Ereksi, Ejakulasi, Eksebisi dan Cara Mengeleminasi Hama

hama-hama

1

“Hei! Apa semua orang di sini melakukan masturbasi?” Midori bertanya sambil menengadah memandang gedung asrama.

“Mungkin ya.”

“Apa semua laki-laki melakukan masturbasi sambil membayangkan perempuan?”

“Ya, tentu begitu,” kataku. “Aku kira tak ada laki-laki yang melakukan masturbasi sambil memikirkan pasar saham, konjugasi verba, atau Terusan Suez, tentu mereka melakukannya sambil membayangkan perempuan.”

— Haruki Murakami, Norwegian Wood

Bagai Putri Salju terlelap tak berdaya, dengan tanpa penjagaan tujuh kurci di sekelilingnya, mungkin butuh kecupan seorang pangeran agar bisa membuatnya terbangun, sebab rentetan alarm dari ponselnya enggak mempan. Masih tenggelam dalam tidur, lelap di atas ranjang lapuk, dadanya turun naik saat bernapas, bibir tanpa lipstiknya mekar, mulutnya membentuk huruf O. Adegannya hampir-hampir seperti dalam video Jepang dewasa saja, terpikir oleh saya saat sekilas memelototinya. Maka sebelum pikiran enggak-enggak melebar lebih jauh, saya lekas mengalihkan posisi. Saya menghela napas. Beruntung, keinginan untuk melanjutkan tidur lebih mendesak ketimbang gairah seksual. Situasinya, persis seperti nukilan dari draft bab pertama novel saya, Perempuan yang Bercinta dengan Anjing. Menulis novel itu seperti seks, tegas Eka Kurniawan, sialnya saya masih payah dalam menulis, dan untuk seks nampaknya masih jauh lagi, jadi entah kapan novelnya bakal rampung. Bab pembuka dengan subjudul “Bagaimana Cara Memperkosa Temanmu Sendiri” tadi tentu bukan arahan menjadi lelaki bajingan. Bagi saya, enggak sampai menyetubuhi, untuk masturbasi dengan foto kawan perempuan saja saya enggak bisa, bahkan saya segan untuk merancapi member Girls’ Generation. Seperti Toru Watanabe yang dibolehkan Midori agar dirinya dijadikan obyek fantasi seksual, Toru sudah berusaha namun enggak bisa. Ya, saya pun enggak bisa merancap ke sembarang orang, coli pun perlu tatakrama. Yang jadi soal adalah, selain menjadi inspirasi tulisan, rekaman adegan ranjang tadi tentu akan masuk alam bawah sadar. Bersama rekaman selintas lainnya ini akan jadi obyek fantasi seksual saat kita bermimpi basah, dan kita enggak bisa melawan. Kasir Alfamart yang menyapa atau petugas SPBU yang melayani kita mungkin dalam mimpi jadi lawan main yang mengulum kontol kita, atau bisa saja kita bersenggama dengan Scarlett Johansson atau kawan sendiri atau tokoh anime berbikini atau monyet betina atau seorang paman tambun atau bahkan ibu kita sendiri. Ketika terbangun, saya selalu lupa dengan siapa dan bagaimana cara mainnya, tahu-tahu basah. Kita enggak bisa menyalahkan diri kita sebagai seorang cabul. Siapa sih yang bisa mengontrol alam bawah sadar? Apalagi mimpi, utamanya mimpi basah, beserta fantasi seksual tadi, ini sesuatu yang masih mengundang banyak pertanyaan, selalu menarik untuk dibahas, dan dituliskan oleh para pemberani.

2

Aku sering berdiri di depan cermin, bertanya-tanya sampai sejauh mana jeleknya seseorang.

