Meski sama-sama harus dicarikan solusinya, melunasi tagihan lebih mendesak ketimbang menumbangkan patriarki. Setidaknya itu berlaku bagi Sutringah, atau yang dipanggil Tri, istri dari seorang penderas nira di Banyumas, yang anaknya diancam dikeluarkan jika masih menunggak bayaran sekolahnya. Namun, tampaknya Tri mesti bergelut dengan dua persoalan tadi sekaligus.
Sebelumnya, film dibuka dengan adegan suami Tri meninggalkan sebuah penyuluhan di tengah-tengah materi soal kesetaraan gender dalam pengelolaan sumber daya alam. Tri ikut pulang juga menemaninya. Di tengah jalan, sang suami menegaskan argumen kolot soal peran suami-istri yang tak boleh diganggu gugat: suami cari duit, istri tinggal patuh pada suami. Kini Tri dihadapkan pada beban ekonomi yang diperparah maskulinitas beracun suaminya.
Tri adalah satu dari tiga perempuan yang dipotret dalam film Empu. Ada Maria di Kupang, seorang janda yang bersama kelompoknya dari Kefamenanu tengah memperjuangkan kerajinan kain tenun agar terus terpelihara, sementara rumah tenun Biboki terancam digusur karena sengketa lahan. Lalu ada Yati di Klaten, seorang difabel yang merupakan anak pengusaha kain lurik skala rumahan, yang karena idealismenya terbentur dengan pakem ayahnya, kemudian memutuskan bekerja di pabrik tekstil.
Alur cerita bergerak maju, pindah bergantian dari Tri ke Maria ke Yati, lalu balik lagi ke Tri, dan polanya berulang terus hingga film selesai. Meski tak ada pembedaan eksekusi teknis antar ketiga cerita, seperti dari pengambilan syut atau dari gaya narasi, misalnya, Empu cukup mudah untuk diikuti. Pembabakannya pun seragam, dimulai dengan penempatan tokoh dengan latar masalahnya, lalu masalah bertambah, kemudian tokoh berusaha mengusahakan solusinya, dan diakhiri penyelesaian masalah.
Tema perempuan selalu menjadi krusial untuk dibahas karena cara pandang masyarakat tentang peran laki-laki memiliki banyak pengaruh penting sekaligus pelik dalam kehidupan sehari-hari. Empu mencoba menampilkan kisah-kisah perempuan yang tak pasrah dengan peran yang melumpuhkan posisinya.
Tri ingin membantu menyelesaikan permasalahan ekonomi keluarganya, tapi terhalang sang suami yang ngotot tak mau menanggalkan fungsi dirinya sebagai pencari nafkah, padahal jelas-jelas dirinya sedang sakit. Maria sudah punya solusi bahwa dengan mengajarkan cara menenun ke siswa sekolah adalah satu cara agar tradisi ini terus terwarisi, tapi terhalang kebijakan sekolah dan gurunya yang saklek apa-apa harus sesuai kurikulum buatan pusat. Yati diterima di pabrik tekstil, tapi bukan di posisi yang diinginkannya, hanya direkrut sebagai pelengkap pekerja difabel.
Empu mengikuti perjalanan tiga perempuan itu dalam memahami peran kesehariannya dan juga benturannya dengan realitas situasi politik, ekonomi dan budaya yang membatasi mereka.
Jika ditujukan untuk mencapai “film perempuan inspiratif”, maka Empu terbilang berhasil. Menampilkan tiga perempuan dengan masalah yang harus dihadapinya. Tiga perempuan yang sepanjang film berada dalam suasana liris dan kondisi nelangsa akhirnya diberi penyelesaian yang bernada positif, bahkan mungkin semacam kemenangan atas pergulatannya. Ya, sebagai “film perempuan inspiratif”, Empu jelas telah menunaikan tugas mulianya.
Saya tak mempermasalahkan soal happy ending-nya, yang saya persoalkan adalah bagaimana film ini memperlakukan konflik dan penyelesainnya dengan terlalu mulus: masalah muncul dengan cepat dan dengan cepat pula menghilang. Intensitas dramatisnya kurang diekplorasi. Pembabakan konflik-klimaks-konklusi seakan tersendat dan terpotong. Bisa jadi ini disebabkan karena tiga cerita itu harus diselesaikan dalam durasi satu jam.
Bagaimanapun, Empu layak dibicarakan, terutama saat ia memotret ragam persoalan yang harus dihadapi ragam perempuan. Bahwa wacana perempuan yang selama ini seringnya hanya jadi kemewahan buat kaum menengah perkotaan semestinya bisa pula menjangkau Tri, Maria, Yati dan perempuan lain di tiap sudut yang punya persoalan khasnya masing-masing.
Wahh kalo ngomongin soal perempuan, kayaknya gak bakalan habis deh dalam satu film. Biasanya juga sepotong-potong yang mau disorot, bahas perempuan dari nyenyesnya, ghibahnya, bapernya, emak2 tiri & perempuan berkarakter bawang putih, dan banyak lagi.
Kemarin saya sempat nonton film yang lagi viral dengan judul TILIK, bu Tejo sukses deh memerankan ibu-ibu yang kepo terhadap tetangganya. Asik tuh kak kalo mau diulas. Ditunggu ya, kalo sempat hehe
Kebetulan film ini kemarin ditayangin di TVRI dan nulis ini buat #UlasFilmKemdikbud. Pos saya sebelumnya soal rekomendasi film pendek Indonesia yang tersedia di YouTube, Tilik salah satunya, meski ga diulas panjang.