Jika kita melihat karakter Esdeath dalam Akame ga Kill! melalui kacamata Freudian, ia tampil sebagai manifestasi dari naluri gelap manusia, Thanatos.
Dalam teori Freud, dua naluri mendasar berperan dalam diri setiap manusia: Eros, yang melambangkan kehidupan dan cinta, dan Thanatos, yang berwujud dalam naluri destruktif, kekerasan, dan kematian.
Esdeath, seorang jenderal kuat yang membenci kelemahan dan menganut prinsip bahwa “yang kuat menang, yang lemah mati,” berdiri sebagai simbol hidup dari prinsip Thanatos ini. Ia menyusuri dunia dengan kesadaran yang tajam bahwa kehancuran adalah cara utama untuk mencapai keabadian kekuatan.
Dibalik perannya sebagai tokoh antagonis, ada ironi mendalam pada sosok Esdeath yang justru terungkap dalam relasi psikologisnya dengan Tatsumi, sang protagonis. Esdeath mencintai Tatsumi bukan karena kesamaan pandangan hidup, melainkan karena perbedaan mereka yang kontradiktif.
Dalam cinta ini, Esdeath menunjukkan naluri Eros yang nyaris terselubung di dalam keangkuhan dan kekejamannya. Esdeath tampak terbelah dalam paradoks antara Eros yang rapuh, harapannya untuk hidup penuh cinta, dan Thanatos yang gigih dalam menjadikannya sosok perusak dan penakluk.
Masa Lalu Esdeath: Trauma yang Melahirkan Hasrat Thanatos
Freud percaya bahwa masa lalu dan trauma awal membentuk naluri manusia, dan dalam konteks ini, kehidupan Esdeath menjadi panggung pertama dari Thanatos yang terbentuk. Kehilangan seluruh keluarga di tangan ras Danger Beast di Utara adalah pengalaman yang membuatnya menerima filosofi hidup “yang kuat berkuasa, yang lemah musnah.”
Kehilangan dan kekejaman dunia padanya justru menginspirasi keputusannya untuk menjadi lebih kuat, mengisolasi dirinya dari kelemahan yang ia kaitkan dengan cinta, belas kasihan, atau empati.
Trauma ini, bagi Freud, menuntun pada kompensasi ekstrem, di mana individu akan mencari pemenuhan dari objek-objek yang dianggapnya memberi kendali terhadap dunia. Dalam kasus Esdeath, pemenuhan ini muncul dalam bentuk kekuasaan militer, kekuatan absolut, dan penghancuran tanpa kompromi terhadap semua yang lemah.
Thanatos menjadi mekanisme pertahanan psikologis Esdeath yang melindunginya dari perasaan rentan, mengukuhkannya dalam peran penakluk dan perusak.
Kekejaman sebagai Ekspresi Thanatos
Kepribadian Esdeath yang haus darah adalah bentuk eksistensial dari naluri kematian ini. Setiap kali ia merenggut nyawa dengan senyum yang nyaris kekanak-kanakan, Esdeath merayakan Thanatos, naluri untuk menghancurkan, bahkan terhadap dirinya sendiri.
Dalam pandangan Freudian, individu dengan hasrat Thanatos yang dominan seringkali menunjukkan ketidakmampuan untuk menciptakan hubungan yang penuh kasih sayang. Mereka secara bawah sadar terdorong untuk mengakhiri diri sendiri melalui siklus kehancuran yang mereka ciptakan.
Namun, naluri ini tidak berarti bahwa Esdeath adalah karakter yang sepenuhnya nihilistik. Justru, kekejamannya adalah bentuk keterikatan paradoks terhadap kehidupan: dengan menghancurkan, ia merasa hidup.
Keinginan Esdeath untuk terus berada dalam kekuatan absolut menunjukkan ambisi tak terhingga, sebuah usaha mencapai apa yang Freud sebut sebagai ‘nirvana’ – keadaan di mana ketegangan dan dorongan-dorongan yang membentuknya akhirnya lenyap dalam kehampaan. Kematian, pada titik ini, menjadi puncak dan tujuan akhir dari Thanatos yang terus ia rangkul.
Cinta dan Kontradiksi: Eros di Bawah Bayang-Bayang Thanatos
Dalam relasinya dengan Tatsumi, Esdeath menampilkan sisi unik yang jarang terlihat – sisi yang mencoba menghidupkan Eros, naluri cinta yang biasanya bertolak belakang dengan Thanatos.
Ia mengasihi Tatsumi, mencoba menyelamatkannya dari pertempuran dan menunjukkan kelembutan yang tak pernah ia tunjukkan pada siapapun. Namun, keinginannya terhadap Tatsumi selalu diliputi oleh bayang-bayang Thanatos; ia menginginkannya dengan obsesi, bukan untuk memeliharanya, melainkan untuk menjadikannya alat pemenuh hasrat kekuasaan.
Ia tak segan memaksakan kehendak, menuntut dominasi bahkan dalam cinta, menunjukkan bahwa Eros dalam dirinya adalah subordinat dari Thanatos, menjadikannya kekuatan yang lebih menyerupai posesif ketimbang kasih sayang.
Melalui karakter Esdeath, Akame ga Kill! memberikan potret psikologis dari konflik antara Eros dan Thanatos, antara cinta dan kehancuran, yang begitu manusiawi meski tragis.
Dalam keputusannya untuk terus berada dalam jalan kekerasan dan kematian, Esdeath menjadi simbol dari paradoks eksistensial: bahwa dalam ketidakmampuan untuk benar-benar mencintai, seseorang akan terus berulang kali mencari pemenuhan dalam kehancuran.