— Charles Bukowski, Ham on Rye

Seperti permukaan bulan, seperti jalanan Bandung selatan yang sering saya lewati, yang entah kapan akan diperbaiki, begitulah kondisi wajah yang harus saya lihat di pantulan cermin. Creep-nya Radiohead tentu sangat menyuarakan keluhan saya, dan yang saya butuhkan How to Disappear Completely dari dunia yang serba menghakimi ini. Ah, sampai kapan saya harus jadi bajingan pembenci diri? Saya selalu membayangkan terbangun dan mendapati diri menjadi Park Bogum saat bercermin dan kabar baik bahwa semua jalan di Bandung selatan akan mulus. Membayangkan sudah pasti enak, kau enggak bisa ereksi atau ejakulasi kalau enggak punya kemampuan kreatif ini, apalagi kalau kau melakukannya swadaya. Ya, ya, membayangkan diri jadi seganteng artis Korea adalah delusi yang diciptakan bisnis kapital. Kita tahu, standar kecantikan hari ini sangat terkait dengan yang namanya industri kapital, lebih tepatnya, standar kecantikan adalah bentukan industri. Sebagai negara maju, Korea Selatan tentu punya andil besar dalam membentuk standar kecantikan ini. Memang salah, tapi apakah benar-benar salah untuk punya keinginan menjadi ganteng? Di setiap spesies, hewan dalam percobaannya akan lebih memilih yang lebih cantik, lebih cemerlang, lebih menarik perhatian dalam lingkungannya, yang disebut stimulus supernormal, bahkan ketika rangsangan itu palsu semata. Bunga yang cantik akan lebih menarik hama-hama. Induk burung akan mengabaikan telurnya sendiri untuk kemudian menduduki sarang yang lebih besar, atau mengalihkan makanan dari anak-anak mereka untuk memberi makan anak lain yang punya paruh yang lebih terang. Inti dari stimulus supernormal adalah bahwa imitasi yang berlebihan yang dapat menyebabkan tarikan kuat dari hal yang nyata. Manusia, kalau boleh disetarakan dengan binatang, tentu punya dorongan bernama stimulus supernormal tadi; suka pamer dan suka pura-pura. Apalagi di masa kekininian, karena katanya masyarakat posmodern itu ditandai dengan superfisialitas dan kedangkalan, kepura-puraan atau kelesuan emosi, teknologi reproduktif, pokoknya serba gimmick gitu lah. Jujur, saya tak menampik, saya pun manusia yang ada kecenderungan ingin dianggap lebih; lebih cerdas, lebih keren, lebih unggul. Jadi, seberapa salahkah saya karena membayangkan diri bisa jadi Park Bogum? Lagipula, meski enggak percaya yang namanya Law of Attraction, entah kenapa kalau saya membayangkan dan menulis sompral, bakal kejadian. Seperti dalam film Ruby Sparks. Dia yang terlahir dari perkawinan sel kata dan buah pikiran ini diam-diam mengikuti saya, tulisnya dalam blog pribadinya. Saya setuju dengan gadis Scorpio itu, yang selalu dikerubungi hama-hama dengan stimulus supernormal berlebih. Ketimbang materialis dialektis, saya lebih seorang transedentalis, makanya saya beli novel super tebal Anna Karenina, sebab pernah saya mengarang cerpen kacangan bahwa si tokoh utamanya menemukan belahan jiwanya yang secantik Kim Taeyeon ketika membaca novel karangan Leo Tolstoy itu.

3

Aku pikir ada bahaya besar dalam menulis catatan harian: kau hanya membesar-besarkan segalanya.

— Jean Paul-Sartre, Nausea

Saya membaca kembali cerpen terjemahan saya sendiri Swastika-nya Charles Bukowski dari buku Erections, Ejaculations, Exhibitions and General Tales of Ordinary Madness, dan menemukan keterkaitan dengan kondisi sekarang, bahwa Adolf Hitler masih hidup dan berganti kulit jadi presiden Amerika Serikat. Belajar menulis lewat penerjemahan sungguh sangat membantu saya, apalagi kita tahu para penulis itu sudah jago bermain seks. Masih pagi, gerimis turun, lalu saya lanjut membaca tentang kisah cinta antara Jean Paul-Sartre dan Simone de Beauvoir, sebuah kisah cinta ganjil, di The New Yorker dengan ditemani Girl Who Can’t Break Up, Boy Who Can’t Leave-nya Lessang dan lagu-lagu Korea lainnya. Alkisah, Sartre dan Beauvoir bertemu di Paris pada 1929, Sartre berusia 24, Beauvoir menginjak 21, dan keduanya sedang sama-sama belajar ujian kompetensi agar bisa masuk jadi pengajar di persekolahan Prancis. Beauvoir seorang perempuan jenjang rupawan dan stylish, juga masih punya pacar, tapi ia kemudian jatuh cinta sama Sartre yang bantet, matanya juling, seorang cowok tuna-fashion yang pakai baju kedodoran, mirip bangkong edan, dan Sartre sendiri mengakui keburukrupaannya. Sartre dan Beauvoir terkenal sebagai pasangan dengan kehidupan yang independen, yang bertemu di kafe, tempat mereka menulis buku-buku mereka, dan bebas untuk menikmati hubungan lain, tapi hubungan mereka berdua terpelihara layaknya pasangan yang sudah menikah. Karena enggak mau saling melumpuhkan kebebasan masing-masing, mereka enggan untuk menjalin ikatan pada umumnya. Jika boleh mencatut Sartre; Hama adalah orang lain. Sebagai filsuf, saya menyukai pemikirannya, meski banyak enggak ngertinya, tapi sebagai penulis prosa, saya menikmati karyanya dan sedikit lebih ngerti. Jadi bagaimana cara mengeleminasi hama? Seperti dalam No Exit, menurut tafsiran saya, yang jadi soal bukan orang lain, tapi kesalahan ada pada cara kita memandang orang lain itu, bahwa hama-hama itu adalah yang menggerogoti pikiran kita. Hama-hama penggerutu dalam kepala, itulah yang pertama yang harus kita eleminasi. Bagaimana caranya? Saya pun enggak tahu.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1887

3 Comments

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *