Esai Salman Rushdie: Musik Rock

Saya baru saja menanyakan Vaclav Havel soal kekagumannya pada ikon rock Amerika Lou Reed. Dia menjawab bahwa sangat mustahil untuk melebih-lebihkan pentingnya musik rock dalam perlawanan rakyat Ceko pada masa-masa gelap antara Prague Spring sampai tumbangnya Komunisme. Saya hanya menikmati gambaran kejiwaan gerakan bawah tanah rakyat Ceko yang mendengar Velvet Underground memainkan “Waiting for the Man,” “I’ll Be Your Mirror,” atau “All Tomorrow’s Parties” lalu Havel menambahkan, dengan wajah sungguh-sungguh, “Apa kau sempat berpikir kenapa kami menamakan ini Revolusi Velvet?” Saya hanya menganggap ini sebagai lelucon konyol Havel, tapi ini sebuah lelucon yang sesungguhnya mengungkapkan sesuatu, kurang lebih kenyataan yang harfiah: sebuah kenyataan suatu generasi, karena boleh jadi bagi fans musik populer dalam satu masa menganggap gagasan antara rock dan revolusi merupakan ikatan yang tak terpisahkan. “You say you want a revolution,” John Lennon tersenyum menyeringai kepada kita. “Well, you know, / We all want to change the world.” Memang, beberapa tahun kebelakang saya hanya berpikir bahwa keterkaitan ini cuma semacam romantisme masa muda. Jadi penemuan bahwa revolusi sungguhan itu bisa tercipta karena pengaruh geraman glamor musik rock begitu mengharukan. Ini seperti suatu pembenaran.

Karena saat ini tak ada yang membanting gitar atau memprotes akan apa pun lagi, sekarang rock n roll hanya untuk paruh baya dan para korporat dan pimpinan perusahaan raksasa yang besarnya lebih-lebih dari sebuah negara bagian, sekarang musik itu hanya untuk orang tua yang kembali mengenang hari mudanya sementara para bocah mendengarkan rap gangsta, musik trance, dan hip-hop, lalu Bob Dylan dan Aretha Franklin mendapat undangan untuk tampil di pelantikan presiden, sangat mudah untuk melupakan wujud asli oposisinya, saat masa kejayaan anti-Kemapanan. Sekalipun demikian, semangat teguh penuh kepastian rock n roll tentang pemberontakan menjadi satu alasan kenapa bunyi bising yang aneh, sederhana, namun luar biasa ini mampu menguasai dunia hampir setengah abad yang lalu, melewati batas dan hambatan bahasa serta budaya sampai menjadi fenomena globalisasi ketiga dalam sejarah setelah dua kali Perang Dunia. Ini merupakan suara akan kebebasan, dan ini juga menyuarakan pada jiwa bebas anak muda di mana pun, meski memang, ibu kita tidak menyukai musik begini.

Setelah beliau sadar akan kesukaan saya pada Bill Haley, Elvis, dan Jerry Lee Lewis, ibu saya yang was-was itu dengan mati-matian mengajarkan soal kebajikan Pat Boone, seorang yang pernah menyanyikan sebuah lagu balada sentimentel yang ditujukan untuk seekor kuda bagal. Tapi menyanyikan lagu tentang seekor bagal tak menarik minat saya. Saya mencoba untuk meniru keluman bibir Presley dan putaran maut pinggulnya, dan saya juga mencurigai kalau pemuda di mana pun, dari Siberia sampai Patagonia, sama-sama melakukan yang seperti ini.

Apa yang terdengar dan terasa sebagai kebebasan bagi kita terlihat sebagai perilaku buruk di mata orang dewasa, dan berlaku sebaliknya. Goyang panggul dan banting gitar pada dasarnya kebebasan yang kekanak-kanakan; tapi ini juga benar, dalam semua cara kita pun sama-sama belajar lebih banyak seperti orang dewasa, bahwa kebebasan itu berbahaya. Kebebasan, jejak kuno anarki, antitesis Dionysian bagi Pat Boone: sebuah kebajikan yang lebih tinggi dan lebih liar ketimbang tabiat baik dan, bagi semangat berontak saat larut malam, lebih jauh ketimbang kepatuhan buta dan adat tunduk pada atasan untuk menciptakan kerusakan serius. Lebih baik sederetan rumah penginapan rusak ketimbang sebuah dunia yang rusak.

Tapi ada dalam diri kita sesuatu yang tidak menginginkan untuk bebas; yang lebih memilih lagu lokal patriotik yang menyuruh untuk disiplin dan menerima keadaan ketimbang musik paling digandrungi di dunia tadi. Ada sesuatu dalam diri kita yang menginginkan agar mengalir begitu saja dalam orang banyak, dan mencela para penentang dan tukang goyang panggul karena telah mengolengkan perahu nyaman kita. “Don’t follow leaders,” Bob Dylan memperingatkan dalam “Subterranean Homesick Blues,” “Watch the parking meters.” Meski pada kenyataannya kita terus menginginkan untuk dipimpin, untuk jadi pengikut dari panglima perang picik, ayatollah yang kejam dan nasionalis bengis, atau untuk menghisap jempol kita sendiri dan diam mendengarkan nasihat nenek yang bersikeras bahwa mereka tahu yang terbaik bagi kita. Para penyeleweng kekuasan yang melimpah di Bombay sampai Mumbai, dan bahkan kita yang secara khayali orang-orang bebas ini, sebagian besarnya, sangat rock n roll.

Musik tentang kebebasan menghantui orang-orang dan melepaskan segala ikatan mekanisme pertahanan konservatif. Selama Orpheus masih bisa mengeraskan suaranya untuk bernyanyi, sang Maenads tidak mampu menghabisinya. Lalu mereka berteriak, dan bunyi hiruk-pikuk melengking mereka menenggelamkan musiknya, dan kemudian senjata mereka menemukan targetnya, dan dia jatuh, lalu mereka mencabik-cabik isi perutnya.

Berteriak pada Orpheus, kita juga bisa menjadi seorang pembunuh. Tumbangnya Komunisme, runtuhnya Tirai Besi dan Tembok, sesungguhnya mengantar pada era baru kebebasan. Sebagai gantinya, dunia setelah Perang Dingin, menjadi tak berbentuk dan penuh oleh beragam kemungkinan, membuat takut sebagian besar dari kita. Kita menarik diri ke balik tirai besi, membangun benteng-benteng kecil, memenjarakan diri kita ke dalam definisi-definisi sempit, bahkan fanatis—agama, daerah, etnik—dan mempersiapkan diri untuk berperang.

Hari ini, ketika satu gemuruh perang menenggelamkan nyanyian manis saat-saat terbaik kita, saya menemukan diri saya sedikit bernostalgia pada semangat lama akan independensi dan idealisme masa itu, terbenam dalam jalaran infeksi musik, membantu perang lainnya (di Vietnam) agar berakhir. Tapi saat ini satu-satunya musik yang mengalun di udara adalah barisan kematian.

Diterjemahkan dari kolom Salman Rushdie April 1999: Rock Music dalam buku Step Across This Line.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1814

One comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *