh yang mereka bisa dan kemudian lupa, atau bahkan tidak pernah lupa, menjadi keluarga yang tidak lagi persis keluarga, menjadi suku yang tidak lagi persis suku, memeluk setiap agama dan tidak memeluk satu pun agama, mereka semua, setelah berabad-abad terus berkonversi, abai terhadap asal supranatural mereka dan kisah tentang konversi paksa orang-orang Yahudi, beberapa dari mereka menjadi sangat taat sementara orang lain yang berbeda dengannya dihina kafir. Mereka adalah keluarga tanpa tempat tetapi dengan keluarga di setiap tempatnya, sebuah desa tanpa lokasi tapi bermukim di setiap tempat di dunia ini, seperti tanaman tanpa akar, lumut atau anggrek rambat, yang harus bersandar pada orang lain, tidak mampu berdiri sendiri.

Sejarah tidak berbaik hati untuk orang-orang yang meninggalkannya dan bisa pula tidak berbaik hati untuk orang-orang yang membuatnya. Ibnu Rushdi meninggal (di usia tua, atau begitulah yang kita percaya) saat bepergian di Marrakesh hampir setahun setelah masa rehabilitasi, dan tidak pernah melihat ketenarannya tumbuh, tidak pernah melihat pengaruhnya menyebar dalam bangsanya sendiri maupun ke bangsa-bangsa lain di luar, di mana komentar-komentarnya tentang Aristoteles menjadi fondasi dari kebesaran popularitasnya, pilar filsafat tak bertuhan bagi orang-orang kafir, saecularis, yang berarti jenis ide yang datang hanya sekali dalam sebuah saeculum, usia dunia, atau bisa juga sebuah ide untuk berbagai zaman, dan yang sangat tergambar dan bergema dari ide-ide yang dia bicarakan hanya dalam mimpi. Barangkali, sebagai orang yang masih percaya Tuhan, Ibnu Rushdi tidak akan pernah senang dengan sejarah yang telah mencorengnya, karena berkat nasib yang aneh untuk para kaum agama menjadikan inspirasi dari ide-ide yang tidak membutuhkan keyakinan, dan nasib asing masih untuk filsafat manusia untuk menang di luar batas-batas dunia sendiri tapi kalah dalam perbatasan mereka, karena di dunia yang ia tahu ini adalah anak-anak dari musuh yang sudah meninggal, Al-Ghazali, yang berlipat-lipat kemudian mewarisi kerajaan, sementara anak-anak bajingannya sendiri menyebar, tanpa meninggalkan namanya yang terlarang, yang kemudian mengisi bumi ini.

Sebagian besar dari yang selamat berakhir di benua besar Amerika Utara, dan banyak yang berada di dataran Asia Selatan yang besar, berkat adanya fenomena “penggumpalan,” yang merupakan bagian dari misteri tidak logis dalam distribusi acak; dan banyak dari mereka kemudian menyebar ke barat dan selatan Amerika, dan utara dan barat Asia, ke semua negara di dunia, dalam hal ini Duniazát dapat dikatakan bahwa, selain telinganya yang aneh, mereka semua memiliki kaki yang selalu gelisah. Ibnu Rushdi telah meninggal, tapi dia dan lawannya terus bersengketa satu sama lain di luar kuburnya, karena argumen dari pemikir besar tidak ada akhir, argumen itu sendiri menjadi alat untuk meningkatkan pikiran, alat yang paling tajam, yang lahir dari kecintaan pada pengetahuan, yang dinamakan filsafat.

*

Diterjemahkan dari “The Duniazát” yang dirilis di The New Yorker 1 Juni 2015. Cerpen Salman Rushdie yang dibuat sebagai pemanasan untuk novel terbarunya, “Two Years Eight Months and Twenty-eight Nights”, yang merupakan alusi dari Kisah Seribu Satu Malam. Berkisah soal dilema perang ideologi antara Ibnu Rushdie vs Imam Al-Ghazali, antara konservatif vs sekuler, antara dogma vs filsafat, bahwa hal ini sudah eksis sejak masa silam dan, kemungkinan besar, akan terus ada sampai seterusnya.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1788

6 Comments

  1. Jadi sekarang anak-anak Ibn Rushdie ini menjadi apa, Mas? Menyebar ke seluruh dunia seperti itu? Apakah bangsa jin? :hehe. Ini kisah nyatakah? Ah tapi ini cerpen… eh saya pernah dengar nama Salman Rushdie, deh. Ini yang pengarang diboikot di Frankfurt Book Fair itu, ya?

    • Iya, gara-gara novelnya The Satanic Verse (Ayat-Ayat Setan), oleh banyak ulama, ia difatwa halal untuk dibunuh.
      Dan, ya itu tadi salah satu keturunannya Rushdi dan Dunia ya bangsat bernama Salman Rushdie ini mungkin. 😆

      • Siaal. Dia kayaknya menulis ini untuk mengejek orang-orang yang tak suka padanya. Dijamin orang-orang itu tambah berang :haha.

  2. Aku pengagum berat Al-Ghazali tanpa tahu satu pun karyanya.
    Kata Al-Ghazali : “Mang Arip ulah neuleuman teuing angka nol,rada hese nulungana, wkwkwk…

  3. Selamat Pagi Mang Arip,

    Saya suka cerita yang ini, saya pernah dengar-dengar pertentangan antara Ibnu Rushdie dan Imam Al-Ghazali ini sebelumnya dalam buku pemikiran politik Barat yanng ditulis dosen UI, Ahmad Suhelmi….saya lihat-lihat Mang Arip ini rajin sekali menerjemahkan ya? Salut saya…

    Salam,

    Leo

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *