Lebih bagus mana, hukum negara atau hukum rimba? Negara buatan manusia, sementara rimba kan ciptaan Gusti Allah, jadi bagusan yang mana coba? Negara itu organisasi, maka rimba adalah organisme, antara yang buatan sama yang alami berarti bagusan mana hayoh? Lantas membela negara itu sebenarnya hukumnya apa sih, wajibkah?
Butuh perjuangan ekstra untuk mencapai pengajian yang memprovokasi pikiran ini, sebabnya saya harus kesasar untuk mencari letak Penerbit Mizan. Ah padahal impian saya kelak maunya novel atau karya lain saya bisa lahir lewat penerbit yang bermarkas di Jl. Cinambo (Cisaranten Wetan), Ujungberung ini.
Soal Emha Ainun Najib, saya belum banyak kenal dengannya. Yang saya ketahui dia adalah seniman, budayawan, penyair, dan pemikir yang menularkan gagasannya melalui buku-buku, dengan mengusung napas Islami. Yang pasti, Cak Nun yang pernah diusir dari Pesantren Gontor ini adalah suaminya Novia Kolopaking. Dan ya, karya-karya tulisnya sebagian besar ditelurkan Mizan.
Maka di pengajian yang digelar di Kantor Mizan ini, Cak Nun berdialektika; hal berbahasa dan bernalar dengan dialog sebagai cara untuk menyelidiki suatu masalah. Dengan kata lain, dialektika adalah salah satu metode untuk mencapai penjelasan, tetapi dialektika sendiri bukanlah penjelasan. Nah, contoh berdialektika adalah mempertanyakan segala hal di luar kebenaran yang sudah menjadi konvensi publik, mendefinisikan ulang beragam kata, istilah, dan konsep yang berkembang di masyarakat. Seperti tadi: Apa itu hukum rimba? Apa itu hukum? Apa itu negara? Apa itu bernegara? Apa itu beragama? Apa itu wajib? Apa hukum membela negara?
Dan apa guna berdialektika? Yang pasti kita nggak mencari kebenaran, karena kebenaran sejati hanya milik-Nya. Berdialektika adalah usaha agar kita bisa berdaulat secara pribadi, menjadi kita yang otentik, lepas dari beragam konsep dan praduga umum yang sebenarnya menyesatkan.
Konsep meraih kedaulatan diri, menjadi manusia yang otentik ini kalau menengok ilmu filsafat Barat, selaras dengan konsep yang diutarakan Martin Heidegger. Untuk menjadi otentik, atau istilah Jermannya Eigenlichkeit, kita harus melepaskan beragam selubung, beragam yang dikata kebenaran yang menjadi konvensi publik, beragam tempelan: derajat sosial, tingkat pendidikan, kesukuan, kebangsaan. Jika dielaborasi dengan konsep dalam Islam, maka jadikanlah Islam yang rujukannya lewat Al-Quran sebagai asas tertinggi di atas segala dalam diri ini.
Banyak lagi sebenarnya yang saya dapat dari pengajian ini, dan maaf saya malas menulisnya sekarang. Namun, saya akan coba sedikit menjelaskan ulang jawaban Cak Nun di pertanyaan soal derajat hukum membela negara. Nah, hukum syara’ sendiri kan ada wajib – fardu ain dan fardu kifayah, sunah, mubah, makruh, dan haram, terus dimana posisi membela negara? Maka hukum membela negara adalah sama dengan hukum sedekah, berarti hanya sunah. Memang nggak dalam posisi wajib, tapi seperti halnya sedekah, kita melakukannya dengan ikhlas, dan ini tentunya lebih mulia ketimbang sebatas menggugurkan kewajiban. Ya, membela negara adalah sedekah.
Yang pasti, sebelum berkoar-koar dan sok-sokan dalam membela kedaulatan negeri, ya kita harus pahami dulu soal konsep membela negara, dimulai dengan memerdekakan pikiran. Ketika kita masih belum bisa berdaulat atas diri sendiri, gimana mau membela kedaulatan bangsa?
Berdialektikalah, semoga kita dimasukan dalam golongan orang-orang yang berpikir. Wallahu alam.
Menggelitik! Diskusi itu agaknya makin membuat pesertanya berdialektika–mempertanyakan semua dalam satu kerangka untuk memperoleh jawaban-jawaban yang memuaskan diri :hehe. Pemahaman diri sendiri memang jauh lebih penting ya, kalau dari penjelasan di atas. Jadi alasan juga sih bagi saya untuk berdialektika soalnya sepertinya masih banyak hal di dunia ini yang belum saya pahami :)).
Jawaban dan pemahaman sebenernya bukan tujuan akhir. Berdialektika adalah agar tercipta pertanyaan lain yang lebih berbobot dan substansi.
Ah, jadi lebih daripada sekadar jawaban, ya. Sip!
Saya suka buku2 cak Nun, membuat kita berfiikir lebih dalam.
Gara-gara pengajian ini saya jadi suka Cak Nun, lalu langsung beli bukunya. Dan makin suka.
Cak Nun, Budayawan yang membuat kita belajar bagaimana menertawakan mereka2 yang berpikiran sempit :))
Dan menertawakan diri kita sendiri.
Wah sudah pernah ketemu Cak Nun ya? Saya yang orang Jombang saja belum pernah ketemu hehehe…
bersediakah cak non berkunjung ketempat yg sederhana ini.
trimakasih
jl. ancol selatan 2 rt 06 rw 07 sunter agung jakarta utara yayasan UNIQ TOMBO ATI
sebelumnya maaf karna saya g ada biyaya untuk keberangkatan Andan trima kasih.