Menyaksikan Fate/Apocrypha hingga ke akhir adalah perjalanan melintasi ruang-ruang jiwa manusia yang tak tampak—ruang yang diisi oleh ideologi, mimpi, dan rasa sakit.
Di permukaan, ending anime ini mungkin terlihat sebagai resolusi pertempuran terakhir antara pahlawan dan musuh, namun sejatinya, akhir dari Fate/Apocrypha menyimpan resonansi dalam yang menggema dalam jiwa setiap karakternya.
Drama kepahlawanan dalam Fate series ini bukan sekadar pertarungan hidup-mati, tetapi panggung bagi manusia dan “pahlawan” untuk merengkuh, atau bahkan menghancurkan, arti keberadaan dan takdir mereka.
Pergulatan dan Akhir Fate/Apocrypha
Pada dasarnya, anime ini mengeksplorasi ide yang kerap dijumpai dalam karya besar: keinginan untuk bebas dari keterbatasan. Di dunia yang diisi oleh figur pahlawan legendaris, masing-masing tokoh membawa niat dan luka pribadi mereka.
Seperti Astolfo yang penuh harapan atau Jeanne d’Arc yang berjuang mempertahankan keyakinannya, akhir cerita mereka seolah mengingatkan kita bahwa apa yang tampak gagah di permukaan belum tentu sempurna di dalam.
Setiap karakter adalah representasi dari manusia yang, meskipun bertarung dengan kekuatan supranatural, tak pernah benar-benar lepas dari naluri manusiawi—yakni rasa takut, cinta, dan obsesi.
Di titik akhirnya, Sieg, sosok homunculus sederhana, berdiri di antara segala kehancuran dan darah. Sieg tidak memiliki warisan besar seperti pahlawan-pahlawan lainnya; ia hanya seorang makhluk buatan tanpa akar, tanpa masa lalu, dan tanpa tujuan yang jelas selain yang ia tentukan sendiri. Namun, di sinilah letak keistimewaannya.
Sieg adalah alegori dari manusia yang terbuang dan tak sempurna, berjuang untuk memaknai hidup di dunia yang memaksanya untuk memilih di antara dua jalur ekstrem: hidup dalam kedamaian atau mati dengan kehormatan. Keputusannya untuk menerima hati yang diwariskan kepadanya, dan pada akhirnya mengorbankan dirinya untuk melindungi yang ia cintai, menjadikannya sosok yang tidak sekadar heroik, tetapi juga tragis.
Sieg akhirnya berubah menjadi seekor naga, wujud yang melambangkan kekuatan dan ketabahan. Namun, lebih dari sekadar transformasi fisik, perubahan ini adalah simbol dari metamorfosis jiwa. Dengan menjadi naga, Sieg melampaui batas dirinya yang semula hanyalah seorang homunculus yang tidak memahami dunia.
Di satu sisi, ia telah naik ke tingkatan yang lebih tinggi, tetapi di sisi lain, ia juga kehilangan kemanusiaannya. Bukankah ini mencerminkan kehidupan manusia sehari-hari? Kita yang berusaha menjadi lebih baik, lebih kuat, namun terkadang lupa dengan akar, dan ketika kita telah mencapai kekuatan itu, kita pun meninggalkan sesuatu yang dulu begitu kita cintai.
Sebaliknya, Jeanne d’Arc memilih untuk mempertahankan kemanusiaannya hingga akhir, mengorbankan mimpinya demi keadilan yang ia percayai, sebuah keadilan yang ia sadari bukan miliknya untuk menentukan.
Jeanne, yang dikenal sebagai hamba Tuhan dan pemegang teguh keimanan, justru dibiarkan merasakan ketidakberdayaan ketika ia harus menyaksikan Sieg bertarung sendiri. Ia tidak bisa ikut campur, meskipun hatinya dipenuhi rasa kasih yang lembut—bukan sekadar cinta pada Sieg, tetapi cinta yang lebih luas, pada kemanusiaan, pada jiwa-jiwa yang ia pertaruhkan sebagai pelindung.
Holy Grail Bukan Akhir Segalanya
Pada akhirnya, pertarungan dalam Fate/Apocrypha bukanlah pertarungan yang akan menghasilkan pemenang sejati. Sebagaimana Sieg yang memilih untuk mengorbankan hidupnya dan Jeanne yang hidup dalam dilema batin, cerita ini menjadi cermin bagi pertanyaan-pertanyaan tak terjawab yang mengisi kehidupan kita.
Apakah hidup hanya untuk memperjuangkan tujuan yang akan musnah? Apakah pengorbanan adalah harga yang harus dibayar demi orang lain? Apakah mungkin bagi kita untuk mempertahankan kemanusiaan dalam pencarian yang menguras segala daya?
Ending Fate/Apocrypha tidak berusaha menjawab semua pertanyaan itu, karena jawaban mungkin tidak akan pernah ada. Justru dalam ketidakpastian itulah kita, sebagai penonton, diundang untuk merefleksikan ketidaksempurnaan kita, kelemahan kita, dan perjuangan untuk memaknai kehidupan di dunia yang penuh kontradiksi ini. Di titik inilah, anime ini merangkai drama bukan untuk menyenangkan atau menyedihkan, melainkan untuk menghadirkan realitas yang terkadang pahit.
Sebagaimana setiap cerita, ending Fate/Apocrypha adalah pertanyaan yang terbuka—pertanyaan yang tidak meminta jawaban, tetapi meminta kita untuk berhenti sejenak dan merenung.
Bagi setiap orang, mungkin jawabannya berbeda, namun satu yang pasti: Fate/Apocrypha mengingatkan kita bahwa dalam drama kehidupan, keabadian bukanlah tujuan.