Menelisik Evangelion dan Madoka Magica: Narasi Kehancuran dan Dilema Eksistensial

Neon Genesis Evangelion dan Puella Magi Madoka Magica berdiri sebagai dua tiang yang kokoh, membayangi genre mereka masing-masing dengan pendekatan yang gelap dan filosofis.

Keduanya menguliti apa yang tersembunyi di balik tabir genre mereka, menyuguhkan realitas yang kerap ditutupi oleh kilau keajaiban dan heroisme. Jika Evangelion dianggap sebagai dekonstruksi dari mecha dan kaiju, maka Madoka berfungsi sebagai dekonstruksi dari magical girl. Dan di sini, di dalam reruntuhan genre tersebut, terkuaklah trauma, krisis eksistensial, serta ketakutan yang menjadi bahan bakar bagi kedua karya ini.

Di balik cerita mereka, terdapat kritikan terhadap harapan-harapan yang dibebankan pada generasi muda, sebuah sindiran tajam atas bagaimana dunia mengabaikan kemanusiaan mereka dalam usahanya mencapai tujuan besar.

Trauma sebagai Pusaran Kisah

shinji ikari neon genesis evangelion

Evangelion dan Madoka sama-sama membahas tentang “penyelamatan dunia,” tetapi dengan kacamata yang bukan sekadar heroik, melainkan lebih gelap dan melankolis.

Shinji Ikari, seorang remaja laki-laki yang enggan mengemban takdir sebagai pilot EVA, dan Madoka Kaname, gadis biasa yang digoda oleh janji kekuatan magis, adalah karakter yang secara kasat mata membawa beban yang terlalu besar untuk usia mereka.

Trauma menjadi kunci yang mengunci karakter-karakter di dalam Evangelion dan Madoka Magica, membuat mereka bergerak seperti boneka tanpa kendali.

Dalam Evangelion, Shinji mengalami trauma sejak kecil akibat hubungan yang terputus dengan ayahnya, sementara di Madoka, setiap gadis dihadapkan pada penderitaan yang seolah terprogram dalam perjalanan hidup mereka. Para gadis ini dipaksa memilih antara harapan atau kehancuran, hidup dalam paradoks di mana impian menjadi penebusan dosa.

Evangelion dan Madoka bukan hanya sekadar anime; mereka adalah refleksi dari trauma masyarakat modern, yang sering kali dibungkam, tersembunyi dalam suara riuh yang mengalihkan perhatian kita.

Melalui simbol-simbol yang kompleks, Evangelion dan Madoka Magica seolah bicara lebih lantang daripada suara berita dan liputan media—tentang kesepian, keputusasaan, dan ketakutan generasi muda di tengah tuntutan masyarakat.

Representasi Krisis Eksistensial dalam Evangelion dan Madoka Magica

homura suicide madoka magica

Evangelion dan Madoka Magica keduanya membongkar mitos keberanian dan keinginan untuk menjadi penyelamat. Shinji dan Madoka, meskipun di jalan yang berbeda, mengalami krisis eksistensial yang serupa, mempertanyakan makna keberadaan mereka dalam dunia yang tampak tidak peduli.

Pertanyaan Shinji, “Kenapa aku harus bertarung?” adalah refleksi dari keresahan setiap individu yang mencoba mencari makna di dunia yang menuntut tanpa memberi jawaban. Di sisi lain, Madoka yang awalnya hanyalah gadis biasa, dihadapkan pada kenyataan bahwa menjadi penyihir bukanlah keajaiban, melainkan kutukan yang abadi.

Evangelion dan Madoka Magica seakan mengambil alih pertanyaan-pertanyaan itu, menggali luka-luka tersembunyi yang ada dalam setiap diri manusia. Di tengah serangan monster atau kutukan magis, keduanya menantang kita untuk berpikir: Apakah hidup ini benar-benar layak diperjuangkan?

Jika Evangelion menawarkan pandangan nihilistik yang penuh dengan kehampaan, Madoka Magica sedikit berbeda; ia menunjukkan bahwa meskipun dunia penuh penderitaan, masih ada secercah harapan, meski tak berbentuk seperti yang kita harapkan.

Karakter Homura Akemi di Madoka Magica, yang berulang kali mengulang waktu demi menyelamatkan Madoka, adalah personifikasi dari obsesi manusia terhadap harapan. Namun, harapan ini tak datang tanpa harga; Homura harus terus hidup dalam lingkaran trauma dan kekeliruan, seperti seorang manusia yang terjebak dalam siklus penderitaan yang tidak berujung.

Evangelion dan Madoka Magica mengajarkan bahwa harapan tak selalu berakhir bahagia. Harapan bisa menjadi pedang bermata dua, dan keduanya mengisyaratkan bahwa setiap tindakan yang didorong oleh keinginan pribadi memiliki konsekuensi yang berat.

Sejauh mana kita siap untuk mengorbankan kebahagiaan demi harapan? Evangelion dan Madoka Magica memberikan jawaban yang ambigu dan mengusik: apakah dunia ini layak untuk diselamatkan, ataukah kita hanya terjebak dalam ilusi harapan yang diciptakan untuk menghindari kehampaan?

Evangelion dan Madoka Magica ibarat dua cermin retak yang memantulkan realitas yang telah diabaikan. Di balik layar anime ini, terdapat realita tentang kemanusiaan yang rentan, generasi muda yang terpaksa berhadapan dengan kenyataan yang keras tanpa persiapan.

Melalui trauma, krisis, dan perjuangan mereka, kita menyadari bahwa Evangelion dan Madoka Magica bukanlah sekadar kisah anak muda yang berusaha menyelamatkan dunia. Mereka adalah sindiran dan kritik terhadap ekspektasi yang dibebankan pada generasi muda di dunia nyata, sebuah dunia yang seringkali mengabaikan kehancuran yang mereka alami demi mencapai kepentingan yang lebih besar.

Neon Genesis Evangelion dan Madoka Magica mengajak kita melihat kebenaran ini—kebenaran yang penuh dengan kepedihan dan kerapuhan, sebuah kebenaran yang seringkali kita hindari karena terlalu sulit untuk diterima.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1890

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *