Eka Kurniawan Belajar Menulis Lewat Penerjemahan

Eka Kurniawan yang lahir di Tasikmalaya pada 28 November 1975 adalah pengarang yang disebut-sebut suksesornya Pramoedya Ananta Toer. Lulusan Filsafat UGM dan seorang Sone (fans SNSD) yang merilis karya-karya asyik: Cantik Itu Luka, Lelaki Harimau, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, dan banyak lainnya.

Tulisan ini merupakan catutan dari gabungan serta gubahan pos Belajar Menulis Melalui Penerjemahan dan Apa Sih, yang Dilakukan Penulis Hebat? dari blog Eka Kurniawan.

*

Dulu, demi belajar menulis (karena enggak ada kelas penulisan dan enggak kenal penulis senior), Eka Kurniawan sering menerjemahkan karya-karya yang dia sukai. Menerjemahkan itu kerjaan senang-senang aja baginya. Awalnya ingin merasakan bagaimana menulis cerita kata per kata. Ternyata beberapa teman minat menerbitkan.

Sudah agak lupa menerjemahkan apa aja. Yang paling Eka ingat, Metamorphosis-nya Kafka. Itu yang pertama Eka terjemahkan soalnya. Terus menerjemahkan cerpen-cerpen Maxim Gorky dari Tales of Italy. Belakangan diterbitkan lagi sama satu penerbit enggak ngomong dulu. Eka juga menerjemahkan Cannery Row-nya John Steinbeck, dan banyak belajar gokil dari dia.

Yang lain lupa apa aja yang pernah Eka terjemahkan. Kalau cuma cerita pendek, banyak lagi. Published maupun unpublished. Eh, menerjemahkan Love and Other Demons-nya Garcia Marquez dan Growth of the Soil-nya Hamsun juga. Keduanya unpublished, cuma teman yang baca. Tapi rasanya Eka merasa bukan penerjemah profesional. Eka melakukan ini karena suka dan niat belajar nulis. Jadi belakangan enggak terlalu niat menerbitkannya. Pernah coba menerjemahkan Faulkner, yang paling gampang: As I Lay Dying. Enggak rampung. Bikin Eka pening.

Menerjemahkan, enggak hanya membuat pengetahuanmu atas bahasa lain bertambah, tapi sekaligus mengajarimu menulis secara langsung dari penulis yang kamu terjemahkan. Kamu mengikuti jejak sang penulis, kata per kata, kalimat per kalimat, dengan bahasamu sendiri. Pada saat yang sama, kamu tengah mengasah kemampuan menulismu, ya, dalam bahasa yang kamu pergunakan.

Murakami merupakan seorang penerjemah yang tekun. Ia menerjemahkan novel Raymond Chandler ke Bahasa Jepang, salah satunya. Juga menerjemahkan novel The Great Gatsby karya F. Scott Fitzgerald. César Aira, yang novel-novelnya belakangan aku gemari, juga seorang penerjemah (sampai satu titik, bisa dibilang profesinya). Kembali ke Borges: novela Metamorfosa Kafka yang dibaca pertama kali oleh García Márquez merupakan edisi Spanyol yang diterjemahkan oleh Borges. Tak usah jauh-jauh, novelis terbaik kita, Pramoedya Ananta Toer, juga menerjemahkan banyak karya penulis luar: Steinbeck, Tolstoy, Saroyan.

Selain menerjemahkan, untuk belajar nulis, kerjaan isengku yang lain adalah merangkum novel. Sejenis menulis ulang dengan versi ringkas. Yang paling kuingat tentu Song of Solomon-nya Toni Morrison. Kurangkum dapat satu buku tulis. Lumayan belajar bikin plot, hehe.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1788

16 Comments

  1. Menerjemahkan tak hanya menambah pengetahuan tentang bahasa lain, menerjemahkan juga mengasah kemampuan menulis.

    ———

    Pas. Suka bagian ini

  2. Aku pernah nerjemahin satu cerpen Jepang. Judulnya Bahagia Itu Sederhana. Huwalaaaa, semaput tenan! 😀 Tapi bener sik, ada tantangan tersendiri di dalam prosesnya 😀

  3. Buat aku si mending langsung baca versi bahasa Inggrisnya. Rasanya mudah dipahami. Kalau dalam bentuk terjemahannya, kadang susah dicerna.

    Seperti The Satanic Verse versi Inggrisnya, aku lebih mudah memahaminya ktimbang versi terjemahannya.

    Bukan bermaksud tidak menghargai si penerjemah sih? Penguasaan bahasa itu mutlak jika ingin menerjemahkan karya dari luar negeri.

    Demikian Mas Arif? Keep moving….

    • Kalau untuk baca, saya bakal lebih milih Bahasa Inggris kalau ada.
      Soal menerjemahkan di pos ini bukan bermaksud agar kita jadi penerjemah profesional (syukur2 kalau bisa), tapi sebagai latihan berbahasa aja, utamanya menulis fiksi.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *